Dampak Dinamika Politik Nasional kepada Dunia Intelijen Indonesia

Apa yang belakangan ini digambarkan oleh media massa sebagai kisruh politik, sandiwara politik, pertarungan demi kekuasaan, lobby penguasaan sektor strategis, kelanjutan perpecahan bangsa akibat pilpres 2014, politik bagi-bagi kekuasaan, Koalisi Indonesia Hebat VS Koalisi Merah Putih, dan berbagai polemik yang dikemukakan oleh sejumlah pengamat yang sebagian besar bias dan cenderung memiliki posisi yang kurang dapat diyakini obyektifitasnya adalah DINAMIKA politik nasional kita yang perlu diperhatikan secara seksama dan hati-hati. Hal ini bukan hanya demi keberlangsungan pembangunan Indonesia yang kita cita-citakan menjadi negara maju yang sejahtera dan bermoral, melainkan juga demi keutuhan persatuan Indonesia.

Sebelum saya membahas dampak dinamika politik nasional terhadap dunia intelijen Indonesia, ada baiknya saya paparkan beberapa hal yang akan menyinggung hati kita semua dan membuka mata kita betapa kelukaan pertarungan politik dapat menjerumuskan kita ke dalam jurang keterbelakangan yang akan menunda tercapainya Indonesia Raya yang kita cita-citakan bersama.

Pada tahun 2004 bangsa Indonesia melalui sistem politik yang telah mengalami proses perubahan atau reformasi yang dimulai tahun 1998, memutuskan untuk melakukan pemilihan Presiden langsung. Sebuah keputusan berani yang akan meninggalkan praktek politik elit yang menjauhkan pemimpin dengan rakyatnya. Namun keputusan tersebut juga mengandung resiko terjadinya perpecahan bangsa apabila suara rakyat juga terpecah secara tajam dengan perbedaan yang tipis seperti yang baru saja terjadi. 

Mengapa perpecahan bangsa menjadi potensi yang patut kita cermati dan hindari? Hal ini karena sikap bathin bangsa Indonesia yang belum sepenuhnya demokratis, egaliter, dan sungguh saling menghormati. Sikap bathin bangsa Indonesia yang beratus tahun dipecah belah penjajah asing adalah cenderung untuk saling tidak menghormati, saling membenci dan curiga, yang tercermin dengan saling menghina dan saling jegal dengan segala cara melalui fitnah dan propaganda hitam yang semakin memperdalam sikap "berseberangan" antar kelompok.

Beberapa hal yang sangat menyakitkan kita sebagai bangsa misalnya sebutan-sebutan yang merendahkan dari para calon Presiden, sbb:
  1. Calon nomor 1 dicela dan dicemooh dengan sebutan-sebutan: Si Wowo, Prahara (Prabowo - Hatta Rajasa), Haus Kekuasaan, Tidak Legowo, Anti-Minoritas, Pelanggar HAM, Penculik, Dipecat dari TNI, Gallery of Rogues Kebangkitan Bad Guys, Organized Crime, Trouble Maker, Stop Prabowo Now!, Wowo Gagal Maning Gagal Maning, Anti Kristen, Anti Cina, Emosional, Ultra Nasionalis, Anti Investasi Asing, Politik Dagang Sapi, dst.   
  2. Calon nomor 2 dicela dan dicemooh dengan sebutan-sebutan: Jokoplak (Si Joko Koplak), Capres Boneka, Capres Pembohong, Ir. Herbertus Joko Widodo (Oey Hong Liong), Topeng Pencitraan, Busway Karatan, Antek Asing, Mafia Cina, Sang Pendusta, Partai Salib, Komunis, Antek Zionis, Jokowi Sinting, PDIP Penampung PKI, Jejak Hitam Megawati, Kacung Neolib, Revolusi Mental = Revolusi Komunis, Pendukung Syiah, Tidak Amanah, dst.
Begitu banyak hal-hal negatif yang mewarnai benak kita selama pelaksanaan kampanye pilpres 2014 yang masih membekas dalam yang menyebabkan terjadinya polarisasi politik yang tajam hingga ke masyarakat akar rumput. Meskipun belakangan Pemerintah dan sebagian masyarakat mengeluarkan himbauan-himbauan yang bernuansa damai demi persatuan bangsa, namun dalam analisa intelijen hal itu sudah mencapai titik yang sulit diperbaiki karena hakikatnya kita sebagai bangsa belum sungguh-sungguh dewasa dalam berdemokrasi. Meskipun saat ini suasana politik relatif lebih tenang, namun sesuai trias politika eksekutif, legislatif, dan yudikatif, kita akan melihat kelanjutan pertarungan yang akan terus diwarnai oleh polemik yang cenderung terpolarisasi sehingga akan sulit dan jarang kita mendengarkan pendapat yang obyektif. Sungguh sayang seribu sayang dimana para pengamat politik kita juga sudah jelas terpolarisasi ke dalam simpati-simpati politik yang seharusnya tidak perlu terjadi karena tugas pengamat adalah meletakan persoalan pada tempatnya dan menganalisanya secara obyektif.

