Menilik Calon Kepala BIN dan Kepemimpinan Nasional
Sungguh sayang seribu sayang, sejak awal terbentuknya pemerintahan yang baru, komunitas Intelijen dan jaringan intelijen Indonesia harus menyaksikan dan menerima kenyataan tarik-menarik yang kuat di dalam Pemerintahan Jokowi - JK yang menyebabkan penentuan Kepala BIN tampak demikian sulitnya. Apakah hal ini cermin leadership yang lemah dan ragu? bahkan jauh lebih ragu-ragu daripada SBY-Boediono. Ataukah karena kalkulasi strategis yang memperhitungkan dampak politik dan dukungan publik? Pemimpin yang baik bukan pemimpin yang menyenangkan semua pihak melainkan yang mampu mengambil keputusan yang benar walaupun ada pihak-pihak yang akan dikecewakan.
Pada bagian lain, Haris Azhar juga mendorong agar Kepala BIN tidak terlibat politik, yang mana sangat tampak suatu kepentingan untuk mengganjal calon Kepala BIN yang berasal dari Partai Politik seperti Sutiyoso dan Tubagus Hasanuddin. Meskipun Haris juga menyebutkan nama Rizal Sukma yang sebenarnya juga kurang berhasil dalam membesarkan CSIS yang dahulu dibangun oleh BAKIN dan orang-orang dekat Presiden Suharto, namun diduga kuat penyebutan tersebut hanya sebagai pemanis komentar di media massa. Rizal Sukma kemungkinan juga akan sulit didengarkan karena sebagian mantan peneliti senior CSIS yang mengundurkan diri saat kepemimpinannya, merupakan bagian tim sukses pemikir dibalik sukses Jokowi.
Kembali pada komentar tidak perlu dari seorang Menkopolhukam yang memprihatinkan:"Selama ini yang terjadi, data BIN meleset, kurang akurat lah. BIN ke depannya, harus bisa mengkoordinasikan semua intelijen yang ada di lembaga dan kementerian mulai dari kepolisian, jaksa, TNI, hingga BAIS," ungkap mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) itu (Calon Kepala BIN). Kata-kata "selama ini data BIN meleset, kurang akuratlah" merupakan refleksi fakta ataukah opini? Apabila pernyataan tersebut valid, maka sangat menyedihkan bukan? Namun bila pernyataan tersebut opini orang di sekeliling Jokowi-JK, khususnya Andi Wijayanto, maka menjadi jauh lebih memprihatinkan lagi, karena baru di awal pemerintahan sudah mengeluarkan opini yang tidak perlu, bagaimana dengan lima tahun ke depan?
Dalam pengamatan jaringan Blog I-I, seluruh pernyataan publik dan perkiraan intelijen dari Marciano Norman dapat dikatakan terbukti, catat saja pernyataan-pernyataan Marciano terkait terorisme, separatisme, konflik komunal, pemilu dan lain-lain. Hanya satu pengecualian, yaitu saat terjadi desas-desus "penculikan" mantan Ketua Umum Partai Demokrat, secara psikologis dan komunikasi massa terjadi ketergesa-gesaan untuk membantah, sehingga melahirkan spekulasi pandangan yang sebaliknya bahwa terjadi suatu upaya monitoring dan isolasi terhadap kelompok Anas Urbaningrum. Menteri Tedjo yang dapat dikatakan kurang memiliki pemahaman intelijen sebagaimana rekam jejak seharusnya lebih bijaksana dalam memberikan komentar yang dipublikasikan sehingga tidak tampak sebagai Jenderal celometan yang tidak mengerti masalah yang dibicarakannya. Apabila tidak ada introspeksi, diperkirakan Menteri Tedjo akan kembali mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kurang berisi di kemudian hari.
