Tentang Ide Khilafah ISIS dan Efektifnya Propagada ISIS

Densus 88 Polri, BNPT, BIN, TNI, Kesbangpol Kemendagri, dan berbagai aparat keamanan boleh saja tersenyum lebar dengan semakin terpojoknya kelompok Teroris yang mengatasnamakan Islam di Indonesia. Belakangan bahkan penangkapan terhadap tersangka teroris semakin "mengecil" kepada simpatisan, namun sayangnya target besar seperti kelompok Santoso cenderung kurang serius ditangani dengan alasan persembunyian Santoso di wilayah pegunungan di Poso sulit dijangkau. Semakin lama penanganan kelompok teroris Santoso semakin melemahkan keyakinan publik terhadap keseriusan Pemerintahan Jokowi dalam penanganan ancaman terorisme di tanah air.

Penangkapan demi penangakapan masih terus berlangsung dan terakhir adalah 3 terduga teroris di Solo atas nama Ibadurrahman alias Ali Robani alias Ibad, Yus Kariman alias Yuskarman, dan Sugiyanto alias Giyanto alias Gento. Ketiga terduga teroris tersebut dinyatakan oleh Kapolri telah merencanakan membuat bom dan berdasarkan analisa Polisi kemungkinan target adalah Kuil Buddha Kepunton (pembalasan terkait isu Rohingya), Polsek Pasar Kliwon dan Polisi Surakarta secara umum, gereja di wilayah Surakarta. Dengan adanya bukti-bukti berupa bom rakitan dan sejumlah dokumen terkait ISIS serta bendera, tentunya langkah penangkapan oleh Densus 88 tersebut patut diapresiasi. Namun persoalan yang lebih strategis adalah apakah Densus 88 dan seluruh aparat keamanan akan selamanya melakukan pemburuan demi pemburuan terhadap para terduga teroris yang bagaikan tertangkap satu namun mampu tumbuh lagi karena pengaruh propaganda ISIS.

Diperlukan suatu strategi nasional yang dilaksanakan secara sinergis dari seluruh unsur pemerintah khususnya aparat keamanan dalam mengatasi pengaruh propaganda ISIS yang menyesatkan.

Tentang Propaganda Khilafah ISIS

Khilafah atau sistem politik Kekhalifahan merupakan bagian dari sejarah Islam sejak periode awal kelahiran Islam paska Pemerintahan Negara Islam langsung dibawah komando Rasulullah SAW. Tidaklah mengherankan apabila sebagian umat Islam tetap mendambakan untuk hidup di dalam negara yang menegakkan syariah atau hukum Islam. Apa yang dijabarkan sebagai kehidupan yang Islami bukan hanya bersifat Tauhid dan ahlak individu, melainkan juga mencakup peri kehidupan berbangsa dan bernegara yang tunduk patuh dalam konsep-konsep ajaran Islam. Semakin kita mendalami ajaran Islam maka tarikan untuk menegakkan Islam secara utuh akan semakin kuat. Namun demikian, realita sosial politik dan dinamika nasional dan internasional belum tentu mendukung terwujudnya negara Islam sebagaimana didambakan sebagian besar umat Islam tersebut. Hal inilah yang kemudian dimaksimalkan oleh kelompok radikal khususnya ISIS dalam rangka menyelimuti logika umat Islam dan ditambahkan penekanan tentang kesejatian atau kebenaran hakiki penegakan ajaran Islam hanya dapat terwujud dengan kekuasaan politik yang didukung oleh kekuatan fisik (militer). Hal yang sama sesungguhnya juga dilakukan oleh para penganut faham liberal demokrasi dengan kekuatan militer yang sangat besar, dimana kita sadar ataupun tidak telah berada di dalam cengkeraman sistem yang "ditanamkan" dengan kekuasaan politik dan kekuatan militer yang ditopang oleh sistem ekonomi kapitalis. Argumentasi ini juga digunakan oleh ISIS untuk membangkitkan kekecewaan dan kemarahan umat Islam terhadap sistem yang tidak Islami.

Singkat kata, ISIS lebih menggunakan logika-logika sosial dan politik yang dibenturkan daripada dogma atau doktrin agama yang bersifat dipaksakan. Walaupun ISIS juga menggunakan rujukan kepada Kitab Suci Al Qur'an dan Hadits, namun dalam pelaksanaannya argumentasi yang digunakan adalah logika yang "cukup cemerlang" yang mampu mempengaruhi umat Islam. Sebagai contoh sederhana adalah hukuman pembakaran pilot Suriah yang dijelaskan secara syariah sebagai hukuman Qisas (Al Baqarah 178), dimana nyawa dibalas nyawa. Namun pelaksanaan ekseskusi pembakaran dilakukan berdasarkan penyamaan proses pengeboman yang dilakukan oleh pilot Suriah yang berdampak kepada terbakarnya rumah-rumah dan akibat kematian yang disebabkan oleh api, sehingga Qisas dilakukan dengan membakar tersangka sang pilot. Dalam sistem hukum modern di berbagai negara saat ini, hal itu tidaklah memungkinkan karena umumnya negara demokratis saat ini bahkan memperlakukan penjahat dengan sangat manusiawi dimana hukuman hanya bersifat mengambil kebebasannya saja, yakni umumnya dengan hukuman penjara. Bahkan hukuman mati-pun sudah semakin jarang diterapkan.

