BG: Saya Indonesia Saya Pancasila
Kepala BIN Jenderal Pol Budi Gunawan |
Sumber: MNOL
Jakarta – Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Pol Budi Gunawan dalam rangka memperingati Hari Pancasila 1 Juni 2017 ini mengutarakan pandangannya tentang urgensi nilai moral Pancasila untuk keselamatan bangsa dan negara Indonesia. “1 Juni adalah Hari Lahir Pancasila yang merupakan tonggak penting perjalanan bangsa dan negara kita dimana seluruh elemen masyarakat secara bersama menyepakati Pancasila sebagai falsafah bangsa dan Dasar Negara,” ujar BG sapaan akrabnya di Jakarta (1/6).
Menurutnya, Dasar Negara Pancasila mengandung makna sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang merupakan Negara kepulauan dari Sabang sampai Merauke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Tidak ada sekat atau dinding pemisah antara bagian barat, tengah dan timur semua menjadi satu dengan satu dasar Pancasila,” tambahnya menegaskan. Pancasila yang dicetuskan oleh para founding fathers dalam sidang BPUPKI dari tanggal 29 Mei- 1 Juni 1945 menjadi Dasar Indonesia Merdeka yang menyatukan seluruh kepulauan di Indonesia. Pancasila pun menjadi pengukuh amanat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Selanjutnya, Pancasila pula melandasi lahirnya Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 sebagai penegasan terhadap negara kepulauan Indonesia. Di mana perjuangan itu pun menembus ranah internasional dalam mendapat pengakuan pada UNCLOS 1982. Masih kata BG, dalam momentum peringatan Hari Lahir Pancasila tahun 2017 kali ini, perlu diwujudkan dengan komitmen bersama untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila melalui penerapan perilaku yang menjunjung tinggi kebersamaan dalam hidup berbangsa dan bernegara. “Musyawarah, persamaan derajat, menghargai adanya perbedaan baik suku, agama, ras dan antar golongan serta mengedepankan semangat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus senantiasa kita junjung tinggi,” bebernya.
Lulusan Akpol tahun 1983 ini mengimbau kepada seluruh elemen bangsa untuk menanamkan sila-sila dalam Pancasila di kehidupannya sehari-hari. “Mari kita tanamkan nilai semangat persatuan dan kesatuan yang diaplikasikan dalam kehidupan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, mewujudkan Kemanusiaan yang adil dan beradab di seluruh sektor kehidupan, mengedepankan musyawarah dan mufakat, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” jelas dia.
Sejalan dengan tagline yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo, bahwa nilai-nilai Pancasila harus terus di-reaktualisasikan dalam kehidupan nyata. BG pun menyatakan bahwa nilai-nilai tersebut harus menjadi way of life-nya bangsa Indonesia. “Kita harus terapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi pola hidup atau way of life seluruh insan Indonesia, Saya Indonesia, Saya Pancasila,” pungkasnya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan Blog I-I
Seruan Presiden Joko Widodo tentang reaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian apa yang diserukan oleh Kepala BIN Budi Gunawan juga sangat penting dan sejalan dengan pemaknaan dasar negara yang menjadi pemersatu bangsa Indonesia.
Tidak ada keraguan atau bantahan terhadap apa-apa yang diserukan oleh Presiden Jokowi dan Budi Gunawan tentang pentingnya Pancasila. Bahkan kampanye Saya Indonesia Saya Pancasila menjadi tema #PekanPancasila dalam rangkaian peringatan Hari Lahir Pancasila yang jatuh pada hari ini tanggal 1 Juni.
