Penyebaran Faham ISIS di Masjid: Fitnah atau Realita
Pada 31 Juli 2017, Australian Broadcasting Corporation (ABC) melansir berita yang bersumber dari Indonesia tentang 41 Masjid di 16 Propinsi di Indonesia yang mendukung kelompok Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). Dari angka tersebut 16 Masjid di 7 Propinsi terkonfirmasi secara resmi mendukung kelompok ISIS. Berita yang berjudul Islamic State: Indonesian mosques accused of supporting radical group's ideology tersebut bukan saja mengundang polemik perdebatan publik, melainkan juga diwarnai kontroversi bahwa penelitian yang dilakukan oleh Tim Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) yang dipimpin oleh Adhe Bhakti telah melakukan surveillance terhadap rumah ibadah Masjid untuk Pemerintah Indonesia yang belakangan dibantah oleh Adhe Bhakti.
Laporan PAKAR yang dikutip media Australia tersebut senada dengan temuan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) NU tentang masjid-masjid yang terindikasi radikal.
Bagi komunitas Blog I-I, temuan PAKAR yang sering bekerjasama dengan BNPT tersebut perlu diperhatikan karena penelitian tentang Islam Radikal di negara mayoritas Muslim adalah penelitian yang sensitif dan memerlukan akurasi yang tinggi dalam hal definisi dan bukti-bukti berupa data. Setelah mempelajari dengan seksama laporan PAKAR tersebut, setidaknya terdapat lima catatan khusus dari Blog I-I yang tidak akan diungkapkan secara detil guna menghindari kesalahpahaman yang tidak diperlukan.
Catatan pertama adalah mengenai metodologi penelitian dan maksud dan tujuan penelitian. Penelitian akademis dan surveillance intelijen memiliki perbedaan dan kesamaan yang seringkali menyebabkan munculnya kesalahpahaman. Penelitian akademis dibidang sosial kemasyarakatan mencari penjelasan-penjelasan yang obyektif tentang suatu fenomena di masyarakat. Sebut saja misalnya fenomena dukungan sejumlah kelompok Islam yang dimasukkan dalam kategori komunita atau pengurus Masjid terhadap ISIS. Baik penelitian akademis maupun operasi intelijen sama-sama ingin mencari data tentang fenomena tersebut, penelitian akademis akan jauh lebih dalam dengan mencari faktor-faktor penentu variabel fenomena tersebut serta membuktikan hipotesa-hipotesa, sementara operasi intelijen menyasar kepada target-target tertentu dalam rangka deteksi dini dan cegah dini faham yang berbahaya bagi keselamatan masyarakat Indonesia. Penelitian PAKAR walaupun dapat dianggap sebagai penelitian sosial, namun informasinya sangat bermanfaat dan penting bagi intelijen termasuk BNPT dalam rangka menentukan kebijakan pemerintah di bidang keamanan dan ketertiban. Pertanyaan kemudian adalah dalam soal menempatkan sejumlah peneliti ke sejumlah masjid di sejumlah propinsi yang jelas dilakukan secara rahasia atau menyusupkan para peneliti. Hal ini jelas bukan metode penelitian kuantitatif, melainkan metode kualitatif yang dilakukan secara rahasia melalui observasi dan pencatatan pernyataan-pernyataan pengurus atau orang-orang berpengaruh di Masjid. Metode ini dekat dengan penelitian antropologi tanpa membaur atau membaur secara rahasia dengan cover. Terdapat sejumlah keyakinan bahwa metode ini menyajikan realita data yang sesungguhnya namun juga sering dianggap memiliki kelemahan karena belum tentu data yang diperoleh adalah realita sosial karena terkait dengan konsistensi data apalagi apabila penelitian dilakukan hanya dalam jangka waktu yang relatif pendek misalnya sebulan atau beberapa bulan saja.
Kemudian tentang tujuannya yang kemudian terungkap dalam wawancara ABC dengan Adhe Bhakti yang seolah mengerucut kepada peringatan kepada masyarakat Indonesia tentang bahaya radikalisasi yang mengintai dari Masjid-Masjid. Misalnya temuan tentang pengurus Masjid yang berperan sebagai travel agen bagi mereka yang ingin ke Suriah. Peranan pengurus Masjid semacam itu tentunya bukan lagi sekedar dukungan simpati biasa, melainkan telah aktif menjadi bagian dari jaringan ISIS. Hal ini lebih tepat dilihat bukan sebagai penelitian akademis, melainkan sebuah operasi pengawasan Masjid yang dikemas dalam bentuk penelitian.