Analisa Blog I-I terhadap tarik-menarik calon Kepala BIN
Fakta Pertama
Terjadi dikotomi yang sangat kuat dalam sipil - militer terkait penentuan Kepala BIN. Hal ini digerakkan oleh fakta pemanfaatan struktur dan jabatan di BIN sebagai jalur promosi PATI Militer yang meningkat drastis sejak BIN dipimpin oleh Marciano Norman. Masalah ini pula yang menyebabkan Sutanto yang berlatar belakang Polisi disingkirkan oleh Presiden SBY. Namun jangan dilihat jalur promosi PATI Militer ini sebagai hal yang negatif karena dimungkinkan oleh UU Intelijen No.17 Tahun 2011. Dengan alasan kurangnya sumber daya manusia BIN, maka masuklah elemen militer yang jumlahnya cukup signifikan mewarnai unsur pimpinan maupun pelaksana operasional dengan fasilitas-fasilitas yang mampu menyerap anggaran BIN secara efektif. Apabila elemen militer aktif yang dipromosikan di BIN memiliki latar belakang intelijen yang kuat tentunya tidak akan menjadi masalah, namun faktanya tidak demikian, silahkan diperiksa langsung kepada yang berwenang di BIN dan TNI. Proses ini akan menghancurkan kredibilitas BIN, satu-satunya cara menghentikan proses pembusukan ini adalah dengan perbaikan proses seleksi/rekrutmen kalangan militer dengan persyaratan latar belakang intelijen dan pengalaman yang cukup. Singkat kata, dapat dipahami bila jajaran TNI tidak akan rela melepaskan kepemimpinan BIN kepada sipil, namun BIN jangan dikooptasi dengan Surat Keputusan Panglima yang membuat posisi BIN seperti dibawah Panglima TNI dalam masalah penentuan jabatan dan promosi personil asal TNI. Fakta yang terjadi adalah BIN "tunduk" pada SK Panglima TNI, hal inilah yang merusak merit system di tubuh BIN dan menimbulkan kelesuan bahkan boikot di beberapa wilayah operasi karena ketidakmampuan atau ketidakmengertian pejabat intelijen di BIN yang tidak memiliki latar belakang intelijen yang kuat.
Fakta Kedua
BIN memiliki anggaran yang membuat siapapun elit yang berkecimpung di dunia intelijen, keamanan dan pertahanan menelan ludah dan berlomba-lomba untuk menguasainya. Meskipun bagi Blog I-I anggaran BIN tersebut relatif masih kecil bila dibandingkan 5 negara berpenduduk terbesar di dunia seperti China, India, Amerika Serikat, Brazil, dan Pakistan, namun manajemen yang kurang berorientasi pada profesionalisme dan integritas penggunaan anggaran menyebabkan terjadinya salah arah dalam penggunaan anggaran. Meskipun BIN tercatat mendapatkan penghargaan dengan pengelolaan anggaran yang baik, namun kenyataan bahwa terjadi ketimpangan take home pay yang disebabkan oleh pembentukan Satgas-Satgas berbiaya besar dengan hasil yang kurang terukur menyebabkan pemborosan anggaran dan pemberian reward operasional yang berlebihan sebagaimana terjadi juga di Densus 88. Hal ini jelas sangat tidak sehat karena fungsi-fungsi operasional dari struktur yang ada justru mengalami kekurangan anggaran. Seharusnya dilakukan revitalisasi struktur dengan alokasi anggaran yang cukup sehingga tidak perlu dibentuk satgas-satgas berbiaya besar tersebut. Fakta bahwa anggaran BIN besar namun tidak dikelola secara tepat sasaran tersebut telah menyebabkan beberapa pihak melihat BIN sebagai sasaran empuk untuk proyek.
Fakta Ketiga
Mungkin ada benarnya juga ketika Menteri Tedjo menyatakan laporan BIN meleset atau kurang akurat. Hal ini mudah untuk dicari tahu penyebabnya mengapa? Pertama sumber daya manusia BIN boleh dikatakan salah satu yang paling lemah secara intelektual akademis dari rasio jumlah karyawan terhadap level pendidikan SMA, Sarjana S1, S2, dan S3. Dalam imajinasi atau sebagaimana kita baca di buku-buku sejarah intelijen, seharusnya rasio level pendidikan aparatur di lembaga intelijen menyamai lembaga pendidikan seperti Universitas, khususnya untuk kalangan analis intelijen sehingga mereka betul-betul ahli bahkan jauh lebih ahli dari pengamat yang sering bicara di media massa. Apa yang terjadi di BIN dan di seluruh badan intelijen di negeri tercinta ini adalah analisa common sense yang sebenarnya dapat dilakukan oleh siapapun yang bahkan tidak memiliki latar belakang intelijen. Hal inilah yang membuat Sekab Andi Wijayanto berani pernah menuliskan kritikan dengan gagasan reformasi intelijen, walaupun Andi sendiri belum tuntas pendidikan S3-nya.
Masalah rendahnya level pendidikan di BIN tersebut diperparah oleh skill lapangan yang rendah yang terlihat dalam penguasaan wilayah, jaringan, dan akses yang kurang baik. Namun tidak semuanya, ada bagian-bagian yang bersinar cemerlang dengan level penetrasi ke pihak lawan yang sangat baik, dan ada yang biasa-biasa saja dan ada yang buruk. Hal ini seharusnya dapat diperbaiki dengan manajemen intelijen yang lebih baik dengan pembinaan dan pelatihan yang terus-menerus.