Peringatan dan kampanye yang bertujuan mendorong reaktualisasi Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia tidak dapat hanya sekedar peringatan dan kampanye belaka. Reaktualisasi berarti benar-benar dilaksanakan tentunya setelah dipahami sebelumnya. Warisan sejarah kelam Orde Baru yang menafsirkan Pancasila sebagai ideologi negara yang bermanfaat dalam mempertahankan kekuasaan dan "menggebuk" seluruh kelompok oposisi telah membuat Pancasila kehilangan simpati di hati sebagian elemen bangsa. Pancasila oleh Orde Baru diidentikan dengan eksistensi kekuasaan Orde Baru, dimana siapapun yang anti-Pemerintah, kritis terhadap Pemerintah atau bertentangan dengan Pemerintah akan dicap anti-Pancasila dan melakukan subversi terhadap Pemerintahan yang sah. Kekeliruan Orde Baru tersebut merupakan bagian dari strategi Presiden Suharto untuk mempertahankan kekuasaannya selama 32 tahun. Alih-alih pembinaan mental ideologi, penataran P4 digalakkan di berbagai bidang kehidupan masyarakat khususnya di dunia pendidikan sampai pada level Perguruan Tinggi. Apakah semua itu berhasil? Secara formalitas pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), Penataran P4, serta berbagai bentuk indoktrinasi dapat dikatakan berjalan, bahkan sebuah badan yang khusus bernama Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dibentuk khusus untuk melaksanakan pembinaan dan pendidikan P4. Sejak dibentuk dengan Keppres No.10 tahun 1979 hingga dibubarkan pada tahun 1998, BP7 memiliki peranan sentral dalam menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila sebagai pembinaan dan pendidikan serta pelaksanaan P4 bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengapa gerakan reformasi 1997-1998 salah satunya menghasilkan pembubaran BP7 bersama-sama dengan tuntutan yang lainnya?
Sebagaimana dinyatakan oleh Presiden Habibie dalam pidato pertanggungjawabannya pada 14 Oktober 1999:
"Selain itu, Pemerintah juga telah menindaklanjuti TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 dengan membubarkan lembaga BP-7 Pusat maupun Daerah. Dengan pembubaran BP-7 tersebut maka interpretasi tunggal tentang Pancasila yang dilaksanakan selama Orde Baru dapat kita akhiri. Di masa depan kita dapat mengembangkan pemahaman terhadap Pancasila sebagai ideologi dasar negara secara lebih terbuka, dinamis, kontekstual dan sejalan dengan proses demokrasi yang berkembang."
Alasan utama pembubaran BP7 adalah pemanfaatan Pancasila melalui interpretasi tunggal Pemerintah Orde Baru yang secara efektif melakukan represi kepada seluruh kelompok oposisi di dalam negeri. Reformasi merupakan gerakan kelompok anti-Orde Baru bersama-sama berbagai elemen masyarakat dengan penggerak terkuat mahasiswa. Semua ketika itu (tahun 1998) setuju dan sepakat untuk mendorong pembubaran BP7.
Pekerjaan Rumah terbesar yang belum dilakukan oleh seluruh Pemerintahan era reformasi adalah mengembangkan pemahaman Pancasila sebagai ideologi dasar negara secara lebih terbuka, dinamis, kontekstual dan sejalan dengan demokrasi. Apakah sekarang Presiden Jokowi akan melakukan itu dengan Unit Kerja Pembinaan Pancasila atau Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKPPIP)? Ataukah Presiden Jokowi akan mengulangi strategi Presiden Suharto dalam mempertahankan kekuasaannya? Kita masih harus menunggu perkembangannya.
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, ancaman ideologi terbesar terhadap Pancasila hanya ada tiga yakni Komunisme, Liberalisme, dan Islam. Namun Liberalisme mampu untuk lebih fleksibel masuk ke dalam sistem pemerintahan karena kepentingan pembangunan ekonomi dan sistem ekonomi global yang lebih didominasi oleh prinsip-prinsip liberal khususnya mekanisme pasar bebas. Liberalisme dalam konteks sosial dan politik juga relatif lebih mudah merasuk karena kekuatan prinsip universal kebebasan individu serta hak-hak asasi manusia yang kemudian juga menjiwai sistem politik demokrasi yang saat ini kita sepakati bersama. Dengan demikian, ancaman yang tersisa hanya komunisme dan Islam. Komunisme secara ketat adalah mewujudkan cita-cita mendirikan negara yang komunal dimana anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya setara secara ekonomi dan sosial dimana tidak ada kelompok kaya borjuis dan tidak ada proletar miskin, semua sama. Kebanyakan kaum komunis modern hanya mengambil sebagian prinsip dan mengabaikan prinsip yang lain, atau dapat dikatakan telah bergeser ke tengah dengan sosialisme atau sosial demokrat atau sosialisme campuran. Secara formal negara komunis yang masih tersisa di dunia saat ini hanya Republik Rakyat China, Kuba, Laos, Korea Utara, dan Vietnam. Namun hanya Korea Utara dan Kuba yang masih dikatakan ketat dalam penerapan sistem politik dan ekonomi komunis, sedangkan yang lainnya sudah merupaka campuran. Apa yang kita lihat dengan Sosialisme ala China, sosialis republikan Vietnam, sosialis revolusioner Laos telah menerapkan campuran dimana politik tetap dikendalikan oleh partai komunis, namun ekonomi telah terbuka dengan prinsip-prinsip liberalisme.
