Mengapa Amerika Serikat "Merestui" Serangan Brutal Israel di Jalur Gaza?

Semoga artikel ini dapat dipahami oleh semua pihak termasuk yang mengawasi Blog I-I di Amerika Serikat (AS). Tidak ada maksud lain selain pembelajaran bagi sahabat Blog I-I, bagi bangsa Indonesia dan bagi mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam untuk dapat memahami sikap AS. Blog I-I selalu berupaya untuk obyektif dan menghindari penggunaan jargon atau label yang akan memperdalam kebencian, memperkuat sikap bermusuhan yang disebabkan oleh tidak adanya rasa saling percaya diantara para pihak yang bertikai. Namun demikian, untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana dinamika "permusuhan" yang telah berlangsung ribuan tahun antara bangsa Arab dan bangsa Yahudi, maka tidak akan terelakkan penggunaan istilah-istilah yang telah berkembang umum namun memiliki konotasi tertentu yang negatif. Sebelum membaca artikel ini, sedikit catatan statistik yang perlu juga sahabat-sahabat Blog I-I ketahui bahwa saat ini (12 jam terakhir) kunjungan terbesar Blog I-I berasal dari :
  1. Indonesia
  2. AS
  3. Israel
  4. Singapura
  5. Anonymous Proxy
  6. Jepang
  7. Irlandia
  8. Belanda
  9. Inggris 
  10. Arab Saudi


Amerika Serikat (AS)

AS sebagai negara terkuat saat ini baik dari sisi ekonomi, politik, dan militer sesungguhnya memiliki banyak persoalan yang ditimbulkan dari politik luar negerinya. Meskipun persoalan yang ditimbulkan dari politik luar negeri AS belum dapat dikatakan mengancam keamanan dalam negeri AS, namun tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Keterlibatan AS dalam berbagai konflik di dunia sering dipandang sebagai suatu "kepedulian" atau "tanggung jawab moral" dari negara besar. Dalam beberapa kasus, AS datang sendiri tanpa diundang dan melakukan intervensi militer tanpa restu PBB dalam rangka menyelesaikan suatu konflik, misalnya dalam kasus perang Afghanistan dan Irak. Dalam kasus lain, AS ikut berpartisipasi secara militer dibawah mandat PBB setelah suatu kasus sedemikian parahnya menghancurkan suatu bangsa seperti dalam kasus Bosnia Herzegovina. Dalam kasus Kuwait, AS diundang dan membantu pembebasan Kuwait dari Invasi Irak. Kemudian dalam kasus perang Libya, AS akhirnya juga terlibat setelah negara-negara Eropa memintanya dan juga karena adanya kepentingan ekonomi. Namun dalam kasus Suriah, AS tidak mampu memberikan respon atas nama kemanusiaan karena kepentingan AS lebih kecil dari pada resiko yang akan ditempuh apabila terlibat dalam konflik Suriah. Singkat kata, semua keterlibatan AS tidak ada yang gratis, artinya pasti ada suatu kepentingan baik yang bersifat geopolitik dan ekonomi seperti (Afghanistan dan Irak) atau kepentingan ekonomi seperti Libya.

