Utang Indonesia: Perdebatan di Kompasiana (Belajar Propaganda)
Nufransa Wira Sakti VS Edy Mulyadi |
Sebelum membaca artikel ini perlu disadari bahwa saya tidak bermaksud melakukan argumentum ad hominem (argumentasi yang diarahkan kepada seseorang) yang berarti sebuah kesesatan logika karena menjauh dari ide-ide orang tersebut. Artikel ini merupakan kritik kepada kecenderungan umum yang sering terjadi dalam penulisan opini di media massa yang cenderung negatif, provokatif dan jauh dari etika dan edukasi publik. Pelajaran bagi publik / masyarakat umum adalah perlunya membaca secara kritis serta himbauan agar penggiat opini publik lebih mengedepankan obyektifitas dan bertanggung jawab terhadap dampak negatif dari tulisan yang subyektif dan provokatif. Pelajaran bagi komunitas intelijen adalah terkait dengan analisa propaganda dan kontra propaganda.
Selamat membaca......
Pada 4 September 2017, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS), Edy Mulyadi (EM) menulis artikel yang menarik berjudul Harta Cuma Rp2.188 Triliun, Utang Rp3.780 Triliun. Artikel tersebut menjadi menarik disimak karena serangan verbal kepada Kementerian Keuangan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) dengan sebutan-sebutan yang tidak relevan dengan konteks pembahasan masalah utang Indonesia. Beberapa catatan penting dari tulisan Sdr. EM yang mengaku sebagai Jurnalis, Media Trainer, Konsultan dan Praktisi PR tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, penulis Sdr. EM meninggikan diri dengan menanggalkan sebutan yang lebih sopan kepada seorang Menteri, diantaranya dengan menggunakan kata "sampeyan" sebuah sebutan dalam bahasa Jawa ngoko yang lebih kasar dari jenengan. Dari pilihan kata tersebut jelas tampak upaya penulis untuk merendahkan. Meskipun hal ini dapat diperdebatkan antara penghormatan vs egalitarianisme, namun niatan seseorang akan jelas tampak dari penyebutan. Hal ini berbeda misalnya dalam membandingkan tradisi bahasa Jawa di Solo dan Yogya yang ketat unggah-ungguhnya dengan tradisi Banyumasan yang egaliter. Bahasa adalah rasa dan cita rasa dari para penggunanya. Setidaknya bila penulis masih memiliki rasa hormat minimal akan menuliskan dengan sebutan nama saja seperti model penulisan akademis di Barat, menuliskan dengan sebutan Ibu, dengan jabatan Menteri, atau singkatnya Menkeu, dimana semua itu netral dari rasa atau cita rasa penulis dalam menyebutkan seseorang yang diserang secara verbal dalam tulisannya. Sekali lagi perlu dicatat bahwa tulisan adalah cermin dari pikiran dan hati penulisnya. Boleh jadi penggunaan sebutan sampeyan yang berarti kamu tersebut adalah spontan mengalir tanpa tendensi apa-apa.
Kedua, terjadi serangan terhadap kredibilitas SMI dengan kalimat "Mosok doktor ekonomi jebolan universitas bergengsi luar negeri seperti anda tidak paham hitung-hitungan amat sederhana ini?". Sepintas kalimat tersebut biasa saja berupa pertanyaan apakah anda tidak paham hitung-hitungan yang amat sederhana ini? Konteks kritik atau analisa utang luar negeri tidak ada kaitan dengan sisi personal seseorang dan seharusnya fokus pada substansi dan data statistik. Seolah penulis EM ingin mengatakan kepada para pembacanya bahwa dirinya pintar dan mempertanyakan kedoktoran SMI dari universitas di luar negeri. Hal ini merupakan tipikal artikel propaganda yang berupaya meyakinkan pembaca dengan kata-kata atau kalimat yang sekali lagi merendahkan pihak yang diserang secara personal di luar konteks atau substansi bahasan. Dalam ilmu propaganda intelijen, teknik menulis seperi ini disebut personal attack yang menggiring logika publik ke dalam kesesatan berpikir sehingga ketika membaca keseluruhan artikel mengalami proses penggiringan opini untuk mempertanyakan kredibilitas pihak yang diserang.
