Siaga Satu Penggalangan Rusia terhadap BIN !
Artikel ini telah dipersiapkan sejak lama ketika beberapa jaringan Blog I-I mendapatkan bocoran dari CIA tentang rencana strategis Rusia membangkitkan sentimen anti neoliberalisme kapitalisme dan kebangkitan komunisme di Indonesia (baca anti AS dan Barat) karena perkiraan strategis bahwa dunia kembali berada dalam kondisi Perang Dingin karena masalah geopolitik, energi, dan persaingan ekonomi. Penundaan publikasi artikel ini adalah menunggu bukti-bukti faktual langkah-langkah Rusia di Indonesia. Tentunya masih segar dalam ingatan seluruh komunitas Intelijen Indonesia tentang kasus Letkol Johanes Baptista Susdaryanto yang menjadi agen KGB pada era Perang Dingin. Kita semua perlu merenungkan makna salah satu judul pidato Bung Karno: JAS MERAH yakni Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.
Saya akan mengawali artikel ini merujuk pada informasi CIA bahwa Rusia secara aktif melakukan penggalangan kepada BIN. Model penggalangan yang dilakukan SVR (Sluzhba Vneshney Razvedki) adalah sama saja dengan model penggalangan CIA pada era BAKIN ketika membentuk Unit Pelaksana 01 (semacam Directorate Operation / DO model CIA) yakni melalui kerjasama pelatihan dan pendidikan yang membidik sebanyak-banyaknya anggota BIN untuk mengikuti pelatihan oleh SVR.
Kata kuncinya adalah SVR menargetkan jumlah anggota BIN yang dilatih Rusia dalam jumlah besar dan bergelombang dalam waktu beberapa tahun. Dari sanalah akan dilakukan proses rekrutmen dengan membidik anggota-anggota BIN yang potensial sebagai agen SVR. Apa bedanya dengan pelatihan dan pendidikan oleh lembaga-lembaga intelijen lain, seperti CIA, BND, ASIS, ASIO, Mossad, Intelijen China, Intelijen Negara ASEAN, Intelijen Negara-negara Arab dll? Bedanya adalah pada niat merekrut anggota BIN melalui pelatihan yang diatur sedemikian rupa terstruktur dan sistematis sehingga dalam waktu 5 tahun secara total anggota BIN yang dilatih dapat mencapai seratusan orang lebih. Dari sana SVR dapat menilai siapa-siapa yang berpotensi untuk direkrut (pintar dan punya akses). Apabila SVR berhasil merekrut 1 orang saja anggota BIN, maka hal ini sudah menjadi malapetaka. Apalagi dengan tersedianya stock yang besar anggota BIN yang tercatat dalam daftar list target SVR, maka secara teori jumlah anggota BIN yang dapat direkrut akan lebih dari 1 orang.
Model rekrutmen SVR ini dapat dibandingkan dengan ASIO dan ASIS melalui kursus bahasa Inggris yang juga menargetkan untuk mengakses sebanyak-banyaknya anggota BIN. Sedangkan CIA sendiri sampai saat ini lebih memperhatikan akses kepada unit-unit counter-terrorism BIN dengan memperluas aksesnya melalui kerjasama operasi dan pelatihan. Ada yang salah dan rusak dengan BIN dan hal ini kurang disadari karena kelemahan yang luar biasa dalam membangun postur intelijen yang kuat, profesional, dan disegani. Kepentingan Australia dan Amerika terhadap Indonesia sudah dapat ditebak terkait dengan kepentingan ekonomi, stabilitas kawasan, kerjasama antar negara serta adanya keinginan terpendam agar Indonesia terus melaju menjadi negara demokrasi liberal yang berkarakter sama dengan Barat sehingga dapat menjadi sekutu Barat. Untuk meraba kepentingan Rusia, Intelijen Indonesia harus melihat kepada karakter khusus SVR yang fokus kepada spionase di luar negeri (sama dengan CIA) artinya menjadi kewajiban SVR untuk dapat merekrut agen dari negara-negara yang menjadi target.
Salah satu alasan BIN mengirimkan anggotanya untuk dilatih intel asing adalah untuk "menimba ilmu" yang mudah-mudahan dapat bermanfaat dalam pekerjaan BIN. Namun sesungguhnya Ilmu intelijen tidak lagi khas milik lembaga intelijen, melainkan telah banyak diadopsi dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi maupun bisnis swasta. Untuk meningkatkan kemampuan analisa anggota BIN misalnya dapat menempuh studi Kajian Intelijen Stratejik di UI.