Jaringan Intelijen Indonesia sudah memetakan secara lengkap polarisasi politik yang terjadi di negeri ini guna memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Secara bertahap pun telah bertemu dan berbicara dengan beberapa pengamat yang masih dapat bersikap obyektif dan melalui tulisan ini menghimbau seluruh pengamat politik yang sering muncul di TV maupun media lainnya untuk berkaca dan menempatkan diri pada sisi yang sungguh-sungguh imparsial dan tidak memihak dengan komentar-komentar yang menyesatkan publik. Minimal hindari sikap "menyerang" atau menuding pihak tertentu dengan pandangan tertentu, tetapi mulailah berupaya memberikan pemahaman-pemahaman yang lebih akademis dan logis yang akan mencerdaskan masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia tidak membutuhkan pandangan-pandangan yang semakin memperkeruh suasana dan memperdalam "permusuhan" yang berlandaskan pada perbedaan politik.

Sekarang saya akan mengungkapkan dampaknya kepada dunia intelijen. 

Kewaspadaan
Jaringan Intelijen Indonesia yang secara mantap telah lama masuk ke dalam lingkaran pertama kubu Jokowi dan Prabowo jelas memiliki peta yang lengkap tentang berbagai situasi yang terjadi. Namun sebagai tanggung jawab moral, kami tidak akan mengungkapkan secara detail betapa kedua kubu melakukan berbagai kekeliruan atau blunder politik dengan terlibatnya "ASING" di kedua kubu. Apa yang terjadi di Washington DC terkait politik nasional Indonesia yang dilakukan kedua kubu tercatat lengkap dalam jaringan Intelijen Indonesia. 

Meskipun Blog Intelijen Indonesia pernah mengungkapkan bahwa AS tidak terlibat dalam upaya mempengaruhi jalannya pilpres 2014, namun tidak menutup kemungkinan bahwa secara taktis dan strategis telah mempengaruhi melalui tim konsultan maupun individu yang memberikan dukungan kepada kedua kubu. Kemudian jangan lupa pula bahwa China telah menjadi negara besar yang mulai bersikap seperti AS dengan pengaruh-pengaruh yang akan menguntungkan China. Namun lagi-lagi kami tidak dalam posisi memperkeruh keadaan dengan pengungkapan yang tidak perlu karena toh hal itu akan terlalu dalam dan berlapis-lapis yang niscaya akan menghabiskan waktu kita.

Intinya Intelijen Indonesia menghimbau kepada Koalisi Indonesia Hebat maupun Koalisi Merah Putih untuk tetap waspada terhadap anggota-anggota anda yang mengambil keuntungan dari situasi politik dan digerakkan oleh kepentingan asing.

