Antara Michael Buehler, Derwin Pereira, dan Luhut Panjaitan
Dengan sangat terpaksa saya menuliskan artikel ini atas permintaan seluruh jaringan Blog I-I dan masyarakat yang mengatasnamakan demokrasi. Mohon maaf sekiranya akan melahirkan prasangka atau tuduhan membuat gaduh demokrasi di Indonesia. Namun kita semua harus sadar sesadar-sadarnya bahwa demokrasi memanglah gaduh. Dengan maksud dan tujuan agar kegaduhan tersebut membuat elit politik yang dipilih oleh rakyat Indonesia berhati-hati, bertanggung-jawab, transparan, dan sungguh-sungguh profesional bekerja mewujudkan harapan para pemilihnya, rakyat Indonesia.
Apabila sahabat Blog I-I membaca dokumen FARA tersebut dengan teliti, maka terdapat kata Indonesia sebanyak 6 kali dan President Widodo sebanyak 5 kali, dengan perincian sebagai berikut:
Sebelum saya memulai artikel ini, ada baik-baiknya sahabat Blog I-I membaca dokumen resmi dari the US Department of Justice under the Foreign Agents Registration Act (FARA) pada link berikut:
R&R Registration Number 6229 Exhibit AB June 17, 2015. Apabila karena satu dan lain hal tautan langsung ini tidak sampai pada halaman yang seharusnya, maka gunakan fungsi pencarian dokumen search dengan keyword registration number 6229 dan sesuaikan dengan tanggal dokumennya.
Apabila sahabat Blog I-I membaca dokumen FARA tersebut dengan teliti, maka terdapat kata Indonesia sebanyak 6 kali dan President Widodo sebanyak 5 kali, dengan perincian sebagai berikut:
- Foreign Principal is retained as a consultant by the executive branch of the Indonesian government. In turn, Foreign Principal has retained Registrant as a subcontractor to provide services through the Foreign Principal to the foreign government in the United States. Registrant's primary communications and direction come from Foreign Principal.
- Registrant will provide consulting and lobbying services to Foreign Principal as relates to Foreign Principal's client, the Republic of Indonesia. (Diulangi dua kali poin 7 dan 8 halaman 3-4)
- Attempt to secure opportunity to address joint session of Congress during Indonesian President Widodo's visit to the US. (Diulangi tiga kali poin 7 dan 8 halaman 3-4)
- Registrant will communicate the importance of the Republic of Indonesia to the United States focusing on the areas of security, commerce, and the economy.
- The Consultant hereby irrevocably undertakes not to arid shall procure that each of its Representatives (as defined below) shall riot during the Term (as defined below) andfor three (3) years after the expiry or termination of this Agreement, anywhere within Indonesia, directly or indirectly.
- Identify and work with influential individuals, media, public and private organizations and affiliates in the US to support efforts of President Widodo.
- Registrant will seek to secure an opportunity for President Widodo to address a joint session of Congress during a visit to the United States. (Pengulangan poin 9 halaman 4)
Pengunaan kata executive branch of the Indonesian government sudah jelas artinya yaitu Pemerintah Indonesia, sehingga tidak perlu interpretasi tentang subyek hukum untuk siapa lembaga konsultan R&R Partners melakukan kegiatan lobby, yakni untuk Foreign Principal dalam hal ini Pereira International yang disewa sebagai konsultan oleh Pemerintah Indonesia.
Michael Buehler sebagai seorang akademisi tentu tidak akan mempertaruhkan kredibilitasnya dengan menuliskan artikel pada New Mandala. Media-media di Indonesia sudah meluruskan berita tersebut misalnya dalam Kompas, Republika, dan lain-lain yang senada. Tetapi kemudian mengapa Derwin Pereira meminta maaf? seperti dalam berita Tempo ini. Sebelumnya Menkopolhukam Luhut Panjaitan membantah penggunaan jasa lobby, Kemenlu RRI juga membantah, bahkan KBRI Washington DC mengeluarkan Press Release Bantahan.
Salah satu ciri utama demokrasi adalah transparansi, dimana rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan yang memberikan amanat melalui suaranya dalam pemilu berhak mengetahui apa yang dilakukan oleh Pemerintah. Kebohongan publik dapat menjerumuskan suatu pemerintahan pada kecenderungan yang koruptif, bukan saja dalam soal keuangan negara melainkan juga dalam soal memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia.