Dalam proporsi yang wajar, sesungguhnya pelatihan intelijen sangat diperlukan oleh insan intelijen Indonesia baik yang diselenggarakan di dalam negeri maupun di luar negeri. Namun sudah waktunya BIN membangun sistem pendidikan dan pelatihan yang lebih baik sehingga tidak mudah meneteskan air liur ketika mendapatkan tawaran pendidikan dan pelatihan dari lembaga intel asing. Dalam pengalaman di masa lalu ketika berlatih dengan CIA, KGB, Mossad dan lain-lain, sesungguhnya tidak ada yang baru atau lebih hebat dari sistem pendidikan dan pelatihan intelijen yang dimiliki oleh Pusintelstrat, Pusdik Intel TNI, dan Pusdiklat BAKIN. Pada waktu itu, BAKIN mengirimkan anggotanya untuk dilatih dalam rangka memberikan pengalaman saja dan jumlahnya sangat terbatas dan secara tegas menolak pelatihan yang secara sistematis membuat anggota-anggota BAKIN terekspos dalam jumlah besar sebagaimana sistem yang sedang dijalankan SVR saat ini.
Blog I-I memperkirakan, kerusakan dalam sistem pengamanan personil BIN tersebut akan mulai terasa besar dampaknya ketika murid-murid didikan intelijen asing mulai menduduki jabatan strategis.
Apabila informasi Blog I-I ini keliru, mohon ma'af. Tetapi ada baiknya Pimpinan BIN menghitung kembali sudah berapa anggota BIN yang ditarget oleh SVR dalam sistem pendidikan dan pelatihannya, silahkan dijumlah sejak beberapa tahun silam dan perhatikan grafik peningkatannya. Bahkan Blog I-I menganjurkan agar mereka-mereka yang telah selesai dari pendidikan SVR diuji kembali kesetiaannya dalam wawancara khusus dan tes kebohongan. Untuk lebih adilnya, hal yang sama dapat diterapkan kepada mereka-mereka yang pernah dilatih CIA, ASIS, ASIO, Mossad, dll. Hal ini untuk strategi masa depan Intelijen Indonesia sendiri agar lebih mandiri dan dapat dipercaya dalam mengemban amanat bangsa Indonesia di bidang intelijen.
Menyikapi kerusakan pengamanan personil BIN dari infiltrasi intelijen asing yang masif, terstruktur dan sistematis tersebut, maka komunitas Blog I-I bersama ini menyampaikan desakan kepada Pemerintah RI, DPR-RI, dan Pimpinan BIN sbb:
Demi keselamatan bangsa dan negara Republik Indonesia, mohon kepada komunitas Blog I-I untuk melaporkannya kepada Pimpinan BIN, Presiden RI, dan Komisi- I DPR-RI.
Semoga bermanfaat,
Salam Intelijen
Senopati Wirang
Kata kuncinya adalah SVR menargetkan jumlah anggota BIN yang dilatih Rusia dalam jumlah besar dan bergelombang dalam waktu beberapa tahun. Dari sanalah akan dilakukan proses rekrutmen dengan membidik anggota-anggota BIN yang potensial sebagai agen SVR. Apa bedanya dengan pelatihan dan pendidikan oleh lembaga-lembaga intelijen lain, seperti CIA, BND, ASIS, ASIO, Mossad, Intelijen China, Intelijen Negara ASEAN, Intelijen Negara-negara Arab dll? Bedanya adalah pada niat merekrut anggota BIN melalui pelatihan yang diatur sedemikian rupa terstruktur dan sistematis sehingga dalam waktu 5 tahun secara total anggota BIN yang dilatih dapat mencapai seratusan orang lebih. Dari sana SVR dapat menilai siapa-siapa yang berpotensi untuk direkrut (pintar dan punya akses). Apabila SVR berhasil merekrut 1 orang saja anggota BIN, maka hal ini sudah menjadi malapetaka. Apalagi dengan tersedianya stock yang besar anggota BIN yang tercatat dalam daftar list target SVR, maka secara teori jumlah anggota BIN yang dapat direkrut akan lebih dari 1 orang.
