Dinamika Toleransi dan Politik Radikal di Indonesia
Sambil mengumpulkan masukan saran-saran dari berbagai pihak baik dari komunitas Intelijen Negara, para senior mantan pejabat Intel, serta berbagai pihak yang berkepentingan dalam memahami Pilkada DKI Jakara terkait dengan artikel Perang Intelijen Pilkada DKI Jakarta, ada baiknya sejenak kita memperhatikan pentingnya pemahaman dinamika toleransi dan politik radikal di Indonesia yang belakangan ini marak menjadi perhatian media massa Indonesia. Sampai saat ini telah masuk 21 email dan 7 komentar yang tidak dipublikasikan tentang perlu tidaknya perang intelijen pilkada DKI Jakarta diungkapkan kepada publik. Kami masih menunggu masukan dari BIN.
Demokratisasi, transisi demokrasi, konsolidasi demokrasi di Indonesia secara teori telah memasuki periode yang seharusnya telah semakin mantap dan memasuki era awal penghayatan budaya demokrasi yang sesungguhnya. Setelah 19 tahun bergelut dengan berbagai perdebatan, konflik, persaingan konsep, serta pelaksanaan demokrasi yang ditandai dengan proses pemilihan pemimpin baik pada level nasional maupun daerah, mayoritas rakyat Indonesia atau bahkan seluruh rakyat Indonesia usia akil baligh telah terbiasa dengan demokrasi prosedural. Ibarat usia manusia, adalah peralihan dari remaja menuju dewasa.
Secara umum, dinamika proses demokratisasi di Indonesia banyak dinilai sangat berhasil. Berbagai kalangan di luar negeri maupun dalam negeri mengakui keberhasilan-keberhasilan yang dicapai Indonesia dalam menerapkan demokrasi sebagai aturan main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun hal itu bukan tanpa cacat atau masalah-masalah yang menggerogoti dan terus menghantui perjalanan demokrasi di Indonesia. Sejumlah persoalan yang bersumber dari perilaku korup kalangan politisi tercatat mulai dari politik uang untuk memenangkan pemilu, maraknya praktek korupsi sebagai modal politik, maraknya kasus gratifikasi di sektor hukum, dan lain sebagainya. Selain itu, persoalan yang bersumber dari penghalalan segala cara dalam memenangkan pemilu, ketidaksiapan untuk menerima kekalahan, serta tidak sehatnya dinamika internal partai politik yang terpecah-pecah oleh kepentingan elit politik menjadi wajah perpolitikan nasional Indonesia yang suram.
Salah satu karakter dari sistem politik demokrasi adalah toleransi yang berasal dari bahasa latin tolerantia yang berarti kemampuan untuk menanggung suatu keadaan tertentu. Sementara dalam catatan sejarah kata toleransi mulai banyak dipergunakan dalam bahasa Perancis kuno pada abad ke- 14 Masehi, dan berkembang dalam makna menerima perbedaan mulai digunakan pada tahun 1530-an. Arti toleransi secara individu yang diartikan bebas dari prasangka, bebas dari sikap memaksakan keyakinan pribadi, serta sikap menerima perbedaan pandangan mulai berkembang pada tahun 1760-an. Kemudian berkembang lagi pada tahun 1860-an dalam pemaknaan penerimaan keanekaragaman. Meskipun makna toleransi juga berkembang di dunia kedokteran dalam arti kemampuan tubuh manusia menerima atau menanggung suatu keadaan sebagai akibat dari pengobatan misalnya toleransi terhadap antibiotik, namun artikel ini memaknai toleransi dalam pendekatan ilmu sosial.
Setelah memahami makna toleransi tersebut, tentunya kita dapat memeriksa ke dalam diri kita masing-masing dan juga ke dalam organisasi dimana kita bernaung, apakah makna dasar toleransi yakni kemampuan untuk menerima perbedaan, bebas prasangka SARA, dan sikap tidak memaksakan keyakinan kepada pihak, cukup kuat dalam diri kita?