Uang sebesar US.80.000 nilainya tidak seberapa apabila memang benar harus dikeluarkan untuk sebuah lobby yang pada akhirnya akan memuluskan langkah-langkah strategis Pemerintah dalam mewujudkan harapan bangsa Indonesia. Rakyat akan rela ikhlas apabila pemerintah dapat menjelaskannya dengan baik, rasional, dan jujur. Namun uang 1 rupiah-pun akan menjadi masalah manakala hal itu disembunyikan karena adanya kepentingan-kepentingan yang bukan untuk rakyat Indonesia.
Keputusan Indonesia berpikir untuk masuk ke dalam Trans Pacific Partnership Agreement (TPP) yang tiba-tiba diucapkan oleh Presiden Jokowi, jelas akan menghasilkan perdebatan di dalam negeri karena terkait dengan konstelasi persaingan AS-China di Asia Pacific. Apakah hal itu sudah berdasarkan pada analisa intelijen dan perkiraan keadaan ke depan? Bagaimana dengan kalkulasi keuntungan yang akan diperoleh Indonesia? Apakah kepentingan individu, perusahaan tertentu, atau elit tertentu lebih terakomodasi, semuanya menjadi misteri apabila Pemerintah Indonesia tidak transparan.
Seharusnya intelijen yang juga sudah sangat biasa melakukan lobby ke berbagai negara di dunia termasuk menggunakan jasa perusahaan lobbyist dimaksimalkan sebagaimana pernah dilakukan pada era Presiden Gusdur, Megawati, dan SBY, sehingga tidak ada kontroversi karena akan ada yang bertanggungjawab. Dalam kasus Pereira International, permintaan maaf Derwin Pereira kemungkinan karena "kecolongan" bahwa kewajiban memasukan file kerjasama dengan perusahaan di AS akan dengan mudah diakses karena kebebasan informasi di AS. Masalah yang menjadi misteri adalah siapa the executive branch of Indonesia Government yang dimaksud oleh dokumen FARA Departemen Kehakiman AS tersebut, dan untuk ini Pemerintah RI wajib membukanya kepada publik guna menghindari kebiasaan yang buruk ini.
Bahkan Intelijen sekalipun juga pernah kecolongan ketika langsung menggunakan jasa lobby perusahaan di AS untuk kepentingan nasional Indonesia, yakni agar kerjasama militer Indonesia-AS dapat dipulihkan. Baca BIN lobby AS. Meskipun kasus tersebut menjadi polemik publik, namun hasil capaian BIN sangat jelas dan menguntungkan Indonesia dalam peningkatan kapasitas militernya, khususnya bantuan pendidikan dan pelatihan yang secara teori semakin mendorong profesionalisme dan penghormatan kepada Hak Asasi Manusia serta reformasi militer. Bagusnya kemudian berkat pengalaman tersebut adalah bahwa pasca GusDur, tidak ada satupun lobby intelijen yang tercium publik dan Pemerintah dapat mengeksekusi kebijakan luar negerinya dengan baik.
Semoga Intelijen yang sudah sangat berpengalaman dengan lobby-lobby internasional tersebut sudah mengingatkan Jokowi tentang perlunya transparansi dan agar Jokowi menghentikan pencitraan dan sungguh-sungguh kerja, kerja, dan kerja. Selain itu, juga menyadari bahwa dalam kekuasaan yang besar juga terkandung tanggung jawab yang besar serta perlunya Presiden memelihara sikap dasarnya yang dikenal jujur dan peduli kepada rakyat, termasuk untuk berani terbuka.
Mengapa artikel ini tidak menyinggung Menlu Retno yang mengindikasikan potensi untuk "tidak lagi menjabat"? Menlu Retno adalah sosok profesional yang "lemah" secara politik. Tersirat dalam pernyataan Menlu Retno melalui akun twiter resmi Kemenlu @Portal_Kemlu_RI: #MenluRetno: Saat saya tidak lagi menjabat, saya akn kembali menjdi seorang Retno. Tapi saya yakin saya jauh lebih besar dr hanya jabatan saya. Hal ini bukan disebabkan oleh kekurangan pada Menlu Retno, melainkan karena sikap Jokowi sebagai Presiden yang tidak menempatkan struktur kerja kabinet sebagaimana mestinya. Entah sudah berapa kali Kemenlu dan khususnya Menlu dilangkahi atau tidak diberitahu atau terlambat diberitahu dalam kebijakan luar negeri? Baik dalam kasus-kasus pertemuan internasional, strategi, bahkan sampai pada kunjungan ke luar negeri.