Ketiga, menggunakan referensi refleksi keagamaan yakni dalam kalimat Na'udzu billahi mindzalik (kami berlindung kepada Allah dari hal demikian)! untuk mendukung argumentasi dan logika berpikir penulis Sdr. EM yang mempertanyakan kalkulasi nilai asset negara vs nilai utang yang dilengkapi dengan sejumlah sudut pandang tentang nasib sejumlah stakeholders (birokrat, petani, rakyat) menghadapi resiko utang. Konteks penggunaan Na'udzu billahi mindzalik dalam artikel Sdr. EM masih relevan bila dilihat dari sisi ungkapan memohon perlindungan Allah SWT dari bahaya atau mudharat sesuatu hal. Bagi umat Islam, ungkapan tersebut adalah wajar bahkan diperintahkan sebagaimana dalam QS Al Mu'min 56. Dalam pikiran penulis mungkin ada keyakinan bahwa logika dan kalkulasinya benar bahwa ancaman dari utang akan menyesengsarakan rakyat Indonesia. Namun bila diperhatikan kalimat-kalimat sebelumnya, maka kita akan mendapati serangkaian pertanyaan-pertanyaan tanpa data faktual yang merupakan pengandaian dalam refleksi berpikir penulis. Sebagaimana kita sadari sebagai manusia yang dapat berpikir bahwa pengandaian suatu keadaan bukanlah realita apalagi tanpa data faktual, sehingga penggunaan kalimat Na'udzu billahi mindzalik menjadi tidak tepat karena penulis mengajak pembaca untuk berlindung dari keadaan-keadaan yang diimajinasikan oleh penulis sendiri. Bila anda bukan intel analis terlatih atau bukan pembaca kritis yang secara spontan berpikir ketika membaca, maka besar kemungkinan tanpa disadari akan mudah terbawa oleh emosi sebuah tulisan. Maka berhati-hatilah dan biasakan membaca secara kritis.
Keempat, pengulangan sebutan Ani atau Jeng Sri seolah biasa dan agak mirip dengan penanggalan rasa hormat dengan alih-alih keakraban mengandung makna yang berbeda, apalagi bila anda orang Jawa akan lebih paham lagi. Saya lebih melihatnya sebagai upaya penulis meninggikan dirinya sendiri.
Kelima, argumentasi tentang SDA dikuasai asing hampir tanpa data dan merupakan opini penulis yang secara bombastis mengeksploitasi emosi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak substanstif dan sesuai konteks. Misalnya pertanyaan kegilaan model apalagi yang dipertontonkan para pejabat publik kita. Meskipun demikian, saya akan tetap menyarankan bangsa Indonesia untuk selalu waspada dalam mencermati pengelolaan SDA kita sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk dapat melakukan pengawasan pengelolaan SDA tentunya kita harus semakin teliti dan mendorong transparansi pengelolaan SDA sehingga data-data yang kita baca menjadi faktual dan bukan prasangka atau perkiraan-perkiraaan.
Keenam, keprihatinan kepada Menkeu merupakan hal yang biasa saja sebagai sebuah kritik untuk Indonesia yang lebih baik. Namun ketika keprihatinan tersebut dituliskan dalam bentuk tuduhan Menkeu mengundang majikan asing untuk menguasai Indonesia maka hal itu jelas berlebihan. Ketika keprihatinan tersebut dituliskan dalam tuduhan berutang adalah suatu sikap tidak beradab dan egois juga jauh dari realita mengapa sebuah negara berutang. Ketika keprihatinan tersebut dituliskan dalam bentuk tuduhan bahwa Menkeu adalah tipikal pejabat yang malas dan tidak kreatif maka hal ini merupakan serangan personal yang bahkan semakin jauh dari konteks artikel.
Ketujuh, analogi Menkeu dengan Marie Antoinette merupakan kesesatan berpikir yang paling kasar dalam tulisan Sdr. EM. Sebagaimana kita ketahui dalam catatan sejarah, bahwa hukuman mati terhadap Marie Antoinette disebabkan oleh tiga kesalahan besar yakni menyusutnya kekayaan nasional Kerajaan Perancis, konspirasi yang menyebabkan tidak stabilnya keamanan nasional Kerajaan Perancis, dan penghianatan terkait aktifitas intelijen untuk kepentingan asing. Apakah Sdr. EM ingin menggiring opini publik Indonesia bahwa keadaan nasional Indonesia sudah sangat berbahaya karena kebijakan-kebijakan finansial yang ditempuh Menkeu, ataukah ingin mengembangkan propaganda menyerang pribadi Menkeu tanpa data agar Pemerintahan Jokowi goyah?