Menjadi wewenang aparatur pemerintah di bidang keamanan untuk melakukan investigasi terhadap berkembangnya faham kekerasan radikalisme di masyarakat. Sesungguhnya tidak perlu dilakukan upaya-upaya kontroversial menggunakan pihak ketiga seperti PAKAR untuk mengawasi Masjid-Masjid yang diduga telah terkontaminasi dengan faham kekerasan. Seharusnya aparat keamanan segera mengembangkan operasi intelijen dan penegakkan hukum demi keamanan dan keselamatan masyarakat dari faham-faham kekerasan tersebut. Bahwa kebetulan tempatnya misalnya di Masjid maka penyelidikan dapat dilakukan dengan cara yang lebih hati-hati. Kelemahan penggunaan pihak ketiga seperti PAKAR tersebut adalah kesembronoan PAKAR yang ingin tampil di publik dengan mengumumkan hasil temuan yang belum tentu benar, akibatnya adalah justru meningkatkan rasa tidak percaya kepada pemerintah. Selain itu, pengumuman hasil penelitian PAKAR kepada media apalagi media Australia juga mengundang tanda tanya sendiri, apakah maksudnya untuk propaganda kewaspadaan publik terhadap ancaman radikalisme ataukah propaganda "kehebatan" PAKAR melakukan penetrasi/infiltrasi ke Masijd-Masjid? Dua hal yang sangat berbeda tersebut akan berdampak negatif dalam jangka panjang.
Dampak negatif terbesar lahir dari pernyataan-pernyataan tendensius hasil penelitian yang dapat mengerucut pada labelling Masjid Radikal, Masjid Moderat, atau bahkan Masjid Liberal. Padahal hal itu sangat dinamis dan dapat bergeser dari waktu ke waktu seiring dengan dinamika pengurus Masjid dan perkembangan aliran utama yang berkembang di Masjid. Sementara itu, penanganan masalah radikalisme justru terabaikan, apakah Polisi atau BNPT dapat mengambil suatu kebijakan dari penelitian PAKAR setelah disebarluaskan di media massa? Mungkin iya mungkin juga tidak.
Meskipun Blog I-I menilai langkah yang ditempuh PAKAR sangat gegabah, namun hasil temuan PAKAR perlu juga diperhatikan oleh lembaga keamanan baik polisi, BNPT maupun intelijen. Hal itu jangan dianggap sebagai fakta sebelum adanya verifikasi. Misalnya Polisi dapat menggunakan hasil temuan PAKAR untuk langsung melakukan cross check ke pada pengurus atau ustadz Masjid-Masjid yang dituduh mengembangkan faham radikal. Atau intelijen dapat mengembangkan operasi intelijen survellance terhadap orang-orang yang sudah dicatat oleh PAKAR. Apabila terbukti, dapat ditempuh tindakan penyadaran maupun tindakan hukum dengan melibatkan lembaga-lembaga yang memiliki otoritas atau pengaruh terhadap pengurus Masjid.
Catatan penting dalam menilai suatu informasi ttg masjid sebagai tempat penyebaran faham radikal atau penceramah yang menyebarkan radikalisme:
Sekian,
Semoga bermanfaat
Dharma Bhakti
Laporan PAKAR yang dikutip media Australia tersebut senada dengan temuan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) NU tentang masjid-masjid yang terindikasi radikal.
Bagi komunitas Blog I-I, temuan PAKAR yang sering bekerjasama dengan BNPT tersebut perlu diperhatikan karena penelitian tentang Islam Radikal di negara mayoritas Muslim adalah penelitian yang sensitif dan memerlukan akurasi yang tinggi dalam hal definisi dan bukti-bukti berupa data. Setelah mempelajari dengan seksama laporan PAKAR tersebut, setidaknya terdapat lima catatan khusus dari Blog I-I yang tidak akan diungkapkan secara detil guna menghindari kesalahpahaman yang tidak diperlukan.