Logika-logika propaganda ISIS tampak sangat kuat bukan? bahkan dapat kita pahami. Betapapun "kejam" hukuman-hukuman yang ditempuh oleh ISIS, dengan interpretasi yang sangat mendasar dan sederhana, bagi mereka yang mencoba memahami dan melihatnya dari sisi logika yang dipropagandakan ISIS, maka akan terpengaruh. Sedangkan mereka yang tidak terpengaruh adalah karena melihat dari "kekejaman" atau dari faham hak asasi manusia yang kemudian mencoba membela diri juga dengan interpretasi agama yang bersifat lunak yakni konsep "memaafkan" yang juga diajarkan sebagai sesuatu yang lebih baik dari pada balas dendam.

Konsep memaafkan dan balas dendam tidak dapat dipaksakan satu dengan lainnya. Tampaknya ISIS tahu persis tentang psikologi manusia sehingga tidak khawatir dengan memamerkan kekejaman karena hal itu lebih didorong oleh konsep balas dendam. Tahukah anda betapa menderitanya rakyat Irak dan Suriah baik pada era sebelum penghancuran Irak maupun paska porak-porandanya Irak. Kematian merupakan hal yang biasa dan mayat-mayat sering ditemui yang mana bila kita berada dalam situasi tersebut akan memperkuat konsep dendam dalam hati kita daripada konsep memaafkan. Kondisi kepedihan inilah yang diekspor oleh ISIS untuk dilihat oleh umat Islam di seluruh dunia, betapa tidak adilnya sistem global dalam memberikan kedamaian di hati rakyat Irak. Rakyat Irak disini bukan hanya dari satu kabilah/golongan atau aliran agama. Melainkan seluruhnya yang terpolarisasi dalam kubu-kubu yang bermusuhan baik itu antar kabilah maupun antara Sunni dan Syiah. Permusuhan yang diredam dengan tangan besi oleh Saddam Husein dan kemudian konflik antar kelompok memperebutkan kekuasaan di Baghdad khususnya antara Sunni dan Syiah. Anda boleh menampik argumen ini, tetapi cobalah berkunjung ke Irak dan lakukanlah perjalanan di sejumlah propinsi, anda akan segera merasakan aroma konflik yang sangat kuat.

Untuk memudahkan pemahaman rakyat Indonesia tentang konflik internal rakyat Irak/Suriah, perhatikan konflik Ambon (Islam-Kristen), Poso (Islam-Kristen), dan Kalimantan (Dayak-Madura), dalam skala yang jauh lebih kecil ada kemiripan sentimen permusuhan yang telah menumpahkan darah dalam konflik-konflik tersebut. Namun karena sistem organisasinya masih lokal dan tidak ada campur tangan internasional, maka dapat diatasi oleh Pemerintah Indonesia. Seandainya TNI-Polri-BIN lemah maka, Indonesia sudah lama hancur dalam konflik antar golongan.

Kembali kepada propaganda khilafah ISIS, apa yang ditawarkan ISIS adalah kehidupan yang Islami dengan klaim sebagai satu-satunya sistem politik Islam yang mendekati kondisi periode awal sejarah Islam. Namun yang dilupakan oleh mereka yang berhijrah ke wilayah ISIS adalah justifikasi kepemimpinan khilafah dan hal ini merupakan masalah krusial dari seluruh sistem politik di dunia, yakni bagaimana seseorang atau sekelompok orang diberikan hak/mandat untuk memimpin atau menjadi khalifah. Bila sistem kepemimpinan dalam ISIS bersandar pada figur Al Baghdadi dan segelintir kepecayaannya, maka kematian Al Baghdadi akan mengakhiri kejayaan ISIS, namun bila sistem politik yang dibangun solid, maka dapat mengimbangi sejarah lahirnya Negara Islam Iran dengan konsep revolusi dan kepemimpinan para Imam Syiah. Tentunya itu semua harus didukung kekuatan militer yang mampu menjaga teritori yang diklaim. Perhatikan baik-baik bahwa ketika seorang warga negara Indonesia  berbai'at kepada ISIS, sesungguhnya dia belum tahu persis apa yang menantinya. Dia mulai hidup dalam dunia "bayangan" tentang khilafah Islam dan "merasa" menjadi bagian dari perjuangan Islam. Dia lupa dengan realita Islam Indonesia dan perjuangan umat Islam Indonesia sejak ratusan tahun silam yang pernah terwujud dengan Kerajaan Islam di Nusantara seiring dengan melemahkan Kerajaan Buddha dan Hindu-Siwa terakhir. Kelemahan orang Indonesia dalam memahami dirinya dan sejarahnya membuat karakter bangsa yang lemah dan mudah terpengaruh serta kurang percaya diri. Akibatnya propaganda "apapun" sesungguhnya mudah diserap oleh orang Indonesia.