Mengapa kebijakan politik dan keamanan AS boleh dikatakan jauh dari idealisme suatu negara besar yang bersahaja? Hal ini sebenarnya sederhana, yakni betapapun besarnya suatu negara pada akhirnya hanya ditentukan oleh segelintir tokoh kunci yang memegang kekuasaan baik secara politik, ekonomi, maupun militer. Lahir sebagai negara baru yang merefleksikan progres lanjutan dari sistem yang dibangun di Eropa, AS merupakan suatu kebudayaan baru yang dijiwai oleh semangat kebebasan yang memiliki dasar budaya Eropa, pengembangan ajaran Kristen termasuk perlindungan terhadap keyakinan yang berbeda, dan lahirnya agama (keyakinan) baru yang terorganisir dengan keimanan kepada Tuhan (God) yang mencampuradukan ajaran kuno dari peradaban Mesir kuno dan Kristen dalam bentuk Freemasonry. Disamping itu, kebebasan yang melandasi budaya AS juga mendorong berbagai perkembangan yang khas AS yakni penghargaan yang sangat tinggi terhadap keunikan individu. Kebebasan individu yang menjadi dasar hubungan sosial dengan saling menghormati dan perlindungan hukum yang jelas, mendorong banyak kemajuan karena masing-masing individu yang hidup di AS dapat mengupayakan dirinya mencapai kebahagiaan sesuai kemauannya. Dapat dikatakan bahwa AS sungguh sebagai negara yang bebas namun tetap dikontrol oleh elit-elit politik melalui perangkat hukum yang tegas. Perangkat hukum yang berevolusi dari tahun ke tahun yang mana AS 100 tahun yang lalu sangat berbeda dengan AS sekarang. Penemuan dan Inovasi di berbagai bidang (sains dan teknologi, ilmu sosial, hukum, dan ekonomi, dll) adalah kunci dalam keberhasilan AS mencapai posisinya saat ini melampaui negara-negara Eropa.      

Meskipun AS sejak kemerdekaannya telah menggarisbawahi pentingnya kebebasan individu, namun AS pada awalnya masih diwarnai perbedaan, maraknya rasisme dan konflik kepentingan diantara elit-elit politik dan militernya yang kemudian berpuncak pada perang saudara.
Bahkan sistem politik AS baru dapat dikatakan berubah seperti suatu negara demokrasi modern pada era paska Perang Dunia II, khususnya di tahun 1960-an dan 1970-an, dimana hak-hak warga negara AS baru mulai benar-benar sama di mata hukum dan dilaksanakan. Proses itupun berlangsung dalam prasangka-prasangka yang masih tinggi, khususnya dalam hal perbedaan antara warga kulit putih dan kulit berwarna. Proses tersebut berlanjut dan persamaan hak warga negara kemudian menjadi identitas nasional AS sebagaimana kita lihat secara politik saat ini dengan sosok Presiden Barack Obama. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada tahun 1960-an.

Kembali pada soal kebijakan, justru faktor kebebasan individu inilah yang kemudian mewarnai perpolitikan AS. Mengapa demikian? karena masing-masing individu bebas dalam upayanya mencapai kebahagiaan sepanjang tidak melanggar hukum, maka perdebatan intelektual yang dilandasi oleh kepentingan individu menjadi dominan. Artinya siapapun warga AS yang mampu beragumentasi dengan baik dan meyakinkan pihak lain akan dapat menempuh rencananya dan mewujudkannya sebagai mimpi Amerika. Sehingga tidak mengherankan apabila AS menjadi tempat terbanyak lembaga think tank, menjadi tempat riset berbagai teknologi baik yang berbasis akademik maupun bisnis, dan juga menjadi pusat lobby. Karena siapapun bebas menyampaikan pendapatnya, argumentasinya guna meyakinkan elit-elit politik dan orang-orang berpengaruh di AS. Dari sinilah politik AS terbangun dalam kerangka strategi nasional yang berdasarkan pada masukan dari berbagai pihak "yang dipercaya" dan dapat meyakinkan bahwa pilihan kebijakan AS sudah tepat dengan kalkulasi resikonya.

Restu AS Terhadap Serangan Brutal Israel ke Gaza
Mari kita perhatikan mengapa Jurubicara Gedung Putih, Josh Earnest pada 8 Juli 2014 mengutuk serangan roket HAMAS ke Israel dan Israel berhak melindungi dirinya dari serangan tersebut (The Hill). Secara logika apa yang disampaikan Gedung Putih ada benarnya bahwa serangan roket sayap militer HAMAS ke wilayah Israel tidak dapat dibenarkan, dan hal ini telah menyebabkan Israel melakukan serangan udara ke wilayah Gaza dimana sayap militer HAMAS berada. AS secara tegas menyalahkan HAMAS atas tindakan provokatif menyerang Israel dengan roket dan menyatakan akan mengupayakan mediasi dengan kembali kepada gencatan senjata November 2012. 

