Jenderal Gatot Nurmantyo




Nama Gatot Nurmantyo semakin sering menjadi pembicaraan masyarakat Indonesia dan pemberitaan media massa. Sesungguhnya cukup wajar bagi seorang Jenderal Bintang 4 dengan posisi sebagai Panglima TNI, seorang Gatot Nurmantyo menjadi sorotan publik. Terlepas dari baik dan buruknya, atau pro dan kontra, sosok Gatot perlahan namun pasti merayap terus meningkat popularitasnya. Terakhir terjadi insiden penolakan Gatot untuk masuk ke Amerika Serikat yang kemungkinan besar hanya disebabkan oleh dua hal: (1) Sudah menjadi settingan AS untuk semakin meningkatkan popularitas Gatot; (2) Murni kesalahpahaman antara Departemen Pertahanan AS, Kemlu AS, dan Pabean dan Perlindungan Perbatasan AS.

Apabila Jenderal Gatot dapat berkunjung ke AS maka dampaknya akan positif untuk Gatot, namun bila tetap gagal juga akan positif. Tentunya sahabat Blog I-I berpikir mengapa bisa demikian. Betapapun pihak-pihak yang sering memojokkan Gatot Nurmantyo menciptakan opini negatif, sikap dan posisi yang diambil Gatot memperoleh tempat tersendiri di hati masyarakat Indonesia. Misalnya dalam isu kedekatan Gatot dengan kelompok Islam, hal ini tidak serta merta dapat diperkecil ke kelompok Islam garis keras melainkan justru lebih merata ke berbagai lapisan masyarakat Islam. Misalnya dalam posisi Gatot yang membawa TNI lebih netral daripada Polisi atau BIN dalam menyikapi pilkada DKI Jakarta. Tidak dapat dipungkiri bahwa langkah-langkah yang ditempuh Gatot mendapatkan simpati yang luas di masyarakat.

Kesan negatif yang ingin dilabelkan kepada Gatot dalam kasus 5000 senjata hampir merata di berbagai media nasional dengan tuduhan utama Panglima TNI sedang berpolitik. Padahal penyebab utamanya adalah bahwa ada pihak-pihak di sekeliling Jokowi yang ingin merenggangkan hubungan Panglima TNI dengan Presiden, sehingga Gatot tidak dapat menyampaikan laporan langsung kepada Presiden dan akhirnya memilih tempat lain demi penegakkan hukum bahwa Polisi dan BIN tidak seharusnya memiliki senjata dengan spesifikasi militer. Belakangan akhirnya terbukti bahwa Brigade Mobil (Brimob) Polisi membeli senjata dan amunisi yang masuk dalam kategori militer, sehingga akhirnya amunisinya ditahan militer.

Masalah persenjataan Brimob sesungguhnya adalah warisan sejarah dimana spesifikasi senjata standar Brimob adalah yang paling mirip dengan militer. Dimasa Polisi masih menjadi bagian dari TNI, hal itu tidak menjadi masalah dalam pengadaan persenjataan Brimob. Namun setelah berpisah, maka seharusnya Polisi khususnya Brimob juga mulai menata ulang sistem persenjataannya, bahkan menyerahkan seluruh persenjataan lama yang berspesifikasi militer.

Berbagai ceramah Jenderal Gatot di perguruan tinggi dan kunjungan ke daerah-daerah khususnya ke komunitas Islam di Indonesia juga mendapat sorotan seolah sebagai bagian dari langkah politik Panglima. Hal itu bisa saja ada benarnya, namun bila diperhatikan mengapa banyak yang mengundang dan menginginkan kehadiran dan pencerahan dari Panglima tentunya kita tidak dapat mengabaikan fakta ini.