Kondisi ini menyebabkan pihak luar BIN dapat melakukan bully terhadap BIN dan biasanya intel diam saja karena akan percuma juga untuk membela diri atau menyerang balik. Itulah sebabnya jaringan Blog I-I menuliskan ini sebagai masukan yang semoga dapat memberikan pencerahan tanpa harus menyebabkan kehebohan di masyarakat.
Fakta Keempat
Dari nama-nama calon Kepala BIN yang beredar, dan dari informasi jaringan Blog I-I, dapat dipetakan kubu-kubu yang mendorong para calon sebagai berikut: (Urutan random dan tidak berdasarkan prioritas)
Calon Kepala BIN
Sejak awal tersebarnya isu nama-nama susunan kabinet termasuk calon Kepala BIN, tercatat setidaknya ada 9 nama di media massa yakni Tubagus Hasanuddin, As'at Said Ali, Maroef Sjamsoeddin, Erfi Triasunnu, Ian Santoso Perdanakusuma, Fachrul Rozy, Sjafrie Sjamsoeddin, Sutiyoso dan bahkan Kepala BIN yang saat ini menjabat yakni Marciano Norman. Nama-nama tersebut ada yang diajukan oleh relawan atau berdasarkan penyaringan opini publik melalui polling, ada yang disodorkan oleh Partai Politik, ada yang memang sudah menjadi bagian dari Tim Sukses atau pendukung Jokowi-JK, dan ada pula yang digaransi oleh tokoh-tokoh berpengaruh di sekeliling Jokowi-Jk, serta ada yang sudah dekat Jokowi dan ada yang dekat JK.
Jaringan Blog memiliki catatan detail tentang bagaimana hiruk-pikuk penentuan calon Kepala BIN tersebut dan sangat menyayangkan mengapa tampak sangat sulit menentukan satu nama yang akan menjadi salah seorang kepercayaan Presiden RI yang akan sangat membantu kinerja Presiden. Dalam sejarahnya pengangkatan Kepala-kepala Intelijen di Republik Indonesia, tidak pernah terjadi kegamangan seorang Presiden dalam memilih orang kepercayaan yang memimpin Intelijen. Hal ini memberikan kesan yang sangat dalam ke dalam komunitas intelijen bahwa Pimpinan nasional saat ini belum menunjukkan ketegasan dan keyakinan yang kuat dalam penentuan Kepala BIN. Walaupun sebenarnya formula yang paling tepat adalah Kepala Intelijen harus figur profesional yang dipercaya Presiden dan dapat berkomunikasi erat 24 jam 7 hari dengan Presiden, artinya kedekatan dan kenyamanan melebihi segala perhitungan dan desakan berbagai kelompok kepentingan tentang siapa calon Kepala BIN yang layak diangkat.
Salah satu bukti tentang kegamangan di Istana yang mencuat di publik adalah berdasarkan pernyataan Menkopolhukam sang Jenderal celometan yang tampaknya doyan bicara yang tidak perlu, yakni:"Yang menguat memang tiga nama ini (As'at, Sjafrie, dan Fachrul). Tapi keputusannya nanti tinggal satu, kita tunggu saja," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, Tedjo Edhy Purdijatno, seusai rapat kabinet di kantor Presiden, Selasa, 2 November 2014 (Calon Kuat Kepala BIN). Selain itu, Tedjo juga mengungkapkan bahwa: "Sjafrie sempat muncul, TB Hasanuddin muncul terus tenggelam lagi, As'ad Ali masih ada terus tenggelam. Nama Sutiyoso pertama-tama muncul keras dia, lalu tenggelam sekarang muncul lagi," kata Tedjo di Istana Negara, Jakarta, Selasa (4/11/2014 - Calon Kepala BIN). Pernyataan Menkopolhukam Tedjo yang paling aneh adalah: Tedjo menyebutkan, nama-nama tersebut bisa saja berubah saat diumumkan. "Yang menguat memang tiga (calon) [As'at, Sjafrie, Fachrul]. Akan tetapi, bisa saja muncul satu lagi atau malah hilang semua." (Presiden Kaji 3 Calon Kepala BIN).