Mengapa AS bersikap demikian?
Hal pertama yang perlu sahabat Blog I-I ketahui adalah bahwa HAMAS di mata AS adalah organisasi TERORIS sebagaimana secara resmi tercatat dalam Foreign Terrorist Organizations (FTO) yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri AS (Secretary of State) sebagaimana sahabat Blog I-I dapat baca di website Kemenlu AS. Mengapa AS memasukan HAMAS sebagai organisasi teroris, tentunya kita harus secara teliti membaca setiap detail laporan tentang HAMAS dan konflik yang terjadi di Palestina. Kita juga harus paham bahwa organisasi pembebasan yang memperjuangkan hak-hak kemerdekaan (freedom fighter) bagi suatu bangsa dapat dilihat sebagai organisasi teroris oleh bangsa lain. Sebagaimana juga bangsa Indonesia ketika memperjuangkan kemerdekaan dari Belanda. Mengapa AS dapat begitu yakin bahwa HAMAS adalah organisasi teroris tentunya tidak terlepas dari laporan-laporan intelijen Israel, laporan intelijen AS sendiri, laporan Kemenlu AS, analisa-analisa yang dikeluarkan lembaga Think Tank, serta masukan dari organisasi lobby yang bermarkas di Washington DC. Presiden Barack Obama maupun juru bicara gedung putih hanya menyampaikan kesimpulan dari keseluruhan proses arus informasi yang sampai ke Gedung Putih yang kemudian dipublikasikan dalam kepada media sebagai sikap politik AS. 

Jangan pernah bermimpi untuk dapat mempengaruhi sikap Pemerintah AS selama umat Islam belum memiliki saluran yang baik. Juga jangan terlalu cepat menghakimi AS sebagai negara pro-Israel karena sesungguhnya banyak pula politisi dan warga negara AS yang bersimpati kepada Palestina, namun tidak dapat bersuara lebih keras karena kekalahan berargumentasi dengan kelompok-kelompok pro-Israel. Ini juga suatu kekalahan propaganda di AS dimana tewasnya 3 serdadu Israel akibat serangan HAMAS seolah-olah dapat dibalas dengan tewasnya ratusan penduduk sipil Palestina yang tinggal di Gaza.

Mungkin juga kita tidak perlu bermimpi untuk mempengaruhi AS, karena yang benar akan tetap benar dan yang salah akan mendapatkan ganjaran baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Tetapi bukankah untuk urusan dunia kita diberikan ruang dan kesempatan untuk mengaktifkan akal pikiran kita dalam membela kebenaran. Bahwa kita gagal atau berhasil itu sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, namun yang belum dilakukan oleh umat Islam, khususnya di Indonesia adalah memahami konteks persoalan dan mengerti tentang strategi dalam mencapai kemenangan.

Hal kedua yang mendorong sikap AS yang cenderung membela Israel adalah fakta pengaruh lobby Israel dan banyaknya tokoh-tokoh keturunan Yahudi yang menduduki posisi kunci di AS yang menyebabkan perpolitikan AS tersandera oleh kepentingan Israel. Hal ini secara serius dimaksimalkan oleh Israel untuk sebesar-besarnya kepentingan Israel yang memanfaatkan sumber daya AS. Betapapun AS sebagai negara berupaya bersikap adil dalam konflik Palestina - Israel, hal ini akan sulit diwujudkan karena kedekatan AS dengan Israel akan selalu menggelincirkan AS secara sangat halus menjadi berpihak kepada kepentingan AS. 

Hal ketiga adalah bahwa sangat sulit bagi mereka yang hidup dan dididik dengan budaya AS didominasi oleh halusinasi kebahagiaan duniawi untuk memahami keyakinan umat Islam maupun keyakinan umat Yahudi. Terdapat kalkulasi mistik tentang kehancuran Israel Raya di kalangan umat Islam sebagai janji Tuhan karena kesombongan umat Yahudi. Sebaliknya ada juga keyakinan mistik umat Yahudi bahwa merupakan kewajiban bagi mereka untuk membangun kembali Kuil Nabi Sulaiman untuk mencegah kehancuran Israel di muka bumi. Keyakinan-keyakinan yang berlandaskan pada keimanan tersebut menyebabkan orang-orang Israel yang taat akan terus-menerus berdo'a kepada Tuhannya dan menjadikan patriotisme Israel sebagai bagian dari kewajiban agama. Sementara itu, umat Muslim pada umumnya yang melihat dunia sebagai persinggahan sementara tidak terlalu bersusah payah mencapai kebahagiaan duniawi yang semu sehingga konsep jihad menjadi logis dalam menjalani kehidupan di dunia.