Tanggapan Kemenkeu
Tentunya tidak adil apabila Blog I-I hanya menyoroti tulisan dari Sdr. EM. Oleh karena itu ada baiknya bila Blog I-I juga menyoroti tulisan dari Kepala Biro Humas Kemenkeu, Nufransa Wira Sakti (NWS). Berikut ini beberapa catatan Blog I-I atas tulisan Sdr. NWS:
Pertama, agak disayangkan bahwa meskipun Sdr. NWS jauh lebih etis dan obyektif dalam menyampaikan tanggapan terhadap tulisan Sdr. EM, namun masih terasa sedikit emosi yang menyerang balik pribadi Sdr. EM. Serangan tersebut secara umum hanya satu yakni ketidakpahaman Sdr. EM tentang ekonomi khususnya masalah neraca keuangan negara dan prinsip dasar akuntansi yang dilengkapi dengan himbauan agar Sdr. EM mau belajar lagi tentang keuangan publik dan neraca keuangan. Blog I-I setuju bahwa tulisan Sdr. EM sangat rendah kualitasnya dan boleh dikatakan tidak mencerminkan pemahaman tentang neraca keuangan negara. Sebagian besar tulisan Sdr. EM adalah serangan terhadap pribadi Menkeu SMI sebagaimana telah dibahas secara lengkap di atas. Sedikit emosi dalam tulisan Sdr. NWS dapat dipahami karena provokasi dan kekasaran tulisan Sdr. EM yang sebenarnya secara hukum sudah memenuhi kategori pencemaran nama baik Menkeu SMI sebagaimana tujuh poin yang diungkapkan Blog I-I.
Kedua, argumentasi #sadarAPBN sangat tepat dan langsung menyentuh titik persoalan yang dibahas oleh Sdr. EM. Dengan mengungkapkan data-data terkait nilai Barang Milik Negara (BMN) yang hanya salah satu dari jenis asset dalam neraca negara langsung menjawab pertanyaan Sdr. EM tentang keseimbangan nilai harta vs nilai utang. Kemudian nilai harta tersebut bila dikombinasikan antara pemerintah pusat dan daerah bahkan menjadi semakin besar. Hal ini sekaligus membantah bahwa nilai utang Indonesia lebih besar dari nilai harta yang dimiliki oleh Indonesia.
Ketiga, argumentasi utang yang diperbandingkan dengan potensi ke depan adalah logika mengapa kita secara individu, perusahaan atau bahkan negara berutang. Hal ini sangat mendasar dan menjadi pelajaran pertama setiap pemberi utang atau yang mengajukan utang, yakni kemampuan membayar. Bahkan dalam kredit mikro sekalipun ada perhitungan dasar untuk rasio pemberian utang, artinya seseorang yang berutang akan mampu membayar utangnya. Jangankan kredit di sektor produktif, untuk utang konsumtif saja seperti kartu kredit terdapat perhitungan minimal dimana utang konsumtif akan dapat ditutupi oleh penghasilan seseorang. Utang yang diajukan negara tentunya bukan untuk berfoya-foya para pejabat atau dikorupsi, melainkan untuk pembangunan dan investasi di berbagai bidang. Sehingga utang tersebut tidak tiba-tiba menjadi beban yang akan membangkrutkan negara dan menyengsarakan rakyat Indonesia.
Keempat, pejelasan tentang agunan yang dapat disita sudah sangat jelas.
Kelima, tentang pengelolaan utang secara prudent, rasio pembayaran bunga utang, rasio utang terhadap belanja, dan rasio beban bunga terhadap total utang outstanding juga sudah sangat jelas. Bahkan perbandingan Indonesia dengan sejumlah negara cukup melegakan dan menenangkan.
Keenam, patut diacungi jempol bahwa Sdr. NWS tidak terpancing untuk membahas hal-hal yang tidak substantif dalam konteks utang Indonesia. Tuduhan-tuduhan dan serangan secara personal kepada Menkeu SMI yang dilakukan Sdr. EM memang tidak perlu ditanggapi oleh Menkeu maupun Kemenkeu karena hal itu tampaknya merupakan tujuan dari propaganda hitam Sdr. EM. Tanggapan terkait serangan terhadap pribadi Menkeu sudah cukup merujuk kepada analisa Blog I-I ini.