Model rekrutmen SVR ini dapat dibandingkan dengan ASIO dan ASIS melalui kursus bahasa Inggris yang juga menargetkan untuk mengakses sebanyak-banyaknya anggota BIN. Sedangkan CIA sendiri sampai saat ini lebih memperhatikan akses kepada unit-unit counter-terrorism BIN dengan memperluas aksesnya melalui kerjasama operasi dan pelatihan. Ada yang salah dan rusak dengan BIN dan hal ini kurang disadari karena kelemahan yang luar biasa dalam membangun postur intelijen yang kuat, profesional, dan disegani. Kepentingan Australia dan Amerika terhadap Indonesia sudah dapat ditebak terkait dengan kepentingan ekonomi, stabilitas kawasan, kerjasama antar negara serta adanya keinginan terpendam agar Indonesia terus melaju menjadi negara demokrasi liberal yang berkarakter sama dengan Barat sehingga dapat menjadi sekutu Barat. Untuk meraba kepentingan Rusia, Intelijen Indonesia harus melihat kepada karakter khusus SVR yang fokus kepada spionase di luar negeri (sama dengan CIA) artinya menjadi kewajiban SVR untuk dapat merekrut agen dari negara-negara yang menjadi target.
Salah satu alasan BIN mengirimkan anggotanya untuk dilatih intel asing adalah untuk "menimba ilmu" yang mudah-mudahan dapat bermanfaat dalam pekerjaan BIN. Namun sesungguhnya Ilmu intelijen tidak lagi khas milik lembaga intelijen, melainkan telah banyak diadopsi dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi maupun bisnis swasta. Untuk meningkatkan kemampuan analisa anggota BIN misalnya dapat menempuh studi Kajian Intelijen Stratejik di UI.
Blog I-I memperkirakan, kerusakan dalam sistem pengamanan personil BIN tersebut akan mulai terasa besar dampaknya ketika murid-murid didikan intelijen asing mulai menduduki jabatan strategis.
Apabila informasi Blog I-I ini keliru, mohon ma'af. Tetapi ada baiknya Pimpinan BIN menghitung kembali sudah berapa anggota BIN yang ditarget oleh SVR dalam sistem pendidikan dan pelatihannya, silahkan dijumlah sejak beberapa tahun silam dan perhatikan grafik peningkatannya. Bahkan Blog I-I menganjurkan agar mereka-mereka yang telah selesai dari pendidikan SVR diuji kembali kesetiaannya dalam wawancara khusus dan tes kebohongan. Untuk lebih adilnya, hal yang sama dapat diterapkan kepada mereka-mereka yang pernah dilatih CIA, ASIS, ASIO, Mossad, dll. Hal ini untuk strategi masa depan Intelijen Indonesia sendiri agar lebih mandiri dan dapat dipercaya dalam mengemban amanat bangsa Indonesia di bidang intelijen.
Menyikapi kerusakan pengamanan personil BIN dari infiltrasi intelijen asing yang masif, terstruktur dan sistematis tersebut, maka komunitas Blog I-I bersama ini menyampaikan desakan kepada Pemerintah RI, DPR-RI, dan Pimpinan BIN sbb:
- Anggaran BIN agar dinaikkan dalam rangka pengembangan organisasi dan khusus untuk peningkatan kapasitas profesionalisme anggota BIN agar diadakan anggaran khusus pendidikan dan pelatihan yang lebih besar supaya tidak tergantung kepada pendidikan dan pelatihan dari intelijen asing.
- Seluruh pendidikan dan pelatihan di luar negeri agar segera dievaluasi dan dilakukan penyegaran nasionalisme Indonesia kepada anggota BIN yang memperoleh didikan intelijen asing.
- Komunikasi BIN dengan Intelijen Asing agar dipastikan hanya melalui satu pintu, pelanggaran terhadap sistem ini harus dikenakan sanksi.
- Tawaran belajar bahasa asing sebaiknya ditolak karena dapat dengan mudah ditempuh di lembaga-lembaga pendidikan bahasa baik di dalam maupun luar negeri secara mandiri. Hentikan mentalitas mumpung ada gratisan dari intelijen asing yang sebenarnya ingin melakukan perekrutan agen.
- Peningkatan sumber daya manusia BIN melalui pendidikan dan pelatihan agar lebih mandiri dengan peningkatan kualitas Guru Intel (Gurint) dari anggota-anggota BIN yang berpengalaman.
- Khusus terkait SVR, ingat kasus Letkol Susdaryanto dan jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.
Demi keselamatan bangsa dan negara Republik Indonesia, mohon kepada komunitas Blog I-I untuk melaporkannya kepada Pimpinan BIN, Presiden RI, dan Komisi- I DPR-RI.
Semoga bermanfaat,
Salam Intelijen
Senopati Wirang
Komentar
Posting Komentar