Betapapun klaim yang dibuat orang-orang liberal humanis bahwa mereka adalah penganut toleransi sejati, hati kecil manusia siapa yang tahu? Setiap kita lahir dengan potensi-potensi baik dan buruk, menerima dan tidak menerima, penuh prasangka karena perbedaan, dan lain sebagainya yang membuat kita menjadi manusia dan bukan malaikat.
Kemampuan untuk bersabar, menahan diri, dan menyikapi dinamika hubungan sosial adalah lebih penting daripada propaganda memaksakan toleransi sebagai prinsip hidup karena akhirnya konsep toleransi itu justru tidak toleran kepada realita konflik yang lahir dari perbedaan. Kemampuan setiap individu dalam menerima perbedaan berbeda-beda sehingga hingga akhir zaman akan terus tercipta suatu kondisi konfliktual apabila perdebatannya semata-mata hanya soal penerimaan perbedaan. Apa yang harus dikembangkan kepada semua pihak adalah agar menahan diri dari perbuatan dan tindakan yang dapat menciptakan kondisi konflik yang semakin tajam. Kondisi konflik tersebut dalam titik yang paling ekstrim adalah perang dan saling membunuh.
Bangsa Indonesia dan para pendiri Republik Indonesia sadar betul bahwa Indonesia sebagai bangsa disatukan oleh kesamaan cita-cita. Itulah sebabnya slogan Bhinneka Tunggal Ika digunakan sebagai pemersatu dan menjadi sebuah pengakuan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa yang bersatu dalam ikatan cita-cita untuk menjadi bangsa yang maju sejahtera adil merata. Cita-cita boleh setinggi-tingginya, namun jangan lupa dengan realita konflik yang bersifat potensial dari perbedaan itu sehingga sangatlah penting bagi kita semua untuk menyadari kerawanan dari sikap arogan atau prasangka negatif dalam diri kita dalam memperlakukan sesama anak bangsa.
Berangkat dari anjuran untuk meningkatkan kemampuan menahan diri, sekarang mari kita lihat bagaimana dinamika politik yang dilabelkan radikal oleh sebagian pihak dan propagada toleransi di lain pihak yang mengklaim diri sebagai pihak yang benar.
Contoh pailng mudah sebagai studi kasus adalah dinamika politik menjelang Pilkada DKI Jakarta yang menjadi magnet perhatian bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Apabila kita membaca berita secara hati-hati, kasus penistaan agama yang menimpa Sdr. Ahok sebagai salah satu kandidat Gubernur DKI menciptakan polarisasi sikap masyarakat secara umum menjadi dua yakni mereka yang menganggap telah terjadi penistaan agama dan mereka yang menilai tidak terjadi penistaan agama. Kemudian secara politik juga terjadi dua kutub yakni Pro Ahok atau Ahokers (para pendukung Ahok) dan Anti Ahok (para penentang Ahok). Semua bercampur dalam dinamika propaganda-propaganda politik yang bersumber dari perbedaan yang disiram oleh penyubur intoleransi yakni arogansi Ahok, ketersinggungan umat Islam (terkait dengan kemampuan menahan diri), dan intrik politik baik dari kelompok Pro Ahok maupun Anti Ahok.
Betapapun cerdasnya atau cerdiknya kita menyusun propaganda-propaganda politik mendukung salah satu calon gubernur, kita perlu memperhatikan dampaknya kepada masyarakat yang dapat semakin emosional apabila terlalu lama dan terlalu sering digosok. Barangkali kita berusaha mempengaruhi pandangan publik tentang dinamika toleransi yang belakangan digambarkan memprihatinkan, namun sesungguhnya apa yang terjadi hanya berada di pusaran politik Pilkada DKI Jakarta yang dikelola oleh mereka-mereka yang berkepentingan langsung. Sementara masyarakat penduduk DKI Jakarta secara umum adalah penonton yang sedang dipengaruhi dan penentu hasil Pilkada yang sedang menyerap berbagai informasi yang berkembang.