Sekian semoga bermanfaat.
Salam Intelijen
Dharma Bhakti
Artikel Sdr. EM dicopy dari Kompasiana sebagai Bahan Pelajaran Propaganda Hitam
Harta Cuma Rp2.188 Triliun, Utang Rp3.780 Triliun
Oleh Edy Mulyadi*
Pemerintah Hitung Ulang Nilai Aset Negara untuk Jaminan Utang. Begitu judul satu media daring pekan silam. Berita yang mengutip Dirjen Kekayaan Negara Issa Rachmatarwata itu antara lain menyebutkan, penghitungan ulang (revaluasi aset) akan dilakukan atas 934.409 barang milik negara (BMN). Jumlah tersebut terdiri atas 108.000 bidang tanah, 391.000 jalan, irigasi dan jaringan, serta 434.000 gedung.
Pemerintah terakhir kali menghitung (BMN) 10 tahun lalu. Hasilnya, total nilai aset negara yang ada sebesar Rp229 triliun. Kemenkeu mencatat BMN yang telah diaudit sampai 2016 mencapai Rp2.188 triliun. Artinya, dalam 10 tahun terakhir terjadi kenaikan nilai BMN hampir 10 kali lipat. Harta itu tersebar di 87 Kementerian dan Lembaga (K/L).
Menyimak angka-angka ini, saya jadi teringat beberapa waktu silam Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) mengatakan kenapa takut utang? Harta kita banyak. Lewat pernyataan yang diajukan dalam bentuk kalimat tanya tadi, dia ingin menepis kekhawatiran banyak kalangan, bahwa Indonesia telah memasuki tahap darurat utang. Maklum, sampai akhir Juli 2017 saja, total utang kita mencapai US$283,72 miliar atau Rp3.780 triliun.
Sekarang, mari kita jejerkan dua angka tersebut. Pertama, nilai aset negara Rp2.188 triliun. Kedua, jumlah utang Indonesia yang Rp3.780 triliun. Sampai di sini, nalar saya mandek. Bagaimana mungkin seorang Menkeu bisa dengan enteng menyatakan tidak usah takut berutang karena harta kita banyak?
Masih tekor
Numpang tanya bu Menteri, harta kita yang mana yang sampeyan maksud? Yang nilainya Rp2.188 triliun itu? Lha, kalau begitu kita masih tekor, dong. Matematika sederhana menemukan, kalau berutang Rp3.780 triliun dengan mengandalkan harta yang cuma Rp2.188 triliun, artinya masih kurang Rp1.592 triliun. Mosok doktor ekonomi jebolan universitas bergengsi luar negeri seperti anda tidak paham hitung-hitungan amat sederhana ini?
Lagi pula, apa Ani, begitu Menkeu biasa disapa, benar-benar yakin bakal menjadikan BMN sebagai agunan berutang? Terus, bagaimana jika ratusan ribu aset negara tadi disita karena kita tidak becus membayar bunga, cicilan, dan pokok utang yang terus menjulang? Pada 2017 saja, APBN kita mengalokasikan anggaran Rp486 triliun hanya untuk membayar utang. Ini adalah porsi terbesar anggaran kita dalam APBN, jauh mengalahkan anggaran pendidikan yang Rp416 triliun dan infrastruktur yang 'cuma' Rp387 triliun.
Jumlah kewajiban kita terhadap utang tahun depan makin mengerikan saja. Bayangkan, di APBN 2018 dialokasikan Rp399,2 triliun untuk membayar pokok dan cicilan utang. Jumlah tiu diluar Rp247,6 triliun untuk membayar bunga utang. Total jenderal, untuk urusan utang ini Indonesia harus merogoh dalam-dalam hingga Rp646,8 triliun!
Bisakah bu Menteri membayangkan, bagaimana nasib birokrasi kita saat gedung-gedung tempat mereka bekerja tiba-tiba menjadi milik para kreditor? Haruskah mereka keluar dari gedung-gedung itu? Lalu, dimana mereka harus bekerja? Di pematang sawah dan di pinggir jalan yang juga sudah menjadi milik kreditor? Atau, mereka tetap bekerja di gedung yang sama tapi tiap bulan harus membayar sewa, membayar service fee, dan berbagai biaya lain?
