Radikalisasi: Sebuah Pengalaman Pribadi
Pengantar Blog I-I: Artikel berikut ini adalah komentar Sdr. Bunglon Hitam terhadap artikel ISIS: Sebuah Perspektif Obyektif. Komentar Sdr. Bunglon Hitam bila dipublikasikan sebagai komentar mungkin akan terlewat oleh sahabat Blog I-I yang hanya membaca bagian artikel-artikel Blog I-I, oleh karena itu ada baiknya diangkat sebagai artikel yang semoga bermanfaat bagi kita semua dalam memahami fenomena radikalisasi khususnya di Indonesia. Blog I-I hanya menambahkan judul yang semoga dapat mencerminkan isi dari tulisan Sdr. Bunglon Hitam. Selamat membaca....
Radikalisasi: Sebuah Pengalaman Pribadi
oleh: Bunglon Hitam
Ijinkan saya untuk sedikit menuangkan pengalaman tentang gerakan Islam. Saya sudah cukup lama ikut gerakan-gerakan pengajian, sudah sejak saya masih SMA. Dari mengikuti berbagai macam gerakan tersebut, saya bisa melihat mana-mana saja subjek yang radikal, berpotensi radikal, konservatif, hingga moderat. Saya sendiri adalah salah satu orang yang berpotensi radikal, dulunya. Saya seringkali tak segan bicara soal hukum pancung (qishash), hukum potong tangan, dan hukum-hukum fisik lainnya di depan teman-teman saya yang bahkan masih awam dengan Islam.
Jika ada yang berbeda pandangan dengan saya, saya juga bahkan tak ragu melabeli kata "kafir" atau "munafik" atau "Yahudi" kepada orang tersebut. Dari pengalaman itu, saya belajar. Faktor utama saya teradikalisasi itu bukan karena faktor ekonomi dan sosial, tetapi karena faktor pengajar/pemahaman. Pengajar-pengajar (mentor) saya dulu lebih banyak mengajarkan hal-hal yang berbau hukuman fisik, apa-apa saja yang mengantarkan orang ke neraka, aliran fikih yang cukup keras, dan sistem kasta (kafir, fasik, munafik).
Tak pelak, saya pun merasakan menjadi radikal (walaupun masih dalam tahapan radikal verbal). Orangtua saya sebut kafir, adik saya sebut kafir, saudara saya sebut kafir. Saya "janjikan" mereka neraka, apa-apa yang mereka lakukan ujung2nya saya sebut sebagai cara-cara penghuni neraka, sampai akhirnya saya pun berkelahi dengan anggota keluarga. Semua berawal dari pemahaman "sesat" saya soal Islam.
Beruntung saya segera dikembalikan ke jalan yang benar oleh seorang ustadz jebolan Muhammadiyyah. Andai itu tidak terjadi, teman-teman Anda di BIN mungkin sudah mengincar kepala saya sekarang. Yang baru saja Seno sebutkan di atas, yakni faktor perang, faktor balas dendam, faktor ekonomi, kesemuanya adalah faktor-faktor radikalisasi yang terjadi di Timteng.
Saya rasa di tiap daerah tidak sama tentang cara meradikalisasi seseorang. Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang hampir jadi radikal seutuhnya, padahal saya hidup di negara yang damai, ekonomi saya bagus, akademis saya bagus, dan sosial saya pun bagus. Jadi, kalau dikatakan bahwa faktor-faktor radikalisasi itu hanya faktor konflik, saya rasa itu kurang lengkap. Itu hanya salah satu dari sekian banyak faktor, Seno.
Indonesia, sepengalaman saya, punya cara unik untuk meradikalisasi seseorang. Caranya adalah dengan "menjejalkan" pemahaman-pemahaman tingkat lanjut kepada "para pencari Tuhan". Di Indonesia, banyak orang yang ingin menjadi relijius, tetapi tidak tahu harus belajar ke mana. Banyak orang yang ingin bertobat, tapi tak tahu harus menyerahkan diri ke mana. Keputusasaan itu berpotensi mengantarkan mereka ke pihak-pihak yang lebih tertarik untuk mengambil bahasan tingkat lanjut (seperti hudud, negara Islam, qishash, dll), padahal yang mereka butuhkan sebenarnya adalah siraman rohani.