Sejarah Indonesia telah diwarnai oleh catatan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kemudian membuat PKI dan ideologi komunis menjadi terlarang. Sejarah Indonesia juga telah mencatat pemberontakan DI/TII yang menyebabkan kelompok Darul Islam menjadi organisasi terlarang.
Kita semua dapat melihat sejarah bagaimana dinamika ideologi negara dalam kaitan ini Pancasila dapat berperan sebagai perekat persatuan bangsa. Bukan karena ideologi-ideologi selain Pancasila adalah sangat buruk, melainkan lebih karena Pancasila dibentuk belakangan bukan melalui proses akademis atau wahyu Tuhan, melainkan atas dasar pemikiran para pendiri bangsa Indonesia untuk menyatukan persepsi dan cita-cita bersama dalam ikatan bangsa dan negara Indonesia. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa telah memberikan pondasi yang kuat dalam kehidupan bangsa dan negara yang meyakini bahwa Tuhan itu hanya satu, bukan dua, tiga atau banyak. Artinya seluruh agama yang ada di Indonesia menjiwai Pancasila dan kemudian disepakati bahawa meskipun Indonesia bukan negara agama, namun dijiwai dan sangat menjunjung tinggi moral-moral agama serta bahwa kemerdekaan dan terbentukan negara Republik Indonesia adalah atas berkat rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Kita bangsa yang beragama dan bermoral. Berbeda dengan Komunisme yang berdasarkan kepada Marxisme-Leninisme-Maoisme yang tidak tepat untuk konteks Indonesia.
Apakah berarti bertentangan dengan konsep Islam, negara Islam dan syariah Islam? Pertanyaan ini sangat sulit bila dibahas dari sudut pandang yang berbeda dan hampir dapat dipastikan tidak akan ada titik temunya. Namun bila dilihat dari konteks umat Islam Indonesia, konteks sejarah bangsa Indonesia, serta fakta-fakta tentang siapa bangsa Indonesia itu, maka dapat saya sampaikan Pancasila sebagai ideologi negara tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak ada satupun sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan ajaran Islam. Lima sila yang sederhana dari Pancasila hanya memberikan rujukan tentang bagaimana bangsa Indonesia menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak mengantikan posisi agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu dari hati pada penganutnya. Akan keliru bila kita pertentangkan karena memang tidak ada pertentangan.
Bahwa masih ada pihak-pihak yang menentang Pancasila hal itu dapat dipastikan karena adanya keinginan untuk berkuasa atau membentuk negara baru, misalnya dengan membentuk Republik Sosialis Indonesia yang berdasarkan kepada Komunisme Marxisme atau dengan membentuk Negara Islam Indonesia. Seberapa besar kelompok tersebut? Dapat dipastikan hanya sedikit karena mayoritas manusia Indonesia tidak menghendaki konflik dan merasa nyaman dengan sistem politik demokrasi saat ini yang berdasarkan kepada Pancasila. Jangan kemudian pancasila dianggap sebagai sebuah kemusyrikan karena tidak boleh kita memperTuhankan pancasila, mensakralkan pancasila, atau mengkultuskan Pancasila sebagai sebuah mantra sakti mandraguna melebihi ajaran agama.
Pancasila dalam interpretasi Blog I-I adalah ideologi kompromi dan kesepakatan yang dapat menghilangkan potensi-potensi konflik karena perbedaan keyakinan, cara pandang, dan kepentingan. Kita memiliki kesepakatan untuk dirujuk agar tidak berkelahi terus-menerus karena perbedaan-perbedaan.
Bagaimana menyukseskan Pancasila sebagai rujukan dalam perkehidupan kita berbangsa dan bernegara? tentu saja peranan pemerintah menjadi sangat penting.
Misalnya sebagai contoh tentang kasus geradak geruduk yang dilakukan pengikut FPI kepada pengguna media sosial yang melakukan penghinaan kepada pimpinan FPI Habieb Rizieq. (Baca: Fiera Lovita, Mario Alfian). Apakah itu semua murni kesalahan pengikut FPI yang brutal? Iya benar FPI salah bila melakukan penghakiman sendiri karena sudah ada aturan hukumnya. Bahkan banyak pihak yang menyatakan negara harus hadir mencegah brutalitas FPI. Apakah sesederhana itu?