Jangan lupa, Ditjen Kekayaan Negara menyebut, berbagai aset itu juga meliputi satusan ribu ruas jalan, saluran irigasi dan jaringan. Lalu, ketika semua itu pada akhirnya menjadi milik kreditor, bagaimana nasib para petani kita? Apakah mereka harus membayar tiap liter air yang mengairi sawah mereka hanya karena air itu melewati saluran irigasi milik kreditor? Lalu, haruskah rakyat membayar biaya untuk tiap ruas jalan yang mereka lalu, walau jalan itu adalah bukan tol? Na'udzu billahi mindzalik(kami berlindung kepada Allah dari hal demikian)!
SDA dikuasai asing
Atau, mungkin harta banyak yang dimaksud jeng Sri itu termaksud sumber daya alam (SDA) yang terkandung di dalam dan di atas permukaan bumi Pertiwi? Tidakkah Ani tahu, bahwa sebagian besar SDA kita sudah menjadi milik asing? Tidak percaya? Lihat bagaimana Freeport menjadikan kandungan emas dan hasil tambang lain di perut bumi Papua sebagai aset yang harus dibayar pemerintah jika ngotot mendivestasi saham mereka hingga 51%. Tidakkah ini aneh? Lha wong Papua itu bagian dari Indonesia? Mosok negara harus membayar barang miliknya sendiri kepada asing? Kegilaan model apalagi yang dipertontonkan para pejabat publik kita?
Masih soal SDA yang dikuasai asing, saya ingin mengingatkan Ani lagi. Bahwa, selama puluhan tahun pemanfaatan kekayaan alam kita hanya menganut prinsip, sedot dan jual. Disedot habis-habisan lalu diekspor dalam bentuk barang mentah. Nyaris tidak ada pengolahan di dalam negeri yang memberi nilai tambah.
Padahal, jika dikembangkan hilirisasi industri dengan sungguh-sungguh dan konsekwen, banyak sekali nilai tambah yang diperoleh. Dari sisi harga, barang jadi dan setengah jadi tentu jauh lebih mahal ketimbang barang mentah. Hilirisasi juga bakal membuka banyak tenaga kerja, menghasilkan aneka pajak, dan yang tidak kalah penting, community development yang amat bermanfaat bagi pendudukan sekitar.
Masih soal hilirisasi ini pula yang menjelaskan, mengapa tambang besar semacam Freeport emoh membangun smelter. Bahwa biaya membangun smelter mahal, memang iya. Tapi, jika selama ini mereka bisa mengangkut barang mentah langsung ke negerinya, kenapa sekarang harus diolah di Indonesia? Bukankah sudah lama terendus, bahan mentah hasil perut bumi Papua tidak menghasilkan emas, perak, dan tembaga semata? Kuat diduga juga ada uranium yang konon harganya 100 kali harga emas dan berbagai mineral berharga lainnya yang selama ini lolos dari pantauan Pemerintah.
Malas dan egois
Berangkat dari logika sederhana seperti ini, saya menjadi sama sekali tidak paham, apa saja yang memenuhi benak Menkeu kita terkait soal utang? Sebagai pembantu Presiden yang bertugas mengelola keuangan negara, kok bisa-bisanya dia sesumbar tidak perlu takut membuat utang baru karena Indonesia punya sumber daya salam yang berlimpah-ruah yang bisa digunakan untuk membayar utang.
Pernyataan seperti ini jelas-jelas amat memprihatinkan. Pertama, ini adalah proklamasi sekaligus undangan dari Menteri Keuangan kepada para majikan asingnya untuk masuk dan menguasai Indonesia dengan cengkeraman kuku yang lebih dalam.
Kedua, getol berutang dengan dalih SDA berlimpah adalah suatu sikap yang sangat tidak beradab dan egois. Ingat. SDA yang kini masih tersisa, bukanlah milik kita, melainkan amanat generasi penerus Indonesia kepada kita yang harus dijaga kelestariannya. Ia adalah anugrah Allah Yang Maha Pemurah untuk dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana yang menjadi amanat konstitusi.