Bahasan tingkat lanjut semestinya hanya bisa didiskusikan oleh orang-orang yang sudah mengaji cukup lama dan memiliki pemahaman dasar Islam yang kuat, tidak boleh dengan serta-merta dijejalkan ke orang-orang yang baru belajar. Saya bisa berbicara seperti ini karena saya menyaksikan sendiri TEMAN DEKAT saya berubah hanya dalam waktu yang sangat singkat, berkat suntikan pemahaman Islam yang keliru, dan berkat keterburu-buruan mereka ingin menjadi sholeh (setelah mungkin lelah dengan kehidupan duniawi). Oh, mereka bahkan tak ragu-ragu menjadi pendukung Santoso (MIT) di depan saya.
Jangan remehkan pula radikal secara verbal. Kebiasaan nyinyir, kebiasaan mengatai orang lain kafir, kebiasaan mengancam orang dengan neraka, kebiasaan-kebiasaan seperti itu apabila dibiarkan lama-kelamaan akan berkembang ke arah yang lebih berbahaya. Ini hanya sedikit tuangan pikiran saya sebagai orang yang dulu hampir jadi radikal. Intinya, jangan anggap remeh segala bentuk radikalisme, baik yang kecil maupun yang besar, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Semoga ini bisa melengkapi pernyataan Seno dan teman-teman Blog I-I.
Islam tidak hanya bicara pada tataran nahi munkar, tapi juga amar ma'ruf, dan dengan cara-cara yang ahsan. Kalau Anda tidak memahami basic-basic ini, Anda tidak akan mendapatkan Islam, tetapi hanya fragmentasi ajaran Islam. Dengan demikian, kita sepatutnya sadar bahwa apa pun bentuk radikalisme (baik verbal maupun fisik) adalah buruk. Kita harus melawan semua itu dengan menggalakkan kembali ajaran-ajaran yang lebih esensial, seperti berbuat baik, beribadah, dan bermuamalah secara adil dengan semua orang.
Mengontrol materi ceramah seperti yang dilakukan Menag itu bagus, karena memang tidak semua wawasan Islam bisa disuntikkan secara serta-merta kepada "newbie". Ada tahapannya. Itu bukan upaya untuk membatasi ruang gerak pendakwah, tetapi untuk membangun jati diri Islam yang lebih sempurna kepada kaum muslimin. Jangan sampai apa yang kita sampaikan malah membentuk pribadi Islam yang prematur. Nabi Muhammad pun memilih-milih bahasan ketika berhadapan dengan sahabat-sahabat tertentu kan? Jangankan terhadap sahabat, terhadap pemimpin seperti Heraklius pun beliau memilih bahasan dan tema yang lebih mudah untuk diterima oleh non-Muslim seperti Heraklius. Bukan membatasi gerak dakwah, sekali lagi, tetapi untuk membentuk pribadi Islam yang lebih paripurna.
Salam. -BunglonHitam
Radikalisasi: Sebuah Pengalaman Pribadi
oleh: Bunglon Hitam
Ijinkan saya untuk sedikit menuangkan pengalaman tentang gerakan Islam. Saya sudah cukup lama ikut gerakan-gerakan pengajian, sudah sejak saya masih SMA. Dari mengikuti berbagai macam gerakan tersebut, saya bisa melihat mana-mana saja subjek yang radikal, berpotensi radikal, konservatif, hingga moderat. Saya sendiri adalah salah satu orang yang berpotensi radikal, dulunya. Saya seringkali tak segan bicara soal hukum pancung (qishash), hukum potong tangan, dan hukum-hukum fisik lainnya di depan teman-teman saya yang bahkan masih awam dengan Islam.
Jika ada yang berbeda pandangan dengan saya, saya juga bahkan tak ragu melabeli kata "kafir" atau "munafik" atau "Yahudi" kepada orang tersebut. Dari pengalaman itu, saya belajar. Faktor utama saya teradikalisasi itu bukan karena faktor ekonomi dan sosial, tetapi karena faktor pengajar/pemahaman. Pengajar-pengajar (mentor) saya dulu lebih banyak mengajarkan hal-hal yang berbau hukuman fisik, apa-apa saja yang mengantarkan orang ke neraka, aliran fikih yang cukup keras, dan sistem kasta (kafir, fasik, munafik).
Tak pelak, saya pun merasakan menjadi radikal (walaupun masih dalam tahapan radikal verbal). Orangtua saya sebut kafir, adik saya sebut kafir, saudara saya sebut kafir. Saya "janjikan" mereka neraka, apa-apa yang mereka lakukan ujung2nya saya sebut sebagai cara-cara penghuni neraka, sampai akhirnya saya pun berkelahi dengan anggota keluarga. Semua berawal dari pemahaman "sesat" saya soal Islam.