Hal ini sangatlah tidak sehat sebagaimana tersurat dalam analisa Michael Buehler yang mengindikasikan adanya jarak atau jurang pemisah antara Menlu dan Kepala Staf Kepresidenan sekarang Menkopolhukam: At the heart of this foreign policy confusion is a deep rift between foreign minister Retno Marsudi and Luhut Panjaitan, Widodo’s ambitious presidential chief of staff. Singkat kata Kemenlu harus terus berbenah diri dan mengevaluasi para diplomatnya yang hanya datang duduk di KBRI dan tidak pernah keluar kantor dan menikmati gaji dollar. Bahwa Kemenlu masih tampak memiliki performa yang bagus karena sebagian diplomatnya memang ada yang berkualitas dan rajin melakukan fungsinya, dimana salah satunya adalah lobby. Pada sisi praktis ke depan, mari kita perhatikan rencana kunjungan ke beberapa negara Jokowi pada tahun 2016, apakah karena peran Kemenlu dan para diplomatnya atau karena jaringan Kemenkopulhukam Luhut Panjaitan.
Penggunaan jasa Pereira International dan perusahaan lobby R&R Partners tidak perlu ditutup-tutupi, Derwin Pereira tidak perlu minta maaf bilapun ingin meminta maaf maka harus mengungkapkan siapa yang membayarnya, Michael Buehler juga tidak perlu terus memanasinya dengan penajaman analisanya. Hal ini merupakan pelajaran mahal untuk pemerintah agar lebih kompak dalam koordinasi kebijakan dan eksekusinya, pelajaran agar leadership Presiden lebih profesional dengan banyak belajar dan tegas, dan tantangan untuk berani terbuka dan bersikap ksatria dalam menjelaskan kejanggalan pada setiap kebijakan atau kegiatan pemerintah.
Fakta baru penggunaan jasa perusahaan lobby oleh Pemerintahan Jokowi ini sekaligus juga memperkuat artikel Blog I-I ketika masa kampanye 2014 yakni tentang keterlibatan Stanley Greenberg dalam pemilu Indonesia. Apabila koneksi jaringan Jokowi memang sangat kuat di AS, mengapa perlu menggunakan perusahaan di Singapura?
Artikel ini secara obyektif melihat duduk perkara berdasarkan content analysis sederhana dari dokumen yang menjadi rujukan Michael Buehler. Kemudian melalui proses interpretasi dan pengecekan langsung dapat mengkonfirmasi bahwa analisa dan opini Michael Buehler dapat dipertanggungjawabkan. Persoalannya kemudian adalah pada embarrassment yang sadar ataupun tidak sadar menimpa: (1) Derwin Pereira dari sisi akuntabilitas dan profesionalisme sebuah lembaga lobby; (2) integritas seorang Luhut Panjaitan yang memegang posisi penting di Indonesia; serta (3) kepada Kemlu RI yang kelihatan kedodoran dalam Politik Luar Negeri Indonesia.