Internal Intelijen Sipil dan TNI
Perpecahan yang cukup tajam juga terjadi dalam tubuh intelijen sipil (BIN) dan TNI baik BAIS maupun Detasemen Intelijen di berbagai daerah. Meskipun pimpinan tertinggi di BIN maupun TNI secara tegas telah memerintahkan sikap NETRAL, namun tidak terhindarkan terjadinya simpati-simpati individual maupun kelompok yang menyebabkan laporan intelijen menjadi kurang obyektif. Apabila tulisan dibaca oleh pimpinan intelijen maupun TNI sudah pasti akan dibantah karena tidak kondusif bagi keutuhan lembaga, namun demi perbaikan kami ingin menegaskan pentingnya profesionalisme dan netralitas murni intelijen yang idealnya tidak mengurusi politik kecuali pada aspek keamanan nasional dan keutuhan dan keselamatan bangsa Indonesia.

Kelompok perwira tinggi yang melihat Presiden SBY sebagai kapal yang sebentar lagi karam bukanlah pandangan yang dimiliki segelintir orang, melainkan juga dirasakan oleh banyak perwira tinggi. Kemudian pandangan yang melihat Jokowi maupun Prabowo sebagai figur pimpinan nasional yang dapat menguntungkan kelompok intelijen tertentu juga merupakan kewajaran sebagai suatu pertarungan kekuasaan. Bahwa sekarang Jokowi dan JK telah ditetapkan sebagai Presiden dan Wapres terpilih tentunya dapat membuat para simpatisannya di dunia intelijen melihatnya sebagai "kesempatan" emas. Namun perlu disadari bahwa pertarungan politik tampaknya belum akan reda dan bahkan berpotensi untuk semakin tajam manakala terjadi suatu kondisi politik atau kebijakan kontroversial yang kembali memicu terjadinya kemacetan politik yang berdampak luas kepada pembangunan. Selain itu, simpatisan Prabowo juga tentunya tidak akan mengundurkan diri dari dunia intelijen dan akan tetap bersikap kritis terhadap setiap gerak langkah pemerintahan Jokowi nantinya.

Sehingga pimpinan intelijen perlu untuk mempersatukan insan intelijen ke dalam semangat nasionalisme Indonesia yang berpihak kepada rakyat dan bukan kepada kekuatan politik yang akan terus bertarung selama lima tahun ke depan.

Bagi jaringan Intelijen Indonesia bahwa ada simpati-simpati individual insan intelijen adalah manusiawi, yang penting tidak sampai melangkah jauh menjadi dukungan operasi intelijen untuk politik kekuasaan sebagaimana biasa terjadi di masa lalu terjadi yang menimpa sejumlah politisi atau aktivis yang dianggap sebagai musuh Pemerintah. Intelijen bukan alat kekuasaan! Intelijen adalah alat negara di bidang intelijen dengan menyediakan informasi dan analisa intelijen yang akurat dan cepat khususnya terkait dengan isu-isu strategis yang mengancam perjalanan bangsa dan negara Indonesia.

Masa Depan
Perlu segera dipikirkan untuk memastikan bahwa Intelijen tidak terlibat dalam politik dalam arti dukungan kepada kandidat Presiden/Wapres maupun kepada Partai Politik. Hal ini harus segera diatur dalam UU Intelijen yang memerlukan banyak revisi karena ruang lingkup kegiatan intelijen yang terlalu luas. Selain itu, hal lain yang juga sangat penting adalah perbaikan sumber daya intelijen yang seharusnya menjadi tempat cerdik cendekia dengan pendidikan yang tinggi dan sikap profesional. Bahwa dunia intelijen terkena dampak kisruh politik nasional adalah karena sumber daya manusia yang sangat rendah dan sikap kurang profesional yang menyebabkan kinerjanya menjadi tergantung pada upaya mencari kesempatan dari pada bekerja secara tekun dan meningkatkan kapabilitas dirinya.

Demikian, sekiranya ada yang kurang berkenan mohon maaf kepada seluruh Insan Intelijen resmi yang tulus bertugas untuk rakyat Indonesia 

Senopati Wirang

  


Komentar

Postingan Populer