Ketiga, pernyataan ini sekali lagi menunjukkan Ani adalah tipikal pejabat yang malas dan sama sekali tidak kreatif dalam menyelesaikan persoalan ekonomi. Modus dari para pejabat pejuang neolib adalah generik belaka. Potong anggaran, genjot pajak, jual BUMN, dan terus tambah utang baru. Titik! Perkara karena semua itu rakyat tidak mendapat apa-apa dan beban hidupnya jadi kian berat itu lain soal. DL- alias derita loe, kata anak-anak muda sekarang.
Akhirnya, saya benar-benar tidak bisa dan tidak berani membayangkan nasib Indonesia ke depan jika perkara ekonomi yang amat penting diserahkan kepada para menteri seperti Ani yang penganut neolib. Kalau Marie Antoinette si Madam Defisit itu membuat kekaisaran Perancis bubar, akankah Indonesia pun bakal tinggal nama kalau ekonomi terus berada dalam genggaman kaum neolib? Astaghfirullah...
(*) Jakarta, 4 September 2017 Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Tanggapan Sdr. Nufransa Wira Sakti
Darurat Utang?
(Menanggapi Edy Mulyadi)
Saya ingin menanggapi tulisan di Kompasiana yang berjudul "Harta Cuma Rp2.188 Triliun, Utang Rp3.780 Triliun". Tulisan ini dibuat oleh Edy Mulyadi, seorang jurnalis yang juga mengaku sebagai Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS).
Pertama, judul tulisan Sdr Edy Mulyadi adalah salah besar, menyesatkan dan menandakan pemahaman minimal dari ybs mengenai persoalan neraca keuangan, dan bahkan ketidakpahaman prinsip akuntasi yang sangat dasar. Seorang direktur program untuk studi demokrasi dan ekonomi (CEDes) yang tidak paham neraca dan akuntansi tentu perlu dipertanyakan kualitas studi dari lembaganya.
Mari kita jelaskan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman Sdr Edy Mulyadi, yang diharapkan juga dapat bermanfaat bagi para pembaca lain. Karena seperti yang selalu diingatkan Menkeu Sri Mulyani, APBN adalah milik rakyat, sadar dan paham APBN adalah penting bagi peningkatan kualitas demokrasi dan akuntabilitas publik. Tulisan yang menyesatkan adalah cara tidak terpuji untuk memperburuk kualitas demokrasi negara kita.
Pernyataan bahwa jumlah harta negara kita (Rp2.188T) adalah lebih kecil dibandingkan utang (Rp3.780T) adalah salah besar. Jumlah harta yang dikutip oleh penulis adalah nilai Barang Milik Negara (BMN) yang sebesar Rp2.188 T. BMN adalah aset tetap yang merupakan salah satu jenis aset dalam Neraca Pemerintah. Nilai BMN tersebut dicatat dengan penilaian yang dilakukan pada tahun 2007, dengan demikian bila penilaian BMN diperbaharui dengan nilai saat ini, maka pasti nilainya jauh lebih besar. Oleh karena itu Pemerintah (Direktorat Jendral Kekayaan Negara) melaksanakan program
Revaluasi BMN untuk mendapatkan nilai terkini.
Jadi berapa nilai aset negara keseluruhan? Sdr Edy perlu melihat total aset dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2016. Dalam LKPP tersebut - aset atau "harta" negara -meminjam istilah Sdr Edy-- adalah sebesar Rp5.456,88.
Aset Pemerintah ini tidak hanya berupa Barang Milik Negara (BMN), namun meliputi Aset Lancar (seperti Kas, Piutang Jangka Pendek dan Persediaan), Investasi Jangka Panjang (seperti Penyertaan Modal Negara/PMN), Aset Tetap, Piutang Jangka Panjang, dan Aset Lainnya.
Perlu dipahami bahwa Aset sebesar Rp5.456,88 Triliun adalah aset yang dimiliki/dikuasai oleh Pemerintah Pusat saja. Nilai tersebut tidak termasuk aset yang dikuasai/dimiliki oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp2.259 Triliun.
Aset Pemerintah pusat diatas juga tidak termasuk kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh Negara ini. Jadi Pak Edy tidak perlu khawatir tentang nilai aset negara kita, yang nyata jauuuh lebih besar dari utang negara.