Blog I-I melihat bahwa Michael Buehler tidak perlu khawatir atau merasa tertekan atau terganggu dengan dinamika di Jakarta. Bahwa berkembang tuduhan-tuduhan terhadap dirinya sebagai agen asing dari segelintir orang yang berkepentingan di Jakarta merupakan reaksi normal secara politik dalam rangka mengurangi rasa malu akibat terbongkarnya kasus penggunaan lembaga lobby yang tidak transparan. Para akademisi juga tidak perlu mengembangkan opini seolah Michael Buehler dizalimi oleh rezim Jakarta karena hal itu justru kurang menghargai keberanian seorang Michael Buehler, sebagaimana berita Support for Michael Buehler. Bila ingin mendukung Michael Buehler, maka tulislah analisa dan desakan kepada Pemerintah RI untuk memberikan jawaban yang transparan dan jangan biarkan analisa Michael Buehler menguap bagaikan embun pagi yang disinari mentari pagi. Bahaya pembiaran sikap tidak transparan dari orang-orang di sekitar Presiden Jokowi merupakan ancaman laten terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Semoga bermanfaat dan dibaca sebagai bagian dari pembelajaran publik dan bukan suatu kegaduhan
Salam Intelijen
SW
Hal ini sangatlah tidak sehat sebagaimana tersurat dalam analisa Michael Buehler yang mengindikasikan adanya jarak atau jurang pemisah antara Menlu dan Kepala Staf Kepresidenan sekarang Menkopolhukam: At the heart of this foreign policy confusion is a deep rift between foreign minister Retno Marsudi and Luhut Panjaitan, Widodo’s ambitious presidential chief of staff. Singkat kata Kemenlu harus terus berbenah diri dan mengevaluasi para diplomatnya yang hanya datang duduk di KBRI dan tidak pernah keluar kantor dan menikmati gaji dollar. Bahwa Kemenlu masih tampak memiliki performa yang bagus karena sebagian diplomatnya memang ada yang berkualitas dan rajin melakukan fungsinya, dimana salah satunya adalah lobby. Pada sisi praktis ke depan, mari kita perhatikan rencana kunjungan ke beberapa negara Jokowi pada tahun 2016, apakah karena peran Kemenlu dan para diplomatnya atau karena jaringan Kemenkopulhukam Luhut Panjaitan.
Penggunaan jasa Pereira International dan perusahaan lobby R&R Partners tidak perlu ditutup-tutupi, Derwin Pereira tidak perlu minta maaf bilapun ingin meminta maaf maka harus mengungkapkan siapa yang membayarnya, Michael Buehler juga tidak perlu terus memanasinya dengan penajaman analisanya. Hal ini merupakan pelajaran mahal untuk pemerintah agar lebih kompak dalam koordinasi kebijakan dan eksekusinya, pelajaran agar leadership Presiden lebih profesional dengan banyak belajar dan tegas, dan tantangan untuk berani terbuka dan bersikap ksatria dalam menjelaskan kejanggalan pada setiap kebijakan atau kegiatan pemerintah.
Fakta baru penggunaan jasa perusahaan lobby oleh Pemerintahan Jokowi ini sekaligus juga memperkuat artikel Blog I-I ketika masa kampanye 2014 yakni tentang keterlibatan Stanley Greenberg dalam pemilu Indonesia. Apabila koneksi jaringan Jokowi memang sangat kuat di AS, mengapa perlu menggunakan perusahaan di Singapura?
Artikel ini secara obyektif melihat duduk perkara berdasarkan content analysis sederhana dari dokumen yang menjadi rujukan Michael Buehler. Kemudian melalui proses interpretasi dan pengecekan langsung dapat mengkonfirmasi bahwa analisa dan opini Michael Buehler dapat dipertanggungjawabkan. Persoalannya kemudian adalah pada embarrassment yang sadar ataupun tidak sadar menimpa: (1) Derwin Pereira dari sisi akuntabilitas dan profesionalisme sebuah lembaga lobby; (2) integritas seorang Luhut Panjaitan yang memegang posisi penting di Indonesia; serta (3) kepada Kemlu RI yang kelihatan kedodoran dalam Politik Luar Negeri Indonesia.
Blog I-I melihat bahwa Michael Buehler tidak perlu khawatir atau merasa tertekan atau terganggu dengan dinamika di Jakarta. Bahwa berkembang tuduhan-tuduhan terhadap dirinya sebagai agen asing dari segelintir orang yang berkepentingan di Jakarta merupakan reaksi normal secara politik dalam rangka mengurangi rasa malu akibat terbongkarnya kasus penggunaan lembaga lobby yang tidak transparan. Para akademisi juga tidak perlu mengembangkan opini seolah Michael Buehler dizalimi oleh rezim Jakarta karena hal itu justru kurang menghargai keberanian seorang Michael Buehler, sebagaimana berita Support for Michael Buehler. Bila ingin mendukung Michael Buehler, maka tulislah analisa dan desakan kepada Pemerintah RI untuk memberikan jawaban yang transparan dan jangan biarkan analisa Michael Buehler menguap bagaikan embun pagi yang disinari mentari pagi. Bahaya pembiaran sikap tidak transparan dari orang-orang di sekitar Presiden Jokowi merupakan ancaman laten terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Semoga bermanfaat dan dibaca sebagai bagian dari pembelajaran publik dan bukan suatu kegaduhan
Salam Intelijen
SW
Komentar
Posting Komentar