Dari pernyataan Menkopolhukam tersebut, kalangan intelijen segera paham bahwa pertarungan penentuan calon Kepala BIN tersebut sangat keras tarik-menariknya. Hal ini bukan analisa ataupun perkiraan kosong, karena posisi sentral dan strategis dari Kepala BIN tentu sangat diminati oleh banyak pihak maka menjadi wajar apabila banyak kepentingan yang bermain disana. Mengapa harus dipublikasikan bahwa calon Kepala BIN adalah A, B, dan C dan serba-serbi yang tidak perlu lainnya. Bahkan dinyatakan bahwa ada calon timbul tenggelam, menguat melemah, bahkan berpotensi hilang semua. Apakah maksud dari pernyataan Menkopolhukam tersebut? Penilaian singkat yang masuk akal adalah bahwa terjadi kebimbangan Presiden karena faktor-faktor kepentingan yang bermain dalam menguasai BIN lima tahun ke depan. Seperti juga dengan pemanfaatan KPK untuk menyeleksi orang-orang yang duduk di Kabinet, tampaknya seleksi calon Kepala BIN menjadi semakin rumit karena yg lolos KPK lebih dari satu, maka ditunggulah reaksi-reaksi seperti dari LSM, Komnas HAM, dan juga sejumlah politisi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini jelas membuka peluang untuk diajukannya nama-nama baru yang digerakkan oleh ambisi sejumlah figur untuk menduduki Kursi Kepala BIN atau mempengaruhi siapa yang akan diangkat menjadi Kepala BIN.
Salah satu manuver munculnya nama baru misalnya dikemukakan oleh KontraS melalui koordinatornya Haris Azhar yang merekomendasikan beberapa nama, salah satunya adalah mantan Kepala BAIS, Sulaiman Pontoh. "Alasannya, isi kepalanya oke, pemahamannya soal keamanan, demokrasi itu baik. Saya pernah berdiskusi sama dia," katanya (Kepala BIN Bebas Kasus HAM). Agak aneh memang mengapa tiba-tiba Haris Azhar menyampaikan nama Pontoh yang jelas juga bermasalah di masa kepemimpinannya di BAIS karena diduga kuat tidak akan lolos pemeriksaan KPK karena kasus backing cukai dan lain-lain. Hal ini mengundang spekulasi bahwa pertarungan petinggi-petinggi TNI yang memanfaatkan aktivis masih marak sebagaimana terjadi di masa lalu. Pendapat KontraS tersebut jelas untuk mengganjal kandidat yang dipropagandakan secara negatif terlibat langsung atau tidak langsung dengan pelanggaran HAM seperti Sjafrie, As'at, dan Fachrul. Hal senada juga diungkapkan oleh Setara dalam pandangannya tentangtiga nama calon Kepala BIN.
Salah satu bukti tentang kegamangan di Istana yang mencuat di publik adalah berdasarkan pernyataan Menkopolhukam sang Jenderal celometan yang tampaknya doyan bicara yang tidak perlu, yakni:"Yang menguat memang tiga nama ini (As'at, Sjafrie, dan Fachrul). Tapi keputusannya nanti tinggal satu, kita tunggu saja," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, Tedjo Edhy Purdijatno, seusai rapat kabinet di kantor Presiden, Selasa, 2 November 2014 (Calon Kuat Kepala BIN). Selain itu, Tedjo juga mengungkapkan bahwa: "Sjafrie sempat muncul, TB Hasanuddin muncul terus tenggelam lagi, As'ad Ali masih ada terus tenggelam. Nama Sutiyoso pertama-tama muncul keras dia, lalu tenggelam sekarang muncul lagi," kata Tedjo di Istana Negara, Jakarta, Selasa (4/11/2014 - Calon Kepala BIN). Pernyataan Menkopolhukam Tedjo yang paling aneh adalah: Tedjo menyebutkan, nama-nama tersebut bisa saja berubah saat diumumkan. "Yang menguat memang tiga (calon) [As'at, Sjafrie, Fachrul]. Akan tetapi, bisa saja muncul satu lagi atau malah hilang semua." (Presiden Kaji 3 Calon Kepala BIN).