Beruntung saya segera dikembalikan ke jalan yang benar oleh seorang ustadz jebolan Muhammadiyyah. Andai itu tidak terjadi, teman-teman Anda di BIN mungkin sudah mengincar kepala saya sekarang. Yang baru saja Seno sebutkan di atas, yakni faktor perang, faktor balas dendam, faktor ekonomi, kesemuanya adalah faktor-faktor radikalisasi yang terjadi di Timteng.
Saya rasa di tiap daerah tidak sama tentang cara meradikalisasi seseorang. Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang hampir jadi radikal seutuhnya, padahal saya hidup di negara yang damai, ekonomi saya bagus, akademis saya bagus, dan sosial saya pun bagus. Jadi, kalau dikatakan bahwa faktor-faktor radikalisasi itu hanya faktor konflik, saya rasa itu kurang lengkap. Itu hanya salah satu dari sekian banyak faktor, Seno.
Indonesia, sepengalaman saya, punya cara unik untuk meradikalisasi seseorang. Caranya adalah dengan "menjejalkan" pemahaman-pemahaman tingkat lanjut kepada "para pencari Tuhan". Di Indonesia, banyak orang yang ingin menjadi relijius, tetapi tidak tahu harus belajar ke mana. Banyak orang yang ingin bertobat, tapi tak tahu harus menyerahkan diri ke mana. Keputusasaan itu berpotensi mengantarkan mereka ke pihak-pihak yang lebih tertarik untuk mengambil bahasan tingkat lanjut (seperti hudud, negara Islam, qishash, dll), padahal yang mereka butuhkan sebenarnya adalah siraman rohani.
Bahasan tingkat lanjut semestinya hanya bisa didiskusikan oleh orang-orang yang sudah mengaji cukup lama dan memiliki pemahaman dasar Islam yang kuat, tidak boleh dengan serta-merta dijejalkan ke orang-orang yang baru belajar. Saya bisa berbicara seperti ini karena saya menyaksikan sendiri TEMAN DEKAT saya berubah hanya dalam waktu yang sangat singkat, berkat suntikan pemahaman Islam yang keliru, dan berkat keterburu-buruan mereka ingin menjadi sholeh (setelah mungkin lelah dengan kehidupan duniawi). Oh, mereka bahkan tak ragu-ragu menjadi pendukung Santoso (MIT) di depan saya.
Jangan remehkan pula radikal secara verbal. Kebiasaan nyinyir, kebiasaan mengatai orang lain kafir, kebiasaan mengancam orang dengan neraka, kebiasaan-kebiasaan seperti itu apabila dibiarkan lama-kelamaan akan berkembang ke arah yang lebih berbahaya. Ini hanya sedikit tuangan pikiran saya sebagai orang yang dulu hampir jadi radikal. Intinya, jangan anggap remeh segala bentuk radikalisme, baik yang kecil maupun yang besar, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Semoga ini bisa melengkapi pernyataan Seno dan teman-teman Blog I-I.
Islam tidak hanya bicara pada tataran nahi munkar, tapi juga amar ma'ruf, dan dengan cara-cara yang ahsan. Kalau Anda tidak memahami basic-basic ini, Anda tidak akan mendapatkan Islam, tetapi hanya fragmentasi ajaran Islam. Dengan demikian, kita sepatutnya sadar bahwa apa pun bentuk radikalisme (baik verbal maupun fisik) adalah buruk. Kita harus melawan semua itu dengan menggalakkan kembali ajaran-ajaran yang lebih esensial, seperti berbuat baik, beribadah, dan bermuamalah secara adil dengan semua orang.
Mengontrol materi ceramah seperti yang dilakukan Menag itu bagus, karena memang tidak semua wawasan Islam bisa disuntikkan secara serta-merta kepada "newbie". Ada tahapannya. Itu bukan upaya untuk membatasi ruang gerak pendakwah, tetapi untuk membangun jati diri Islam yang lebih sempurna kepada kaum muslimin. Jangan sampai apa yang kita sampaikan malah membentuk pribadi Islam yang prematur. Nabi Muhammad pun memilih-milih bahasan ketika berhadapan dengan sahabat-sahabat tertentu kan? Jangankan terhadap sahabat, terhadap pemimpin seperti Heraklius pun beliau memilih bahasan dan tema yang lebih mudah untuk diterima oleh non-Muslim seperti Heraklius. Bukan membatasi gerak dakwah, sekali lagi, tetapi untuk membentuk pribadi Islam yang lebih paripurna.
Salam. -BunglonHitam
Komentar
Posting Komentar