Hal lain yang menyesatkan dan menunjukkan tidak pahamnya Sdr Edy dalam pengelolaan keuangan dan tidak pahamnya prinsip akuntasi adalah membandingkan utang dengan aset, khususnya aset negara.
Utang yang merupakan kewajiban masa depan seharusnya diperbandingkan dengan potensi kedepan dari suatu negara dalam menghasilkan nilai tambah ekonomi yang digambarkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dan tingkat pertumbuhannya. Kewajiban pelunasan utang masa depan ditunjukkan oleh potensi menghasilkan pendapatan yaitu penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak termasuk dari pemanfaatan aset. Jika membandingkan utang dengan PDB, sampai dengan akhir 2016 rasio utang per PDB kita sebesar 28,3% yang masih jauh dari batas maksimum berdasarkan UU N0. 17 tahun 2013 tentang Keuangan Negara sebesar 60%. Dengan nilai PDB Indonesia sebesar Rp12.407 T dan pertumbuhan tiap tahun diatas 5 persen, maka ekonomi Indonesia mampu menutup lebih dari 3 kali lipat dari jumlah utang. Menkeu Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan DPR Komisi 11 menyatakan bahwa Pemerintah terus akan mengelola utang dengan hati-hati (prudent) dan menjaga penggunaan untuk hal produktif.
Utang yang dilakukan saat ini merupakan suatu keputusan investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terutama generasi mudanya , memperbaiki produktivitas dan daya saing Indonesia, sehingga negara mampu mewariskan aset-aset produktif, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa.
Dalam melakukan analisis tentang kemampuan pembayaran utang, sebaiknya juga tidak dilihat hanya dari sumber daya alam (SDA). Bila mengikuti logika itu, bagaimana dengan banyak negara-negar yang tidak memiliki sumber daya alam namun tetap mampu maju dan sejahtera dan tetap mampu membayar utangnya. Sumber daya alam yang dikuasai Pemerintah menghasilkan penerimaan negara (pajak dan bukan pajak seperti royalti). Penerimaan ini merupakan sebagian saja dari total penerimaan negara keseluruhan. Jadi membandingkan utang dengan penerimaan sumber daya alam saja adalah salah.
Pernyataan ybs tentang menjadikan BMN sebagai agunan utang yang sewaktu-waktu dapat disita jika Pemerintah mengalami gagal bayar, juga adalah salah besar. Hak pemanfaatan BMN yang dijadikan dasar transaksi/underlying oleh Pemerintah dalam rangka menerbitkan Sukuk (Surat Berharga Syariah Negara). Jadi bukan BMN-yang menjadi dasar jaminan pinjaman penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk). Hal inipun sudah dibahas mendetail dalam rapat dengan DPR dan ditetapkan prinsip Syariah melalui Dewan syariah dibawah MUI.
Utang pemerintah dikelola secara prudent untuk kesinambungan fiskal. Rasio pembayaran bunga utang terhadap total Pendapatan dan Hibah Indonesia pada tahun 2015 berada pada tingkat 9.9%, relatif lebih baik dibandingkan negara peers seperti Maroko (10.4%), Meksiko (11.4%), Filipina (13.8%), Mesir (23.9%), dan Brazil (34.0%).
Sementara dari sisi rasio terhadap belanja, pada periode yang sama, rasio beban utang Indonesia (8.3%) relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara peers seperti Maroko (9.0%), Meksiko (9.7%), Malaysia (11.3%), Filipina (16.7%), Mesir (24.3%), dan Brazil (33.2%).
Adapun dari sisi rasio beban bunga terhadap total utang outstanding, pada tahun 2015, capaian Indonesia (4.7%) tercatat lebih baik daripada Filipina (5.5%), Turki (6.6%), Meksiko (6.7%), Mesir (8.8%), dan Brazil (18.0%), namun sedikit lebih tinggi dibanding Maroko, Thailand, dan Malaysia.
Mudah-mudahan pak Edy tidak pusing membaca angka dan fakta yang disajikan, sekaligus juga bisa belajar sedikit mengenai keuangan publik dan membaca neraca keuangan, agar mampu meningkatkan kualitas studi ekonomi dan demokrasi di CEDes. Selamat belajar dan ikut mencerdaskan bangsa. #sadarAPBN.
Nufransa Wira Sakti
Kabiro Humas Kemenkeu
Komentar
Posting Komentar