Benarkah telah terjadi politik radikal dari umat Islam dalam pilkada DKI Jakarta? Pada satu sisi, Islam politik dalam berbagai kajian sering dipojokkan sebagai politik intoleran dan eksklusif dan yang paling menyedihkan adalah label radikal untuk menakut-nakuti umat Islam agar menjauhi politik. Namun di sisi lain, perilaku dan sikap politisi atau aktivis Islam cenderung terjebak dalam label Islam politik sehingga kurang mampu merangkul lapisan masyarakat yang lebih luas dengan konsep-konsep menyentuh kepentingan dasar dari seluruh golongan. Alih-alih memperjuangkan umat Islam, politisi dan aktivis Islam lupa bahwa masyarakat Indonesia sangat beranekaragam sehingga yang paling menarik perhatian masyarakat secara umum adalah apa-apa yang yang menjadi kepentingan mereka dan langsung menyentuh keseharian mereka. Benar bahwa Islam sebagai gerakan juga sangat besar potensinya, namun jangan lupa bahwa hakikat politik selamanya adalah kompetisi menjadi penguasa dan dalam koridor demokrasi adalah memperoleh simpati dukungan rakyat yang terbesar. Apabila politisi dan aktivis Islam tetap terkungkung dalam konsep memperjuangkan umat Islam saja secara eksklusif maka akan sulit untuk mendapatkan simpati rakyat yang lebih luas. Meskipun mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, namun sejak Indonesia merdeka terbukti bahwa karakter umum keberpihakan umat Islam Indonesia adalah lebih kepada harmonisasi hubungan sosial dan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan yang adil merata, serta bukan kepada politik Islam.
Mayoritas umat Islam di Indonesia dalam sejarah dunia Islam adalah umat yang paling pandai menahan diri dan sangat toleran. Hanya sebagian kecil dari umat Islam yang mengatasnamakan agama pernah tidak lagi dapat menahan diri dan melakukan usaha mendirikan negara Islam seperti kelompok Darul Islam dan Negara Islam Indonesia. Kemudian ada juga yang terjebak dalam konsep terorisme seperti Jemaah Islamiyah dan berbagai metamorfosanya. Sementara pada level yang lebih damai adalah yang memperjuangkan Syariat Islam melalui gerakan sosial perubahan serta politik. Apakah semuanya radikal? Radikal adalah label untuk membungkam atau menyadarkan kembali mereka yang mempertajam konflik perbedan ke level kekerasan atau pencapaian tujuan politik melalui kekerasan.
Mereka yang memaksakan kehendak dan keyakinan melalui kekerasan jelas tidak toleran, namun apakah mereka yang menyampaikan aspirasi melalui aksi massa juga tidak toleran? Hal ini perlu diteliti terlebih dahulu.
Apa yang sedang terjadi di Indonesia belakangan ini, baik kasus-kasus yang bernuansa SARA dengan berbagai berita bohong (hoax), penajaman perbedaan, kampaye penghormatan kepada perbedaan, sikap saling menyerang, serta berbagai polemik perbedaan sikap dalam kasus Ahok bukan soal toleransi ataupun label politik radikal. Semuanya adalah pertarungan murni politik yang mengambil jubah SARA, toleransi-intoleransi, bhinneka tunggal ika, pembunuhan karakter, fitnah, saling meng-inteli, untuk KEKUASAAN. Iya benar, semuanya adalah bagian dari pertarungan POLITIK KEKUASAAN yang uniknya agak keluar koridor demokrasi dengan berbagai dinamika strategi yang apabila dibiarkan terus akan semakin tajam menuju konflik terbuka atau menuju kepada power abuse yang pada gilirannya akan merusak demokrasi yang telah dibangun hampir 20 tahun ini.
Kepada berbagai pihak yang sedang bertarung mempraktekkan keahliannya dalam propaganda, keahlian dalam cipta kondisi, keahlian dalam manipulasi hukum, keahlian dalam rekayasa kasus, keahlian dalam kriminalisasi, sadarlah bahwa masyarakat tidak menghendaki terciptanya kondisi yang membingungkan itu semua. Demokrasi adalah kesepakatan kita bersama dalam membangun Indonesia, memilih pemimpin, dan mensejahterakan rakyat. Marilah kita bangun budaya demokrasi yang sesungguhnya dan jangan dirusak dengan berbagai manipulasi demi tercapainya kursi kekuasaan, semoga anda semua yang sedang aktif terlibat membaca artikel ini, kemudian berkenan berpikir ulang serta berpihak kepada kepentingan rakyat daripada kepentingan kelompok atau golongan.