Kembali pada kasus penolakan Jenderal Gatot masuk AS. Apapun penjelasan resmi Pemerintah AS melalui Kemlu AS atau Kedubesnya di Jakarta sebaiknya jangan terlalu dipercaya karena hal itu hanya bagian dari skenario seolah ada masalah internal di AS terkait Jenderal Gatot. Selain itu AS tidak akan pernah memberikan penjelasan mengapa dan dalam dunia diplomatik sudah menjadi hal yang biasa bahwa insiden sejenis ini tidak perlu dijelaskan secara detil. Lebih jauh, bila diperhatikan rangkaian pemberitaan nasional dan internasional tentang Jenderal Gatot akan menguntungkan Jenderal Gatot sendiri, sehingga dapat dilihat sebagai bentuk paradoks dukungan AS kepada Jenderal Gatot. Mengapa AS mendukung Jenderal Gatot? Berdasarkan informasi jaringan Blog I-I di AS, Jenderal Gatot memiliki catatan yang baik di mata AS bahkan dalam analisa intelijen militer AS, Jenderal Gatot diperlukan untuk memimpin Indonesia baik sebagai Wapres ataupun Presiden untuk memastikan stabilitas Indonesia. Kedekatan Jenderal Gatot dengan kelompok Islam adalah poin yang sangat penting karena hal itu sekaligus juga dapat meredam tekanan kelompok Islam Indonesia yang anti AS. Berdasarkan kepada realita kepemimpinan Presiden Jokowi yang lemah dalam menghadapi China serta kelemahan Presiden Jokowi dalam kalkulasi strategi politik luar negeri dan performa kepemimpinan di kawasan, maka diperlukan sosok yang lebih kuat dan sebagai alternatif adalah Jenderal Gatot. Hal tersebut setidaknya semakin meyakinkan Blog I-I bahwa AS sengaja menciptakan suatu skenario "insiden" yang sesungguhnya merupakan sebuah dukungan tersembunyi kepada Jenderal Gatot. Dengan mengantongi dukungan AS dan kedekatan dengan kelompok Islam, maka tidak dapat dipungkiri bahwa sosok Jenderal Gatot berpotensi untuk terus bergerak naik. Sejumlah penghalang tentunya juga telah siap sedia, khususnya dari Intelijen yakni BIN yang ternyata berada dibelakang pemblokiran Blog I-I sebagaimana disampaikan oleh Kemenkominfo kepada jaringan Blog I-I. Namun organisasi BIN saat ini telah dipenetrasi sangat dalam oleh Panglima TNI dan Kepala BIN sama sekali tidak berdaya. Kepala BIN hanya dapat terus berkiprah pada level nasional paska 2019 apabila mampu menemukan waskita BIN yang tersembunyi sebagaimana disampaikan Eyang Senopati Wirang yang meramalkan kekalahan Jokowi pada pilpres 2019.  Kemungkinan besar penyelamat Jokowi selain waskita yang bersembunyi di BIN, adalah Jenderal Gatot bila kubu Jokowi mampu mengkondisikan Jenderal Gatot menjadi Cawapres Jokowi.

Terkait analisa sikap Jenderal Gatot yang kritis terhadap AS dan Australia seperti dalam analisa Jewel Topsfield1 dan Jewel Topsfield2, atau komentar bencana diplomatik seperti diberitakan  detik merupakan bagian dari polemik dugaan-dugaan yang mengkaitkan sikap Jenderal Gatot dengan insiden penolakan masuk AS tersebut. Sementara yang sesungguhnya adalah benar merupakan setting yang sangat baik apabila Jenderal Gatot mengerti dan dapat menerima apa adanya serta tetap rileks, proporsional dan profesional dalam menyikapi insiden yang menimpanya. Hal ini amat sangat berbeda dengan penangkalan AS yang dikenakan kepada sejumlah Jenderal Indonesia yang terlibat kasus pelanggaran HAM berat. Apa yang sedang diuji oleh AS adalah sejauh mana Jenderal Gatot bereaksi, apakah akan sangat keras dan menjadi anti AS sehingga dapat menjadi dasar AS untuk tidak mendukung Jenderal Gatot, ataukah sangat lemah dan ngambek sehingga dianggap tidak potensial untuk memimpin Indonesia yang besar, ataukah rasional, proporsional dan profesional sehingga dapat menjadi mitra seimbang bagi kepentingan AS sekaligus memiliki keseimbangan dalam hubungannya dengan umat Islam Indonesia.

Apakah berarti Blog I-I dalam artikel ini mendukung dan ikut mempopulerkan Panglima TNI? Jawabnya tidak. Sebagai komunitas intelijen non pemerintah yang tertua, tentunya Blog I-I boleh saja memberikan perkiraan-perkiraan ke depan sebagaimana juga sebelumnya sering dilakukan Blog I-I. Hingga saat ini hampir seluruh perkiraan Blog I-I tepat dan sangat sedikit yang meleset. Apa yang ingin Blog I-I sampaikan adalah bahwa Panglima Gatot Nurmantyo memiliki potensi yang besar untuk menjadi salah satu calon pemimpin nasional. Merujuk kepada hasil survei Indikator Politik, Charta Politika, dan SMRC, nama Jenderal Gatot Nurmantyo sudah mulai muncul sejak sebelum pertengahan 2017. Entah sebagai calon wakil presiden ataupun sebagai calon presiden, perlahan nama Gatot terus bersinar mendapatkan perhatian yang besar di masyarakat termasuk melalui survei-survei. Meskipun tingkat elektabilitas Gatot belum besar karena memang nama baru, namun hal ini dapat berubah di tahun 2018 dan 2019.