Dari pernyataan Menkopolhukam tersebut, kalangan intelijen segera paham bahwa pertarungan penentuan calon Kepala BIN tersebut sangat keras tarik-menariknya. Hal ini bukan analisa ataupun perkiraan kosong, karena posisi sentral dan strategis dari Kepala BIN tentu sangat diminati oleh banyak pihak maka menjadi wajar apabila banyak kepentingan yang bermain disana. Mengapa harus dipublikasikan bahwa calon Kepala BIN adalah A, B, dan C dan serba-serbi yang tidak perlu lainnya. Bahkan dinyatakan bahwa ada calon timbul tenggelam, menguat melemah, bahkan berpotensi hilang semua. Apakah maksud dari pernyataan Menkopolhukam tersebut? Penilaian singkat yang masuk akal adalah bahwa terjadi kebimbangan Presiden karena faktor-faktor kepentingan yang bermain dalam menguasai BIN lima tahun ke depan. Seperti juga dengan pemanfaatan KPK untuk menyeleksi orang-orang yang duduk di Kabinet, tampaknya seleksi calon Kepala BIN menjadi semakin rumit karena yg lolos KPK lebih dari satu, maka ditunggulah reaksi-reaksi seperti dari LSM, Komnas HAM, dan juga sejumlah politisi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini jelas membuka peluang untuk diajukannya nama-nama baru yang digerakkan oleh ambisi sejumlah figur untuk menduduki Kursi Kepala BIN atau mempengaruhi siapa yang akan diangkat menjadi Kepala BIN.
Salah satu manuver munculnya nama baru misalnya dikemukakan oleh KontraS melalui koordinatornya Haris Azhar yang merekomendasikan beberapa nama, salah satunya adalah mantan Kepala BAIS, Sulaiman Pontoh. "Alasannya, isi kepalanya oke, pemahamannya soal keamanan, demokrasi itu baik. Saya pernah berdiskusi sama dia," katanya (Kepala BIN Bebas Kasus HAM). Agak aneh memang mengapa tiba-tiba Haris Azhar menyampaikan nama Pontoh yang jelas juga bermasalah di masa kepemimpinannya di BAIS karena diduga kuat tidak akan lolos pemeriksaan KPK karena kasus backing cukai dan lain-lain. Hal ini mengundang spekulasi bahwa pertarungan petinggi-petinggi TNI yang memanfaatkan aktivis masih marak sebagaimana terjadi di masa lalu. Pendapat KontraS tersebut jelas untuk mengganjal kandidat yang dipropagandakan secara negatif terlibat langsung atau tidak langsung dengan pelanggaran HAM seperti Sjafrie, As'at, dan Fachrul. Hal senada juga diungkapkan oleh Setara dalam pandangannya tentangtiga nama calon Kepala BIN.
Pada bagian lain, Haris Azhar juga mendorong agar Kepala BIN tidak terlibat politik, yang mana sangat tampak suatu kepentingan untuk mengganjal calon Kepala BIN yang berasal dari Partai Politik seperti Sutiyoso dan Tubagus Hasanuddin. Meskipun Haris juga menyebutkan nama Rizal Sukma yang sebenarnya juga kurang berhasil dalam membesarkan CSIS yang dahulu dibangun oleh BAKIN dan orang-orang dekat Presiden Suharto, namun diduga kuat penyebutan tersebut hanya sebagai pemanis komentar di media massa. Rizal Sukma kemungkinan juga akan sulit didengarkan karena sebagian mantan peneliti senior CSIS yang mengundurkan diri saat kepemimpinannya, merupakan bagian tim sukses pemikir dibalik sukses Jokowi.
Kembali pada komentar tidak perlu dari seorang Menkopolhukam yang memprihatinkan:"Selama ini yang terjadi, data BIN meleset, kurang akurat lah. BIN ke depannya, harus bisa mengkoordinasikan semua intelijen yang ada di lembaga dan kementerian mulai dari kepolisian, jaksa, TNI, hingga BAIS," ungkap mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) itu (Calon Kepala BIN). Kata-kata "selama ini data BIN meleset, kurang akuratlah" merupakan refleksi fakta ataukah opini? Apabila pernyataan tersebut valid, maka sangat menyedihkan bukan? Namun bila pernyataan tersebut opini orang di sekeliling Jokowi-JK, khususnya Andi Wijayanto, maka menjadi jauh lebih memprihatinkan lagi, karena baru di awal pemerintahan sudah mengeluarkan opini yang tidak perlu, bagaimana dengan lima tahun ke depan?
Dalam pengamatan jaringan Blog I-I, seluruh pernyataan publik dan perkiraan intelijen dari Marciano Norman dapat dikatakan terbukti, catat saja pernyataan-pernyataan Marciano terkait terorisme, separatisme, konflik komunal, pemilu dan lain-lain. Hanya satu pengecualian, yaitu saat terjadi desas-desus "penculikan" mantan Ketua Umum Partai Demokrat, secara psikologis dan komunikasi massa terjadi ketergesa-gesaan untuk membantah, sehingga melahirkan spekulasi pandangan yang sebaliknya bahwa terjadi suatu upaya monitoring dan isolasi terhadap kelompok Anas Urbaningrum. Menteri Tedjo yang dapat dikatakan kurang memiliki pemahaman intelijen sebagaimana rekam jejak seharusnya lebih bijaksana dalam memberikan komentar yang dipublikasikan sehingga tidak tampak sebagai Jenderal celometan yang tidak mengerti masalah yang dibicarakannya. Apabila tidak ada introspeksi, diperkirakan Menteri Tedjo akan kembali mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kurang berisi di kemudian hari.