Salam Waskita
Salam Intelijen
Dharma Bhakti
Demokratisasi, transisi demokrasi, konsolidasi demokrasi di Indonesia secara teori telah memasuki periode yang seharusnya telah semakin mantap dan memasuki era awal penghayatan budaya demokrasi yang sesungguhnya. Setelah 19 tahun bergelut dengan berbagai perdebatan, konflik, persaingan konsep, serta pelaksanaan demokrasi yang ditandai dengan proses pemilihan pemimpin baik pada level nasional maupun daerah, mayoritas rakyat Indonesia atau bahkan seluruh rakyat Indonesia usia akil baligh telah terbiasa dengan demokrasi prosedural. Ibarat usia manusia, adalah peralihan dari remaja menuju dewasa.
Secara umum, dinamika proses demokratisasi di Indonesia banyak dinilai sangat berhasil. Berbagai kalangan di luar negeri maupun dalam negeri mengakui keberhasilan-keberhasilan yang dicapai Indonesia dalam menerapkan demokrasi sebagai aturan main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun hal itu bukan tanpa cacat atau masalah-masalah yang menggerogoti dan terus menghantui perjalanan demokrasi di Indonesia. Sejumlah persoalan yang bersumber dari perilaku korup kalangan politisi tercatat mulai dari politik uang untuk memenangkan pemilu, maraknya praktek korupsi sebagai modal politik, maraknya kasus gratifikasi di sektor hukum, dan lain sebagainya. Selain itu, persoalan yang bersumber dari penghalalan segala cara dalam memenangkan pemilu, ketidaksiapan untuk menerima kekalahan, serta tidak sehatnya dinamika internal partai politik yang terpecah-pecah oleh kepentingan elit politik menjadi wajah perpolitikan nasional Indonesia yang suram.
Salah satu karakter dari sistem politik demokrasi adalah toleransi yang berasal dari bahasa latin tolerantia yang berarti kemampuan untuk menanggung suatu keadaan tertentu. Sementara dalam catatan sejarah kata toleransi mulai banyak dipergunakan dalam bahasa Perancis kuno pada abad ke- 14 Masehi, dan berkembang dalam makna menerima perbedaan mulai digunakan pada tahun 1530-an. Arti toleransi secara individu yang diartikan bebas dari prasangka, bebas dari sikap memaksakan keyakinan pribadi, serta sikap menerima perbedaan pandangan mulai berkembang pada tahun 1760-an. Kemudian berkembang lagi pada tahun 1860-an dalam pemaknaan penerimaan keanekaragaman. Meskipun makna toleransi juga berkembang di dunia kedokteran dalam arti kemampuan tubuh manusia menerima atau menanggung suatu keadaan sebagai akibat dari pengobatan misalnya toleransi terhadap antibiotik, namun artikel ini memaknai toleransi dalam pendekatan ilmu sosial.
Setelah memahami makna toleransi tersebut, tentunya kita dapat memeriksa ke dalam diri kita masing-masing dan juga ke dalam organisasi dimana kita bernaung, apakah makna dasar toleransi yakni kemampuan untuk menerima perbedaan, bebas prasangka SARA, dan sikap tidak memaksakan keyakinan kepada pihak, cukup kuat dalam diri kita?
Betapapun klaim yang dibuat orang-orang liberal humanis bahwa mereka adalah penganut toleransi sejati, hati kecil manusia siapa yang tahu? Setiap kita lahir dengan potensi-potensi baik dan buruk, menerima dan tidak menerima, penuh prasangka karena perbedaan, dan lain sebagainya yang membuat kita menjadi manusia dan bukan malaikat.