Masa-masa krusial bagi Jenderal Gatot Nurmantyo dalam menapaki jalan menuju kursi pimpinan nasional akan terjadi pada bulan Februari-April yakni menjelang pensiun dan paska pensiun pada bulan Maret 2018. Keputusan Jenderal Gatot untuk menempuh langkah-langkah apa pada periode tersebut akan sangat berpengaruh kepada tingkat popularitasnya ke depan. Apabila Jenderal Gatot ceroboh dan tampak ambisius melangkah ke dunia politik terlalu cepat dan salah memilih mitra, maka sinarnya akan meredup seiring dengan penurunan pada hasil survei yang akan semakin marak sepanjang tahun 2018 dalam menjaring calon pemimpin nasional. Namun apabila Jenderal Gatot tampak bimbang dan lama dalam memutuskan misalnya lebih dari bulan Agustus 2018, maka kemungkinan besar secara perlahan sinarnya juga akan meredup. Diperlukan sebuah proses dukungan kepada Gatot dari partai politik atau masyarakat, fenomena sikap beberapa politisi Nasdem yang melirik Jenderal Gatot adalah contoh positif bagi Gatot. Contoh lain adalah wacana Jenderal Gatot menjadi Capres oleh PAN. Apabila fenomena-fenomena tersebut semakin banyak dan bahkan mulai muncul kelompok simpatisan Jenderal Gatot yang kemudian mengorganisir diri menjadi relawan dan lain sebagainya, maka sinar Gatot akan semakin baik. Namun yang perlu diingat semua itu sebaiknya bukan digerakkan atau dimobilisasi oleh Gatot sendiri karena hal ini akan menjadi bumerang serangan balik karena masyarakat akan melihat hal itu sebagai cerminan ambisi pribadi Jenderal Gatot.

Leadership atau kepemimpinan di Indonesia agak aneh bila dibandingkan dengan negara-negara Barat yang telah lama berdemokrasi. Hal itu dikarenakan masyarakat Indonesia kurang suka atau kurang bersimpati kepada mereka yang tampak sangat ambisius. Diperlukan sikap yang seimbang antara kesiapan menjadi pemimpin nasional dan keinginan masyarakat. Apa sebenarnya yang diinginkan masyarakat Indonesia? Masyarakat Indonesia sudah mulai bercampur antara sisa-sisa pengaruh feodalisme, hubungan patron-klien, mimpi Ratu Adil, kepentingan golongan, rasionalitas, emosi kedekatan/kesamaan identifikasi kelompok, ideologi dan agama, lemahnya pendirian politik (mudah dibeli dengan uang dlsb), serta individualisme yang berpengaruh kepada penurunan kepedulian pada isu politik. Hal ini menyebabkan diperlukannya suatu proses pengkondisian dalam memunculkan seorang calon pemimpin nasional.

Perkiraan Blog I-I dapat sahabat Blog I-I buktikan pada sekitar paska bulan Maret 2017, langkah apa yang ditempuh Jenderal Gatot. Apakah pensiun total dari berbagai kegiatan dan berkumpul dengan keluarga, ataukah secara ceroboh terjun bebas ke dunia politik, ataukah secara perlahan namun pasti mampu memproses dirinya benar-benar menjadi tokoh yang pantas diperhitungkan dipanggung politik nasional Indonesia.

Semoga bermanfaat
Salam Intelijen
Dharma Bhakti


Lampiran: Jawaban Resmi dan Standar dari Kedubes AS di Jakarta

Chairman of the Joint Chiefs of Staff General Joseph Dunford invited Commander of the Indonesian Armed Forces General Gatot Nurmantyo to attend a Chiefs of Defense Conference on Countering Violent Extremism being held October 23-24 in Washington, D.C. General Gatot was unable to travel as planned. The Embassy was in touch with the General’s staff about this matter throughout the weekend, working to facilitate his travel. U.S. Ambassador Joseph Donovan has apologized to Foreign Minister Retno Marsudi for any inconvenience to General Gatot. The U.S. Embassy was, and remains, prepared to facilitate the General’s travel to the United States. We remain committed to our Strategic Partnership with Indonesia as a way to deliver security and prosperity to both our nations and peoples.