Analisa Blog I-I terhadap tarik-menarik calon Kepala BIN
Fakta Pertama
Terjadi dikotomi yang sangat kuat dalam sipil - militer terkait penentuan Kepala BIN. Hal ini digerakkan oleh fakta pemanfaatan struktur dan jabatan di BIN sebagai jalur promosi PATI Militer yang meningkat drastis sejak BIN dipimpin oleh Marciano Norman. Masalah ini pula yang menyebabkan Sutanto yang berlatar belakang Polisi disingkirkan oleh Presiden SBY. Namun jangan dilihat jalur promosi PATI Militer ini sebagai hal yang negatif karena dimungkinkan oleh UU Intelijen No.17 Tahun 2011. Dengan alasan kurangnya sumber daya manusia BIN, maka masuklah elemen militer yang jumlahnya cukup signifikan mewarnai unsur pimpinan maupun pelaksana operasional dengan fasilitas-fasilitas yang mampu menyerap anggaran BIN secara efektif. Apabila elemen militer aktif yang dipromosikan di BIN memiliki latar belakang intelijen yang kuat tentunya tidak akan menjadi masalah, namun faktanya tidak demikian, silahkan diperiksa langsung kepada yang berwenang di BIN dan TNI. Proses ini akan menghancurkan kredibilitas BIN, satu-satunya cara menghentikan proses pembusukan ini adalah dengan perbaikan proses seleksi/rekrutmen kalangan militer dengan persyaratan latar belakang intelijen dan pengalaman yang cukup. Singkat kata, dapat dipahami bila jajaran TNI tidak akan rela melepaskan kepemimpinan BIN kepada sipil, namun BIN jangan dikooptasi dengan Surat Keputusan Panglima yang membuat posisi BIN seperti dibawah Panglima TNI dalam masalah penentuan jabatan dan promosi personil asal TNI. Fakta yang terjadi adalah BIN "tunduk" pada SK Panglima TNI, hal inilah yang merusak merit system di tubuh BIN dan menimbulkan kelesuan bahkan boikot di beberapa wilayah operasi karena ketidakmampuan atau ketidakmengertian pejabat intelijen di BIN yang tidak memiliki latar belakang intelijen yang kuat.
Fakta Kedua
BIN memiliki anggaran yang membuat siapapun elit yang berkecimpung di dunia intelijen, keamanan dan pertahanan menelan ludah dan berlomba-lomba untuk menguasainya. Meskipun bagi Blog I-I anggaran BIN tersebut relatif masih kecil bila dibandingkan 5 negara berpenduduk terbesar di dunia seperti China, India, Amerika Serikat, Brazil, dan Pakistan, namun manajemen yang kurang berorientasi pada profesionalisme dan integritas penggunaan anggaran menyebabkan terjadinya salah arah dalam penggunaan anggaran. Meskipun BIN tercatat mendapatkan penghargaan dengan pengelolaan anggaran yang baik, namun kenyataan bahwa terjadi ketimpangan take home pay yang disebabkan oleh pembentukan Satgas-Satgas berbiaya besar dengan hasil yang kurang terukur menyebabkan pemborosan anggaran dan pemberian reward operasional yang berlebihan sebagaimana terjadi juga di Densus 88. Hal ini jelas sangat tidak sehat karena fungsi-fungsi operasional dari struktur yang ada justru mengalami kekurangan anggaran. Seharusnya dilakukan revitalisasi struktur dengan alokasi anggaran yang cukup sehingga tidak perlu dibentuk satgas-satgas berbiaya besar tersebut. Fakta bahwa anggaran BIN besar namun tidak dikelola secara tepat sasaran tersebut telah menyebabkan beberapa pihak melihat BIN sebagai sasaran empuk untuk proyek.