Kemampuan untuk bersabar, menahan diri, dan menyikapi dinamika hubungan sosial adalah lebih penting daripada propaganda memaksakan toleransi sebagai prinsip hidup karena akhirnya konsep toleransi itu justru tidak toleran kepada realita konflik yang lahir dari perbedaan. Kemampuan setiap individu dalam menerima perbedaan berbeda-beda sehingga hingga akhir zaman akan terus tercipta suatu kondisi konfliktual apabila perdebatannya semata-mata hanya soal penerimaan perbedaan. Apa yang harus dikembangkan kepada semua pihak adalah agar menahan diri dari perbuatan dan tindakan yang dapat menciptakan kondisi konflik yang semakin tajam. Kondisi konflik tersebut dalam titik yang paling ekstrim adalah perang dan saling membunuh.
Bangsa Indonesia dan para pendiri Republik Indonesia sadar betul bahwa Indonesia sebagai bangsa disatukan oleh kesamaan cita-cita. Itulah sebabnya slogan Bhinneka Tunggal Ika digunakan sebagai pemersatu dan menjadi sebuah pengakuan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa yang bersatu dalam ikatan cita-cita untuk menjadi bangsa yang maju sejahtera adil merata. Cita-cita boleh setinggi-tingginya, namun jangan lupa dengan realita konflik yang bersifat potensial dari perbedaan itu sehingga sangatlah penting bagi kita semua untuk menyadari kerawanan dari sikap arogan atau prasangka negatif dalam diri kita dalam memperlakukan sesama anak bangsa.
Berangkat dari anjuran untuk meningkatkan kemampuan menahan diri, sekarang mari kita lihat bagaimana dinamika politik yang dilabelkan radikal oleh sebagian pihak dan propagada toleransi di lain pihak yang mengklaim diri sebagai pihak yang benar.
Contoh pailng mudah sebagai studi kasus adalah dinamika politik menjelang Pilkada DKI Jakarta yang menjadi magnet perhatian bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Apabila kita membaca berita secara hati-hati, kasus penistaan agama yang menimpa Sdr. Ahok sebagai salah satu kandidat Gubernur DKI menciptakan polarisasi sikap masyarakat secara umum menjadi dua yakni mereka yang menganggap telah terjadi penistaan agama dan mereka yang menilai tidak terjadi penistaan agama. Kemudian secara politik juga terjadi dua kutub yakni Pro Ahok atau Ahokers (para pendukung Ahok) dan Anti Ahok (para penentang Ahok). Semua bercampur dalam dinamika propaganda-propaganda politik yang bersumber dari perbedaan yang disiram oleh penyubur intoleransi yakni arogansi Ahok, ketersinggungan umat Islam (terkait dengan kemampuan menahan diri), dan intrik politik baik dari kelompok Pro Ahok maupun Anti Ahok.
Betapapun cerdasnya atau cerdiknya kita menyusun propaganda-propaganda politik mendukung salah satu calon gubernur, kita perlu memperhatikan dampaknya kepada masyarakat yang dapat semakin emosional apabila terlalu lama dan terlalu sering digosok. Barangkali kita berusaha mempengaruhi pandangan publik tentang dinamika toleransi yang belakangan digambarkan memprihatinkan, namun sesungguhnya apa yang terjadi hanya berada di pusaran politik Pilkada DKI Jakarta yang dikelola oleh mereka-mereka yang berkepentingan langsung. Sementara masyarakat penduduk DKI Jakarta secara umum adalah penonton yang sedang dipengaruhi dan penentu hasil Pilkada yang sedang menyerap berbagai informasi yang berkembang.