Berdasarkan pengamatan saya terhadap bangsa AS, mayoritas lebih peduli kepada kepentingan masing-masing individu dan segala sesuatunya sering diukur dalam ukuran duniawi yang sempit misalnya dengan untung dan rugi baik secara materiil maupun moril. Sikap yang dominan ini menyebabkan, orang AS sulit memahami kosmologi agama Islam maupun Yahudi karena hidup adalah sekarang dan bagaimana mewujudkan kebahagiaan pada saat hidup. Dalam rangka menjamin "kebahagiaan" bagi warga AS, maka konsentrasi elit-elit politik di AS adalah memfasilitasi tercapainya kebahagiaan tersebut melalui penyediaan berbagai hal yang menjadi kepentingan publik, sehingga tidak mengherankan apabila pelayanan publik di AS sangat baik. Namun demikian, ketika menghadapi konflik, AS akan kembali pada posisi klasik strategi yaitu untuk kepentingan AS dan sekutunya serta bagaimana memenangkan suatu konflik. Dalam kaitan ini, Israel adalah sekutu setia AS di Timur Tengah, sehingga tidak mungkin bagi bangsa Arab mengharapkan adanya keadilan di Palestina dari peran AS. Namun negara-negara Arab juga tidak berdaya karena hanya AS yang dapat "sedikit" mengerem atau menghentikan aksi-aksi brutal AS.

Hal keempat adalah kalkulasi geopolitik, dimana eksistensi Israel di Timur Tengah harus dijaga oleh AS dan sekutunya karena posisi strategis guna menyikapi dinamika keamanan di kawasan Timur Tengah. Apabila diperhatikan baik-baik, maka posisi pasukan AS di Afghanistan, Irak dan adanya sekutu Israel membuat AS mudah menguasai geopolitik kawasan Timur Tengah. Untuk apa? Pada era Perang Dingin tentunya berhadapan dengan Blok Uni Soviet dimana sejumlah negara di Timur Tengah memiliki hubungan khusus dengan Uni Soviet dimasa lalu. Untuk saat ini, hanya dalam kasus Suriah, AS harus memperhitungkan faktor Rusia dan China. Sementara dalam kasus Palestina - Israel, AS lebih bebas bermanuver dengan memperhitungan keprihatinan dunia Arab dan negara-negara berpenduduk Muslim di dunia seperti Indonesia dan Malaysia. Penjagaan eksistensi Israel di Timur Tengah bukan saja dalam rangka kontrol keamanan di kawasan Timur Tengah, melainkan juga sebagai base atau proxy dalam mengendalikan konflik kawasan yang disebabkan oleh latar belakang sejarah dan kompleksitas perhitungan strategis karena faktor Iran dan Arab Saudi. Dengan hancurnya Irak, maka telah terjadi perluasan pengaruh Iran di kawasan khususnya dalam mendorong peningkatan pengaruh kaum Shiah. Namun hancurnya Irak juga telah melahirkan suatu fenomena kekuatan politik dan militer yang mengatasnamakan khalifah sebagaimana dilakukan oleh kelompok Daulah Negara Islam di Irak dan Sham (ISIS) dan kelompok yang berafiliasi kepada Al Qaeda. Kompleksitas masalah di Timur Tengah bisa jadi merupakan strategi yang bertujuan menghambat kemajuan negara-negara di Timur Tengah, namun bisa juga murni merupakan dampak dari ketidakmampuan para pihak yang berkonflik mencari terobosan jalan keluar.

Demikian semoga bermanfaat.
Senopati Wirang

Komentar

Postingan Populer