Kasus-kasus penghakiman oleh massa bukan khas milik FPI melainkan juga sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia, misalnya ketika menangkap maling, membakar begal motor, memukuli pemerkosa, dan lain sebagainya. Hal itu adalah refleksi masih kurangnya jumlah polisi yang dapat merespon setiap peristiwa kejahatan yang terjadi dari Sabang hingga Merauke. Kurangnya jumlah polisi yang hingga tahun 2017 ini masih dalam rasio 1:750 bukan saja menyebabkan kelambatan respon melainkan juga ketidakmampuan memenuhi harapan masyarakat dalam penegakkan hukum. Idealnya rasio polisi dan masyarakat adalah 1:350 sebagaimana diungkapkan oleh Asisten Kapolri bidang SDM Irjen Arief Sulistyanto (baca: jumlah personel polisi belum ideal). Akibat nyata yang sering kita saksikan adalah massa tidak tahan sehingga mengambil keputusan untuk menghakimi sendiri. Persoalan jumlah personel polisi tersebut diperparah dengan penyebaran yang belum merata serta masih adanya masalah dengan profesionalisme dan dukungan anggaran serta peralatan yang kurang memadai.
Jangankan mengurusi masalah yang muncul dari medsos dan perilaku masyarakat yang menyebabkan terjadinya konflik. Dalam menekan angka kriminal saja Polisi sudah sangat kewalahan belum lagi ditambah dengan kejahatan luar biasa seperti terorisme. Oleh karena itu, dperlukan kewaspadaan kita semua untuk dapat menahan diri mengurangi potensi-potensi konflik horisontal yang disebabkan oleh luapan emosi kita melalui media sosial.
Kasus penghinaan terhadap Habieb Rizieq tidak terlepas dari emosi-emosi negatif tersebut. Di satu sisi, Habieb Rizieq juga sering melakukan hal-hal yang kontroversial dan mengundang emosi sehingga tentunya wajar bila ada yang tidak suka atau bahkan benci. Namun di sisi lain, ungkapan-ungkapan kebencian atau penghinaan kepada Habieb Rizieq juga sangat masif beredar di berbagai media sosial yang tentunya juga mengundang emosi pengikut FPI. Apakah pemerintah dan polisi dapat secara adil dan memberikan keadilan kepada semua pihak agar dapat tentram kembali tanpa konflik. Luka yang dihasilkan oleh perilaku Ahok yang menghina menista Al Quran sudah sangat dalam di dalam hati umat Islam, namun luka yang dhasilkan oleh gerakan FPI dkk terhadap kehidupan kerukunan beragama juga tidak kalah dalamnya. Hal itu kemudian diperparah oleh operasi-operasi intelijen yang menjatuhkan kredibilitas sejumlah tokoh nasional seperti Presiden ke-6 SBY, Ketua MUI, Habieb Rizieq, dan berbagai tokoh yang terlibat dalam berbagai aksi selama pilkada Jakarta termasuk dengan tuduhan makar yang direkayasa.
Membeberkan seluruh fakta-fakta tidak akan pernah enak, bagaikan memakan makanan yang bercampur dengan kotoran, anda akan muak dan ingin muntah dengan semua kepalsuan-kepalsuan dan kepentingan-kepentingan politik yang bersembunyi dibalik fakta-fakta tersebut.
Blog I-I adalah Indonesia dan Blog I-I juga pendukung Pancasila. Namun hal itu tidak berarti menutup mata dari fakta-fakta sepak terjang pemerintah yang semakin kurang adil dalam menyelesaiakna berbagai konflik karena perbedaan kepentingan antar anggota masyarakat. Apakah Pancasila akan kembali menjadi alat gebuk sebagaimana telah menimpa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan tuduhan anti Pancasila? Akankah menyusul pembubaran dan pelarangan ormas lainnya dengan tuduhan anti-Pancasila? Tidak adakah jalan yang lebih pancasilais dengan musyawarah dan ajakan untuk memahami Pancasila sebagai kesepakatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Sudahkan Pemerintah dan aparat keamanan hadir secara adil di saat rakyat memerlukan penyelesaian dari perbedaan dan konflik?
Berbagai pertanyaan tersebut masih dapat disusul oleh berbagai pertanyaan lainnya yang mana apabila tidak mampu dijawab, maka Indonesia akan menuju kepada kemunduran-kemunduran secara mental dan karakter walaupun tampak maju dalam pembangunan fisiknya.
Semoga bermanfaat,
Salam intelijen
Dharma Bhakti
Komentar
Posting Komentar