Catatan pertama adalah mengenai metodologi penelitian dan maksud dan tujuan penelitian. Penelitian akademis dan surveillance intelijen memiliki perbedaan dan kesamaan yang seringkali menyebabkan munculnya kesalahpahaman. Penelitian akademis dibidang sosial kemasyarakatan mencari penjelasan-penjelasan yang obyektif tentang suatu fenomena di masyarakat. Sebut saja misalnya fenomena dukungan sejumlah kelompok Islam yang dimasukkan dalam kategori komunita atau pengurus Masjid terhadap ISIS. Baik penelitian akademis maupun operasi intelijen sama-sama ingin mencari data tentang fenomena tersebut, penelitian akademis akan jauh lebih dalam dengan mencari faktor-faktor penentu variabel fenomena tersebut serta membuktikan hipotesa-hipotesa, sementara operasi intelijen menyasar kepada target-target tertentu dalam rangka deteksi dini dan cegah dini faham yang berbahaya bagi keselamatan masyarakat Indonesia. Penelitian PAKAR walaupun dapat dianggap sebagai penelitian sosial, namun informasinya sangat bermanfaat dan penting bagi intelijen termasuk BNPT dalam rangka menentukan kebijakan pemerintah di bidang keamanan dan ketertiban. Pertanyaan kemudian adalah dalam soal menempatkan sejumlah peneliti ke sejumlah masjid di sejumlah propinsi yang jelas dilakukan secara rahasia atau menyusupkan para peneliti. Hal ini jelas bukan metode penelitian kuantitatif, melainkan metode kualitatif yang dilakukan secara rahasia melalui observasi dan pencatatan pernyataan-pernyataan pengurus atau orang-orang berpengaruh di Masjid. Metode ini dekat dengan penelitian antropologi tanpa membaur atau membaur secara rahasia dengan cover. Terdapat sejumlah keyakinan bahwa metode ini menyajikan realita data yang sesungguhnya namun juga sering dianggap memiliki kelemahan karena belum tentu data yang diperoleh adalah realita sosial karena terkait dengan konsistensi data apalagi apabila penelitian dilakukan hanya dalam jangka waktu yang relatif pendek misalnya sebulan atau beberapa bulan saja.
Kemudian tentang tujuannya yang kemudian terungkap dalam wawancara ABC dengan Adhe Bhakti yang seolah mengerucut kepada peringatan kepada masyarakat Indonesia tentang bahaya radikalisasi yang mengintai dari Masjid-Masjid. Misalnya temuan tentang pengurus Masjid yang berperan sebagai travel agen bagi mereka yang ingin ke Suriah. Peranan pengurus Masjid semacam itu tentunya bukan lagi sekedar dukungan simpati biasa, melainkan telah aktif menjadi bagian dari jaringan ISIS. Hal ini lebih tepat dilihat bukan sebagai penelitian akademis, melainkan sebuah operasi pengawasan Masjid yang dikemas dalam bentuk penelitian.
Menjadi wewenang aparatur pemerintah di bidang keamanan untuk melakukan investigasi terhadap berkembangnya faham kekerasan radikalisme di masyarakat. Sesungguhnya tidak perlu dilakukan upaya-upaya kontroversial menggunakan pihak ketiga seperti PAKAR untuk mengawasi Masjid-Masjid yang diduga telah terkontaminasi dengan faham kekerasan. Seharusnya aparat keamanan segera mengembangkan operasi intelijen dan penegakkan hukum demi keamanan dan keselamatan masyarakat dari faham-faham kekerasan tersebut. Bahwa kebetulan tempatnya misalnya di Masjid maka penyelidikan dapat dilakukan dengan cara yang lebih hati-hati. Kelemahan penggunaan pihak ketiga seperti PAKAR tersebut adalah kesembronoan PAKAR yang ingin tampil di publik dengan mengumumkan hasil temuan yang belum tentu benar, akibatnya adalah justru meningkatkan rasa tidak percaya kepada pemerintah. Selain itu, pengumuman hasil penelitian PAKAR kepada media apalagi media Australia juga mengundang tanda tanya sendiri, apakah maksudnya untuk propaganda kewaspadaan publik terhadap ancaman radikalisme ataukah propaganda "kehebatan" PAKAR melakukan penetrasi/infiltrasi ke Masijd-Masjid? Dua hal yang sangat berbeda tersebut akan berdampak negatif dalam jangka panjang.
