Tentang Kasus Habib Rizieq dan Firza Husein

Masih sambil menunggu masukan resmi dari BIN terkait operasi intelijen pilkada DKI Jakarta, berikut ini adalah artikel selingan untuk membuka mata dan telinga dan mempertajam analisa sahabat Blog I-I yang tetap setia mengunjungi Blog I-I meskipun Blog I-I diblokir oleh rezim jokowi-JK. Bila BIN tidak memberikan saran, maka akan kami publikasikan sebelum masuk minggu tenang Pilkada DKI Jakarta (Silahkan mengirim email ke senowirang@gmail.com).

Terima kasih atas masukan dan analisa dari sejumlah jaring Blog I-I, khususnya Sdr. PT, Sdr. AT, dan Sdri. MM yang panjang lebar mengungkapkan data-data dan analisanya tentang kasus di seputar hubungan antara Habieb Rizieq (HR) dan Firza Husein (FH). Tulisan kali ini bukan untuk mengungkap kebenaran maupun untuk memperkeruh keadaan atau membela siapapun. Melainkan sebagai sebuah bagian dari berbagi pola berpikir agar masyarakat lebih hati-hati dan waspada dengan permainan politik tingkat tinggi yang membentuk opini dan sikap masyarakat terhadap suatu fenomena atau terhadap seorang figur.

Pola pikir pertama yang harus dicamkan oleh kita semua sebagai masyarakat awam adalah apa yang tidak diketahui atau yang kita anggap tidak ada, maka hal itu belum tentu benar-benar tidak ada. Hal ini bukan hanya khas milik para intel, melainkan sebuah kewaspadaan individu dalam membiasakan diri mengenali potensi kejutan yang membahayakan karena keterbatasan kita sebagai manusia. Misalnya dalam kasus HR dan FH, apa yang tidak kelihatan atau tidak kita ketahui adalah pembuat propaganda pornografi chat HR dan FH melalui website baladacintarizieq yang cukup bagus kualitasnya sebagai sebuah produk propaganda intelijen "membongkar" aib FH dengan foto-foto telanjangnya atau "membunuh karakter" HR dengan obrolan chat yang belum tentu benar. Sejalan dengan UU ITE No.11 Tahun 2008 atau Revisinya melalui UU No.19 Tahun 2016 maupun UU Pronografi No.44 Tahun 2008, maka pembuat propaganda baladacintarizieq adalah pelaku kejahatan yang harus ditindak oleh Polisi. Namun sesuai dengan misi intelijen kelompok tertentu, pembuat propaganda tersebut dapat dipastikan tidak akan tertangkap. Andaipun suatu saat terungkap, maka ia hanya agen boneka bodoh yang menerima sejumlah uang dari kelompok tertentu. Kembali kepada pola pikir waskita, maka kita patut mempertanyakan keberadaan kelompok tertentu yang secara efektif melakukan operasi intelijen untuk kepentingan politik kekuasaan.

Pola pikir kedua yang harus kita biasakan dalam menilai informasi adalah apa yang kita lihat dan dengar belum tentu benar. Manusia sangat mudah dimanipulasi karena persepsi yang dibangun melalui kemampuannya mendengar dan melihat. Misalnya propaganda intelijen baladacintarizieq yang kita lihat dan dengar akan membentuk persepsi tentang perbuatan tidak bermoral dari HR dan FH, padahal realitas sesungguhnya belum tentu demikian. Hal ini masalah persepsi dan kepercayaan publik terhadap sosok HR dan FH. Dalam kaitan ini, HR jelas tokoh publik yang memiliki banyak pengikut melalui organisasi Front Pembela Islam (FPI), sedangkan FH adalah sosok aktivis wanita Muslim biasa. Artinya cukup jelas terbaca bahwa target operasinya adalah sosok HR yang gigih menyuarakan sikapnya yang Anti-Ahok. Andaipun ada kebenaran dalam propaganda "membunuh karakter" Rizieq maka hal itu besar kemungkinan berisi campuran ramuan antara fakta-fakta, opini, dan kebohongan yang mana tujuan akhirnya adalah terpojoknya HR dan terbentuknya persepsi negatif tentang HR. Dalam analisa jaringan Blog I-I, sangat jelas telah terjadi operasi intelijen sebagaimana dahulu menimpa Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika fotonya memangku wanita beredar luas. Siapa pelakunya? Blog I-I tidak dapat mengungkapkannya kepada publik. Informasi yang terverifikasi masuk ke dalam jaring Blog I-I tentang hubungan HR dan FH telah diterima sejak Desember/Januari yang lalu, namun Blog I-I memilih untuk tidak melemahkan gerakan umat Islam. Selain HR, Blog I-I juga menerima propaganda hasil operasi intelijen yang menimpa jubir/advokat FPI Sdr. Munarman SH, apakah akan dikeluarkan sebagai propaganda baladacintamunarman atau tidak, kembali kepada kelompok yang sedang membidik tokoh-tokoh Islam Anti-Ahok.