Benarkah telah terjadi politik radikal dari umat Islam dalam pilkada DKI Jakarta? Pada satu sisi, Islam politik dalam berbagai kajian sering dipojokkan sebagai politik intoleran dan eksklusif dan yang paling menyedihkan adalah label radikal untuk menakut-nakuti umat Islam agar menjauhi politik. Namun di sisi lain, perilaku dan sikap politisi atau aktivis Islam cenderung terjebak dalam label Islam politik sehingga kurang mampu merangkul lapisan masyarakat yang lebih luas dengan konsep-konsep menyentuh kepentingan dasar dari seluruh golongan. Alih-alih memperjuangkan umat Islam, politisi dan aktivis Islam lupa bahwa masyarakat Indonesia sangat beranekaragam sehingga yang paling menarik perhatian masyarakat secara umum adalah apa-apa yang yang menjadi kepentingan mereka dan langsung menyentuh keseharian mereka. Benar bahwa Islam sebagai gerakan juga sangat besar potensinya, namun jangan lupa bahwa hakikat politik selamanya adalah kompetisi menjadi penguasa dan dalam koridor demokrasi adalah memperoleh simpati dukungan rakyat yang terbesar. Apabila politisi dan aktivis Islam tetap terkungkung dalam konsep memperjuangkan umat Islam saja secara eksklusif maka akan sulit untuk mendapatkan simpati rakyat yang lebih luas. Meskipun mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, namun sejak Indonesia merdeka terbukti bahwa karakter umum keberpihakan umat Islam Indonesia adalah lebih kepada harmonisasi hubungan sosial dan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan yang adil merata, serta bukan kepada politik Islam.
Mayoritas umat Islam di Indonesia dalam sejarah dunia Islam adalah umat yang paling pandai menahan diri dan sangat toleran. Hanya sebagian kecil dari umat Islam yang mengatasnamakan agama pernah tidak lagi dapat menahan diri dan melakukan usaha mendirikan negara Islam seperti kelompok Darul Islam dan Negara Islam Indonesia. Kemudian ada juga yang terjebak dalam konsep terorisme seperti Jemaah Islamiyah dan berbagai metamorfosanya. Sementara pada level yang lebih damai adalah yang memperjuangkan Syariat Islam melalui gerakan sosial perubahan serta politik. Apakah semuanya radikal? Radikal adalah label untuk membungkam atau menyadarkan kembali mereka yang mempertajam konflik perbedan ke level kekerasan atau pencapaian tujuan politik melalui kekerasan.
Mereka yang memaksakan kehendak dan keyakinan melalui kekerasan jelas tidak toleran, namun apakah mereka yang menyampaikan aspirasi melalui aksi massa juga tidak toleran? Hal ini perlu diteliti terlebih dahulu.
Apa yang sedang terjadi di Indonesia belakangan ini, baik kasus-kasus yang bernuansa SARA dengan berbagai berita bohong (hoax), penajaman perbedaan, kampaye penghormatan kepada perbedaan, sikap saling menyerang, serta berbagai polemik perbedaan sikap dalam kasus Ahok bukan soal toleransi ataupun label politik radikal. Semuanya adalah pertarungan murni politik yang mengambil jubah SARA, toleransi-intoleransi, bhinneka tunggal ika, pembunuhan karakter, fitnah, saling meng-inteli, untuk KEKUASAAN. Iya benar, semuanya adalah bagian dari pertarungan POLITIK KEKUASAAN yang uniknya agak keluar koridor demokrasi dengan berbagai dinamika strategi yang apabila dibiarkan terus akan semakin tajam menuju konflik terbuka atau menuju kepada power abuse yang pada gilirannya akan merusak demokrasi yang telah dibangun hampir 20 tahun ini.
Kepada berbagai pihak yang sedang bertarung mempraktekkan keahliannya dalam propaganda, keahlian dalam cipta kondisi, keahlian dalam manipulasi hukum, keahlian dalam rekayasa kasus, keahlian dalam kriminalisasi, sadarlah bahwa masyarakat tidak menghendaki terciptanya kondisi yang membingungkan itu semua. Demokrasi adalah kesepakatan kita bersama dalam membangun Indonesia, memilih pemimpin, dan mensejahterakan rakyat. Marilah kita bangun budaya demokrasi yang sesungguhnya dan jangan dirusak dengan berbagai manipulasi demi tercapainya kursi kekuasaan, semoga anda semua yang sedang aktif terlibat membaca artikel ini, kemudian berkenan berpikir ulang serta berpihak kepada kepentingan rakyat daripada kepentingan kelompok atau golongan.
Salam Waskita
Salam Intelijen
Dharma Bhakti
Komentar
Posting Komentar