Dampak negatif terbesar lahir dari pernyataan-pernyataan tendensius hasil penelitian yang dapat mengerucut pada labelling Masjid Radikal, Masjid Moderat, atau bahkan Masjid Liberal. Padahal hal itu sangat dinamis dan dapat bergeser dari waktu ke waktu seiring dengan dinamika pengurus Masjid dan perkembangan aliran utama yang berkembang di Masjid. Sementara itu, penanganan masalah radikalisme justru terabaikan, apakah Polisi atau BNPT dapat mengambil suatu kebijakan dari penelitian PAKAR setelah disebarluaskan di media massa? Mungkin iya mungkin juga tidak.
Meskipun Blog I-I menilai langkah yang ditempuh PAKAR sangat gegabah, namun hasil temuan PAKAR perlu juga diperhatikan oleh lembaga keamanan baik polisi, BNPT maupun intelijen. Hal itu jangan dianggap sebagai fakta sebelum adanya verifikasi. Misalnya Polisi dapat menggunakan hasil temuan PAKAR untuk langsung melakukan cross check ke pada pengurus atau ustadz Masjid-Masjid yang dituduh mengembangkan faham radikal. Atau intelijen dapat mengembangkan operasi intelijen survellance terhadap orang-orang yang sudah dicatat oleh PAKAR. Apabila terbukti, dapat ditempuh tindakan penyadaran maupun tindakan hukum dengan melibatkan lembaga-lembaga yang memiliki otoritas atau pengaruh terhadap pengurus Masjid.
Catatan penting dalam menilai suatu informasi ttg masjid sebagai tempat penyebaran faham radikal atau penceramah yang menyebarkan radikalisme:
- Indikator radikal. Harus kita samakan persepsi tentang indikator utama istilah radikal, misalnya mengajarkan dan menganjurkan KEKERASAN dalam mencapai tujuan seperti akidah kaum Khawarij dan kelompok Teroris. Hal ini sangat penting untuk menghindari fitnah yang lahir dari perbedaan pendapat ulama dalam menafsirkan dalil nash (Al Quran dan Hadits), terlebih persepsi yang dibangun dari akal logika.
- Fanatik yang sangat keras dan berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw) atau ekstremisme yakni mengambil sisi yang paling ekstrem dalam beragama, misalnya kaum takfiri yang suka mengkafirkan sesama Muslim dan menghalalkan pembunuhan.
- Tidak ada satupun dari mazhab yang 4, Maliki, Syafi'i, Hanafi, dan Hambali yang mengajarkan radikalisme.
- Mayoritas ahlus sunnah wal jama'ah (aswaja) Indonesia baik yang mengkhususkan kepada Syafi'iyah, Asy'ariyah Maturidiyah, maupun yang mengklaim sebagai Salafiah, semuanya tidak mengajarkan radikalisme dalam kontek kekerasan.
- Tuduhan kepada pengikut Wahabi (model Arab Saudi dan bukan Wahabi sesat yg berkembang di Maroko) sebagai kaum radikal tidak tepat dan cenderung mengadu domba sesama Muslim Indonesia yg aswaja.
- Intoleransi tidak sama dengan radikalisme. Misalnya pada umumnya umat beragama tidak mentoleransi kesesatan kaum yg tidak beragama, pada masa lalu intoleransi umat beragama terhadap mereka yg tidak beragama mungkin mencapai titik penghukuman secara fisik dengan dibakar atau dibunuh seperti menimpa kaum pagan dan penyihir yang menolak Kristiani di Eropa. Dalam kasus Indonesia, misalnya intoleransi yang ditunjukkan oleh para teroris termasuk radikal, selain itu juga intoleransi terhadap pengikut Ahmadiyah yang mencapai titik penghukuman berupa pembunuhan terhadap pengikut Ahmadiyah. Sementara itu, sikap tegas menolak kesesatan bukanlah intoleransi radikalisme selama hanya sebatas sikap saja dan tidak diwujudkan dalam perbuatan kekerasan.
Sekian,
Semoga bermanfaat
Dharma Bhakti
Komentar
Posting Komentar