Pola pikir ketiga yang perlu kita terapkan adalah berpikir untuk kepentingan yang lebih besar. Dalam kacamata kepentingan nasional apa yang menimpa HR dan FH adalah masalah kecil yang sama sekali tidak berpengaruh kepada stabilitas nasional. Beberapa hal yang mungkin terjadi hanya sebatas kepada hancurnya citra pribadi HR dan FH di mata publik, serta melemahnya dukungan umat Islam kepada gerakan FPI, serta terpecahnya konsentrasi kelompok penentang Ahok yang merasa was-was dengan berbagai operasi intelijen yang mengintai. Namun demikian, bersandar kepada kepentingan yang lebih besar yakni dampak penajaman polarisasi masyarakat Indonesia dari kasus Ahok adalah menurunnya kepercayaan publik kepada rezim Jokowi-JK yang secara signifikan akan terus menguat. Apa yang terjadi dengan Blog I-I dengan pemblokiran internet positif adalah contoh nyata pembungkaman kebebasan berpikir dan berpendapat yang dijamin oleh Undang-Undang. Kemudian apa yang sedang menimpa umat Islam khususnya bidikan kepada beberapa tokohnya adalah contoh abuse of power. FPI hanya pion terdepan dalam gerakan menolak Ahok, sementara jaringan yang lebih besar tidak dapat dibidik karena memang relatif tidak ada alasan untuk membidiknya. Kunjungan beberapa oknum pejabat intel dan polisi ke sejumlah pesantren besar dan modern dalam rangka monitoring jaringan umat Islam penentang Ahok jelas salah sasaran, dan hal itu telah diinterpretasikan sebagai "sikap bermusuhan" rezim Jokowi-JK kepada mayoritas umat Islam. Meskipun Wapres JK telah berusaha keras untuk memberikan pembelaan kepada mayoritas umat Islam, namun tampaknya pengaruh JK sangatlah lemah dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah yang lebih adil. Membidik HR dengan berbagai kasus hukum termasuk kasus yang menimpa citra pribadi HR merupakan pesan tidak langsung yang juga dapat menimpa seluruh pemimpin umat Islam yang saat ini menentang Ahok. Artinya dalam kacamata kepentingan nasional, polarisasi yang terjadi bukan lagi terbatas pada pilkada DKI Jakarta, melainkan telah meluas ke seluruh Nusantara dan menjadi awal kehancuran kepercayaan publik kepada Pemerintahan Jokowi-JK dan khususnya akan menimpa Partai Penguasa yang lebih khusus lagi PDI-Perjuangan. Silahkan buktikan analisa ini dalam pemilu 2019.

Pola pikir keempat yang perlu dikuasai oleh sahabat Blog I-I adalah biasakan bepikir bertingkat-tingkat bagaikan labyrinth, dimana diatas suatu kisah terdapat kisah lain dan diatasnya terdapat kisah yang lain lagi. Misalnya dalam kasus HR dan FH, berpikir pada level terendah adalah pembukaan aib HR dan FH dalam rangka penggembosan kelompok Anti-Ahok. Level diatasnya adalah adalah membidik Tommy Suharto (TS) dan SBY dengan menekan FH dan beberapa tersangka makar lainnya, sehingga salah sasaran apabila TS mensomasi FH. Level diatasnya lagi adalah show of force agar semua lawan politik Ahok berpikir ulang untuk menggagalkan Ahok kembali menjadi gubernur DKI Jakarta. Hal ini terungkap dengan kuatnya informasi yang dimiliki Ahok dan penasihat hukumnya yang diduga kuat disuplai oleh oknum aparat. Level diatasnya lagi adalah skenario di atas skenario yang justru membidik Jokowi dan melemahkan kepercayaan publik kepada Jokowi. Mengapa kepercayaan publik kepada Jokowi dapat menurun tajam, hal ini tidak lain tidak bukan karena dinamika yang berkembang mengarah kepada sikap sewenang-wenang dan tidak adil dari pemerintah, contoh sederhana yang terdekat dengan sahabat Blog I-I adalah blokir terhadap Blog I-I. Bandingkan pembelajaran dan artikel Blog I-I dengan propaganda hitam SEWORD yang dikelola oleh intelijen Jokowi-Ahok. Mengapa Blog I-I diblokir, sedangkan SEWORD tidak. Jokowi sudah lupa bahwa keberhasilannya menjadi Presiden juga berkat netralitas jaringan Blog I-I yang mengungkapkan fakta-fakta propaganda hitam Anti-Jokowi misalnya dalam artikel Stanley Greenberg. Logika berpikir bertingkat strategis adalah sbb:


Kasus HR dan FH merupakan bagian kecil dari skenario kasus Ahok dan propaganda Jokowi Musuh Islam sehingga diperlukan operasi penajaman perbedaan pendapat dengan menghancurkan citra HR dan beberapa pimpinan umat Islam seperti Rois Am Syuriah PBNU Kiai Ma'ruf Amin. Disadari ataupun tidak kasus Ahok adalah kasus potensial untuk menghancurkan citra Jokowi secara efektif dan perlahan menuju 2019. Apabila Ahok terpilih dalam pilkada DKI Jakarta maka hal itu semakin memuluskan langkah menuju penghancuran citra Jokowi melalui skenario di atas skenario tersebut.

Artinya para pihak yang saat ini sedang bermain taktis jangka pendek melemahkan FPI telah masuk dalam perangkap yang lebih besar dalam teknik propaganda lain. Pilihan apapun yang diambil oleh pemerintah dalam kasus Ahok memiliki resiko, artinya membela Ahok sampai terpilih berarti hancurnya kepercayaan publik kepada Jokowi dan tidak membela Ahok berarti melemahnya dukungan konstituen politik di Ibukota. Pilihan yang sulit bukan? Dari dinamika yang ada tampaknya pilihan membela Ahok lebih dominan dengan kalkulasi kekuasaan masih ditangan, dan musuh-musuh politik dapat dihadapi dengan tipuan senyum cengar-cengir, pemberian konsesi proyek ekonomi, serta operasi intelijen, khususnya intelijen pro-justisia (polisi). Namun pihak oposisi bukan tidak memperhitungkan pilihan tersebut, dan secara efektif telah dan akan terus memanfaatkaanya dari isu-isu sebagaimana dalam ilustrasi di atas bahkan ditambah dengan isu-isu hoax dan lain sebagainya. Semuanya akan secara efektif menghancurkan kepercayaan publik kepada Jokowi.

Pola pikir kelima adalah antitesis dari pola pikir keempat. Ada kalanya kita terlalu jauh dan terlalu rumit dalam berpikir dan masalah yang dihadapi ternyata sangat sederhana, bersifat linear atau bahkan hanya sebab akibat saja. Misalnya dalam kasus HR dan FH, berdasarkan informasi jaringan Blog I-I apa yang terjadi sesungguhnya adalah kisah biasa insan manusia yang kebetulan menimpa tokoh pemimpin FPI. Hal itu diketahui dari gelagat dan sikap khususnya FH yang "mencurigakan" baik dalam kisah disusupkan untuk menjatuhkan HR, dalam kisah cinta murni, maupun dalam kisah yang tidak diharapkan terjadi. Foto-foto telanjang FH jelas asli namun konteksnya belum tentu sejalan dengan obrolan dan sejauh mana hubungan tersebut berlangsung, dan fakta yang ada juga hanya tersirat dalam kata-kata yang belum dapat dikategorikan dalam dosa zina memasukkan kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan dengan adanya saksi yang dapat dipercaya. Dengan demikian HR masih memiliki pertahanan citra terakhir baik dalam kisah total membantahnya atau khilaf dengan kecantikan FH dan sebatas chatting saja. Tujuannya tentu membuat sibuk HR dan membuat konsentrasi HR dan FPI buyar dalam menjegal Ahok menjadi gubernur Jakarta. Masalah ini sangat mudah diatasi dengan menaikkan pimpinan baru misalnya dengan mengedepankan Bachtiar Nasir yang juga telah dibidik dengan isu sumbangan ISIS yang relatif telah dapat ditepis. Atau bahkan pimpinan lain yang lebih netral. Pola pikir sederhana ini adalah penyeimbang dari pola pikir bertingkat sehingga sahabat Blog I-I selalu memiliki alternatif berpikir yang lebih teliti dan kemudian mengujinya dengan data-data dan fakta-fakta dikumpulkan.

Masih banyak pola pikir wajib lainnya yang harus dimiliki seorang analis maupun operator operasi intelijen yang merupakan skill yang mendarah daging sehingga efisien dan efektif dalam bekerja. Hal ini Blog I-I sampaikan kepada sahabat-sahabat Blog I-I agar dapat memanfaatkannya dalam kehidupan pribadi maupun sosial sehingga tidak mudah terjerumus dalam suatu masalah atau dalam menganalisa suatu masalah.

Sekian, semoga bermanfaat.
Salam Intelijen
Senopati Wirang



Komentar

Postingan Populer