Fakta Ketiga
Mungkin ada benarnya juga ketika Menteri Tedjo menyatakan laporan BIN meleset atau kurang akurat. Hal ini mudah untuk dicari tahu penyebabnya mengapa? Pertama sumber daya manusia BIN boleh dikatakan salah satu yang paling lemah secara intelektual akademis dari rasio jumlah karyawan terhadap level pendidikan SMA, Sarjana S1, S2, dan S3. Dalam imajinasi atau sebagaimana kita baca di buku-buku sejarah intelijen, seharusnya rasio level pendidikan aparatur di lembaga intelijen menyamai lembaga pendidikan seperti Universitas, khususnya untuk kalangan analis intelijen sehingga mereka betul-betul ahli bahkan jauh lebih ahli dari pengamat yang sering bicara di media massa. Apa yang terjadi di BIN dan di seluruh badan intelijen di negeri tercinta ini adalah analisa common sense yang sebenarnya dapat dilakukan oleh siapapun yang bahkan tidak memiliki latar belakang intelijen. Hal inilah yang membuat Sekab Andi Wijayanto berani pernah menuliskan kritikan dengan gagasan reformasi intelijen, walaupun Andi sendiri belum tuntas pendidikan S3-nya.
Masalah rendahnya level pendidikan di BIN tersebut diperparah oleh skill lapangan yang rendah yang terlihat dalam penguasaan wilayah, jaringan, dan akses yang kurang baik. Namun tidak semuanya, ada bagian-bagian yang bersinar cemerlang dengan level penetrasi ke pihak lawan yang sangat baik, dan ada yang biasa-biasa saja dan ada yang buruk. Hal ini seharusnya dapat diperbaiki dengan manajemen intelijen yang lebih baik dengan pembinaan dan pelatihan yang terus-menerus.
Kondisi ini menyebabkan pihak luar BIN dapat melakukan bully terhadap BIN dan biasanya intel diam saja karena akan percuma juga untuk membela diri atau menyerang balik. Itulah sebabnya jaringan Blog I-I menuliskan ini sebagai masukan yang semoga dapat memberikan pencerahan tanpa harus menyebabkan kehebohan di masyarakat.
Fakta Keempat
Dari nama-nama calon Kepala BIN yang beredar, dan dari informasi jaringan Blog I-I, dapat dipetakan kubu-kubu yang mendorong para calon sebagai berikut: (Urutan random dan tidak berdasarkan prioritas)
- Tubagus Hasanuddin - PDI-P, TNI, didukung pula oleh teman-teman sesama anggota DPR baik dari Koalisi Indonesia Hebat maupun Koalisi Merah Putih seperti diungkapkan oleh Tantowi Yahya. (Konon kabarnya belum direstui oleh Megawati Sukarnoputri sehingga timbul tenggelam (meminjam istilah Menteri Tedjo)
- As'at Said Ali - NU - Sipil, Relawan Jokowi, Jokowi, AM Hendropriyono (belakangan agak kontras karena pernyataan Hendropriyono dalam wawancara dengan Allan Nairn yang memojokkan As'at). Walaupun Hendro tidak secara tegas memberikan pernyataan keterlibatan dalam kasus Munir, namun Allan yang juga mengklaim pernah mewawancarai As'at dan memanfaatkannya untuk menyerang integritas As'at dalam isu penegakkan HAM. Baca : Allan Nairn.Org dan Allan Nairn
- Maroef Sjamsoeddin - TNI , Jusuf Kalla, Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS)
- Erfi Triasunnu - TNI, sebagian kecil PDI-P melalui Muni namun tidak direstui Megawati Sukarnoputri.
- Ian Santoso Perdanakusuma, TNI, Megawati Sukarnoputri
- Fachrul Rozy, TNI, Luhut Binsar Panjaitan. Catatan khusus harus diawasi seksama apabila dukungan Luhut yang terpilih apakah mega bisnis Luhut di BIN akan menjadi lancar?
- Sjafrie Sjamsoeddin, TNI, Jusuf Kalla, Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS)
- Sutiyoso, TNI, PKPI (Partai Pendukung Jokowi)
- Marciano Norman, TNI, (penyelaras hubungan Jokowi dengan Ketum Partai Demokrat, SBY), telah bertemu Hendropriyono.
- Sulaiman Pontoh, TNI, KontraS.
- Rizal Sukma, sipil, KontraS
- Nama lama yang pernah muncul dan tenggelam, namun pada saat akhir yakni tanggal 6-7 November muncul lagi adalahBudiman mantan Ka Staf TNI AD yang dipecat SBY karena dinilai tidak loyal dengan melakukan pendekatan kepada Megawati Sukarnoputri (PDI-P), dukungan diberikan oleh Panglima TNI, Menkopolhukam, Megawati Sukarnoputri, dan PDI-P.