Update: Bloomberg Politics mengkonfirmasi analisa Blog I-I kemarin bahwa AS tidak akan menjelaskan secara detil mengapa terjadi insiden penolakan Jenderal Gatot masuk AS. Bloomber mengutip sumber berita dari Kemenlu AS dan Pabean dan Perlindungan Perbatasan AS sbb: A State Department spokesman didn’t elaborate on the embassy statement or the apology. A message seeking comment from a Customs and Border Protection spokesman was not immediately returned. Berita serupa juga dipublikasikan oleh the Sidney Morning Herald.

Update: Meskipun semua pihak dapat memahami mengapa Panglima TNI memutuskan untuk tidak berangkat ke AS, namun sebaiknya masalah ini dilihat sebagai kesalahpahaman. Apabila Jenderal Gatot ingin menjadi pemimpin nasional, maka "ujian" ini sangat penting untuk dilalui secara proporsional. Misalnya isu ini dapat saja diperbesar dengan kekecewaan yang berlebihan, namun yang paling tepat adalah bahwa bahwa pembatalan keberangkatan Jenderal Gatot lebih disebabkan masalah teknis protokol pengamanan dan penyambutan beliau di AS dan bukan pemeriksaan clearance-nya. Disamping sekaligus menjadi setting untuk "menguji" sejauh mana sikap Jenderal Gatot dalam menyikapi insiden tersebut, AS juga ingin mengukur apakah Jenderal Gatot menjadi ngambek atau marah kepada AS dan terjerumus untuk bersikap anti AS dan merapat kepada kelompok-kelompok Islam Indonesia yang dianggap radikal oleh AS. Bila Jenderal Gatot terjerumus, maka dapat dipastikan bahwa pemanfaatan sentimen politik Islam oleh Jenderal Gatot akan mudah diolah lagi agar partai-partai politik yang nasionalis untuk meninggalkan Jenderal Gatot. Perlu diperhitungkan bahwa Golkar, Nasdem, dan bahkan Gerindra sudah mulai memberikan sinyal untuk menyambut Jenderal Gatot paska dirinya pensiun. Jawaban cerdas Jenderal Gatot sudah dipublikasikan melalui Tempo dengan pernyataan Saya Berangkat ke AS kalau Ada Perintah, hal ini juga merupakan ujian kepada Jenderal Gatot untuk menunjukkan loyalitas kepada Presiden dan Wakil Presiden yang telah menyatakan untuk tidak perlu berangkat. Sementara waktu acara di AS yang hanya 2 hari dan sudah berlangsung sejak Senin kemarin menyebabkan relevansi keberangkatan Jenderal Gatot ke AS juga berkurang karena sudah terlambat juga. Selamat Jenderal Gatot, anda lulus ujian untuk memproses diri menjadi salah satu calon pemimpin nasional Indonesia yang profesional dan proporsional dalam mengambil sikap yang tepat.

Kepentingan AS kepada Indonesia sangat besar bukan hanya soal kemitraan strategis hubungan bilateral, namun memastika bahwa Indonesia dapat menjadi "pendukung" kebijakan AS dalam menghadapi manuver-manuver poitik dan kebijakan keamanan China di Asia Pasifik. Hal ini bukan berarti pemimpin nasional Indonesia menjadi pro-AS, namun minimal tidak menentang kebijakan keamanan AS di Asia Pasifik, misalnya masalah pengerahan kekuatan militer AS ke Darwin. Indonesia perlu mengambil sikap yang jelas siapa musuh Indonesia yang membahayakan bagi kedaulatan RI. Apabila Indonesia menyikapi AS dan sekutunya sebagai ancaman dan juga melihat bahaya ancaman dari China, maka hal itu akan sangat merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional Indonesia. Walaupun Indonesia berpegang teguh kepada prinsip non-blok atau kemandirian sistem pertahanan dan keamanan, namun kita harus berkaca bahwa kekuatan militer Indonesia teramat sangat kecil bila dibandingkan dengan China dan AS beserta sekutunya. Kompatibilitas alutsista militer Indonesia juga acak-acakan, dimana dalam operasi gabungan semua Angakatan, apabila Indonesia menghadapi konflik perang yang sesungguhnya memiliki tingkat operabilitas yang sangat rendah.

Semoga Jenderal Gatot dan para Jenderal ahli strategis di Mabes TNI serta sahabat-sahabay Blog I-I di BAIS TNI dan juga komunitas Intelijen lainnya membaca catatan-catatan penting Blog I-I.

Blog I-I hingga saat ini masih diblokir oleh Kemenkominfo RI tanpa alasan yang jelas, sehingga Blog I-I tidak terlalu optimis bahwa analisa-analisa Blog I-I dapat sampai kepada pihak-pihak yang berkepetingan untuk dibuktikan validitasnya.
 

Komentar

Postingan Populer