Counter Propaganda ISIS

Pemerintahan Orde Baru menempuh kebijakan tangan besi terhadap perjuangan umat Islam Indonesia dan dapat dikatakan berhasil secara taktis. Namun secara strategis jangka panjang, periode Orde Baru justru menjadi masa inkubasi gerakan radikal Islam yang terus diwariskan ke generasi muda serta menemukan momentumnya saat kejatuhan Orde Baru. Hal itu terbukti dengan serangkaian serangan terorisme, bom, dan maraknya aksi-aksi anarkis mengatasnamakan Islam. Kebijakan Orde Baru bahkan memarjinalkan organisasi massa Islam dari ranah politik, sehingga kekecewaan semakin mendalam dan pada titik ekstrim melahirkan kembali cita-cita negara Islam dan penegakkan syariah baik oleh oranisasi Islam yang radikal maupun moderat.

Penyakit marjinalisasi Islam era Orde Baru sudah berakhir dan sekarang Islam Politik mampu eksis dalam panggung nasional dan menjadi penyambung lidah umat Islam dalam mendorong kebijakan negara yang baik terhadap umat Islam. Namun ternyata hal itu dipandang belum cukup oleh kelompok Islam yang beranggapan memperoleh semua atau tidak sama sekali atau tanpa kompromi. Mereka kemudian mencari rujukan ke Timur Tengah dan menemukan perjuangan di Afghanistan, Pakistan, Irak, Suriah, Yaman, dll yang menjadi justifikasi "perjuangan" lebih lanjut.

Singkatnya propaganda ISIS sangat mengena kepada kelompok Islam radikal yang tidak berhasil memperoleh dukungan umat mayoritas dan akhirnya mereka dengan mudah tunduk dan berbai'at kepada Al Qaida dan sekarang ISIS, bahkan kemudian membangun gerakan di Indonesia yang sebenarnya boleh dikatakan sebagai "tindakan" dari frustasinya suatu perjuangan yang ternyata menghadapi realitas kekuatan multikultural Indonesia dan kekuatan negara dan bangsa Indonesia yang saat ini mengadopsi sistem demokrasi yang memberikan ruang komunikasi kepada semua agama di ranah politik/kekuasaan.

Counter propaganda ISIS tidak dapat dilakukan hanya dengan seminar-seminar BNPT atau kunjungan ke pesantren-pesantren. Isi counter propaganda ISIS juga tidak hanya menjelaskan kesesatan ISIS dari sudut pandang syariah karena perdebatan ini akan berlangsung panjang. Perlu dimulai pendalaman informasi tentang hakikat kelompok ISIS dan penyusunan argumentasi yang logis dalam menolak propaganda ISIS. Selain itu, bendera/ar-raya warna hitam sesungguhnya dalam sejarah merupakan simbol perlawanan Pemerintahan Bani Umayyah ketika pemerintahannya dipandang sudah terlalu korupsi. Selain itu, perlu diingat bahwa bendera hitam identik dengan Islam Sunni sedangkan bendera putih identik dengan Islam Syiah dalam sejarah konflik Sunni-Syiah di Timur Tengah.  Tentunya diperlukan kecerdasan luar biasa dalam mengakomodasi simbol-simbol sejarah perjuangan Islam yang dibajak oleh aliran yang menggunakan jalan kekerasan.

Manusia hidup dalam jangkauan pemahaman diri pribadi masing-masing, hal ini mudah dimanipulasi oleh propaganda dan dapat melahirkan keyakinan. Oleh karena itu, counter propaganda seyogyanya tidak pernah berhenti melainkan secara terus-menerus dilakukan. Walaupun aparat keamanan dinilai berhasil dalam menangkapi terduga teroris, namun hal itu bagaikan penanganan yang bersifat parsial dan taktis. Operasi keamanan perlu diimbangi dengan pemberian pemahaman yang utuh dan logis tentang fenomena ISIS. Meskipun hal ini tidak mudah, namun di Indonesia sudah banyak kalangan akademisi yang secara serius mendalami dan memahami masalah ini dan dapat dimaksimalkan dengan menyusun strategi nasional mencegah faham ISIS yang kemudian dijadikan pegangan bagi seluruh pemangku kepentingan di tanah air.

Semoga bermanfaat
SW

Komentar

Postingan Populer