Apakah akan muncul nama-nama lain yang semakin mewarnai bursa calon Kepala BIN? Sebaiknya Jokowi sebagai Presiden segera memantapkan hatinya setelah mempelajari masukan-masukan yang semakin liar di media massa.
Bagaimana dengan rekomendasi Blog I-I?
Blog I-I tidak akan tergoda dengan menyodorkan nama calon Kepala BIN sebagaimana dilakukan oleh beberapa kalangan. Kata kunci dari Blog I-I untuk Presiden Jokowi adalah bahwa Kepala BIN akan bekerja erat dengan anda dalam memberikan informasi-informasi strategis terkait dengan berbagai isu yang menjadi perhatian Presiden. Oleh karena itu pilihlah yang calon yang paling terpercaya, dianggap dapat bekerjasama dengan Presiden, sehati dalam artian dapat mengikuti arah pemikiran Presiden, amanah, dan profesional serta mampu membenahi BIN yang selama ini dinilai kurang akurat. Kemudian buktikan bahwa Presiden memilih Kepala BIN yang akan bekerja untuk Presiden sebagai single client, bukan untuk yang lain.
Sekian. Mohon maaf kepada para pihak yang namanya disebutkan dalam artikel ini, sekiranya ada yang kurang benar mohon dikoreksi atau disanggah melalu e-mail untuk dipublikasikan di Blog ini, atau silahkan berkomentar atau meresponnya melalui media lain.
Maksud dan tujuan penulisan artikel ini sebagai media edukasi pendidikan intelijen dan politik kepada masyarakat Indonesia agar tidak mudah dikelabui oleh propaganda atau opini-opini yang digerakkan oleh kepentingan sempit individu maupun kelompok.
Tambahan: Bila anda dekat dengan Presiden Jokowi dan merasa Presiden perlu tahu silahkan disampaikan.
Perkiraan Blog I-I, Kepala BIN akan dimenangkan oleh figur berlatar belakang TNI karena pentingnya kooptasi personil dan pejabat BIN untuk pola karir para Kolonel TNI yang semakin sempit koridor promosinya menjadi Jenderal. Jalan keluar terbaik untuk menghindari semakin rusaknya organisasi BIN adalah kewajiban bagi perwira aktif TNI yang menjabat di BIN harus mengundurkan diri dari dinas militer dan berubah status menjadi sipil dalam ruang golongan yang sesuai dengan peraturan Pemerintah. Diperlukan keberanian yang luar biasa untuk sungguh-sungguh memiliki lembaga intelijen nasional yang profesional dan murni sipil yang menjunjung tinggi HAM dan tidak memiliki karakter militeristik. Mungkin diperlukan puluhan tahun lagi untuk transformasi karakter militeristik suatu lembaga intelijen sebagaimana di negara-negara maju yang telah memisahkan secara tegas antara lembaga intelijen sipil dan militer, dimana pejabat militer yang ingin bergabung dalam lembaga sipil wajib menjadi sipil guna menghindari sikap-sikap yang menjadi karakter utama militer yakni pertahanan negara secara fisik, membunuh atau dibunuh demi kelangsungan suatu bangsa dan negara!
Tambahan: Bila anda dekat dengan Presiden Jokowi dan merasa Presiden perlu tahu silahkan disampaikan.
Perkiraan Blog I-I, Kepala BIN akan dimenangkan oleh figur berlatar belakang TNI karena pentingnya kooptasi personil dan pejabat BIN untuk pola karir para Kolonel TNI yang semakin sempit koridor promosinya menjadi Jenderal. Jalan keluar terbaik untuk menghindari semakin rusaknya organisasi BIN adalah kewajiban bagi perwira aktif TNI yang menjabat di BIN harus mengundurkan diri dari dinas militer dan berubah status menjadi sipil dalam ruang golongan yang sesuai dengan peraturan Pemerintah. Diperlukan keberanian yang luar biasa untuk sungguh-sungguh memiliki lembaga intelijen nasional yang profesional dan murni sipil yang menjunjung tinggi HAM dan tidak memiliki karakter militeristik. Mungkin diperlukan puluhan tahun lagi untuk transformasi karakter militeristik suatu lembaga intelijen sebagaimana di negara-negara maju yang telah memisahkan secara tegas antara lembaga intelijen sipil dan militer, dimana pejabat militer yang ingin bergabung dalam lembaga sipil wajib menjadi sipil guna menghindari sikap-sikap yang menjadi karakter utama militer yakni pertahanan negara secara fisik, membunuh atau dibunuh demi kelangsungan suatu bangsa dan negara!
Salam intelijen,
Senopati Wirang
Komentar
Posting Komentar