I S I S: Sebuah Perspektif Obyektif
Seorang anggota ISIS membawa bendera ISIS (Sumber: Before It's News) |
Kita sering mendengar kata ISIS, membaca berita tentang ISIS, menonton berita TV terkait ISIS, namun bagaimana sebenarnya kita memahami ISIS?
Pemahaman yang tepat ISIS bukan saja penting untuk mencegah menguatnya simpatisan ISIS menjadi kekuatan nyata yang besar di Indonesia, melainkan juga untuk menurunkan sikap saling curiga dan ketegangan yang dipicu oleh perpecahan masyarakat dalam pilkada Jakarta serta dinamika konflik berdasarkan agama yang masih akan terasa sampai beberapa tahun ke depan khususnya menjelang memanasnya suhu politik di tahun 2019.
Apakah ISIS?
Jawaban singkat dan sederhana tentang ISIS adalah Islamic State in Iraq and Syria atau dalam singkatan lain disebut dengan Islamic State in Iraq and the Levant (ISIL). Dalam literatur Barat atau berita-berita di Barat kata the Levant lebih sering dipakai dari pada Syria karena fakta wilayah yang dikuasai kelompok ISIS dan cita-cita kelompok ISIS adalah wilayah mencakup Irak dan the Levant yang lebih luas dari Suriah.
The Levant yang merujuk kepada Levantines (Latin Kristen Katolik yang hidup dibawah kekuasaan Khalifah Ustmaniyah) mencakup wilayah yang saat ini kita kenal sebagai Suriah, Lebanon, Israel, Palestina, Yordania, dan Turki. Perhatikan gambar berikut ini:
Peta definisi the Levant (sumber wikipedia) |
- Warna hijau tua adalah negara dan wilayah di kawasan the Levant (Suriah, Lebanon, Israel, Yordania, Cyrpus, dan propinsi Hatay - Turki)
- Warna hijau muda adalah negara dan wilayah yang kadang juga dimasukan sebagai the Levant (Irak dan Sinai - Mesir)
- Warna hijau sangat muda adalah negara dan wilayah juga dimasukkan dalam wilayah the Levant (Yunani, Turki, dan Mesir)
Warna hitam adalah wilayah yang dikuasai secara fisik oleh ISIS, sedangkan warna merah adalah wilayah dimana ISIS sering melakukan serangan militer (Sumber: Institute for the Study of War) |
Memperhatikan fakta penguasaan wilayah secara fisik oleh ISIS yang tersebar dalam luas wilayah yang terbatas dan tersebar, sesungguhnya dapat diukur bahwa kekuatan nyata dari ISIS lebih tepat digambarkan sebagai gerakan gerilya pemberontak terhadap Pemerintah di Baghdad dan Damaskus. Selain itu, kekuata ISIS terbesar di Raqqa bahkan beberapa kali bergeser ke wilayah Deir ez-Zour, demikian juga wilayah Palmyra dan Mosul dimana antara ISIS dan tentara pemerintah Suriah dan Irak terjadi perebutan wilayah melalui pertempuran.
Bagaimana mungkin sebuah gerakan pemberontak yang masih belum stabil sebagai sebuah negara dengan wilayah yang secara utuh kuat dikuasai dengan nama ISIS atau ISIL memberikan efek yang begitu besar ke seluruh dunia termasuk Indonesia? Hal itu tidak lain tidak karena efek aksi kekerasan yang sangat atraktif dengan pemenggalan kepala atas nama hukum Islam, aksi-aksi teror di berbagai belahan dunia yang dinyatakan berafiliasi kepada ISIS atau terinsipirasi oleh ISIS, dan jangan lupa efek pemberitaan serta media sosial yang begitu masif tentang ISIS.
ISIS adalah kelompok yang bercita-cita mendirikan negara Islam dengan sistem Khilafah di wilayah Irak dan Suriah. Cikal bakal kelompok ISIS tersebut adalah Jemaah al-Tauhid wal-Jihad yang kemudian berubah nama menjadi Al Qaeda di Irak dan sekarang menjadi ISIS. Apapun namanya ISIS belum dapat dikatakan sebagai negara Islam atau sebuah Khilafah karena persyaratan dasar berupa penguasaan wilayah secara stabil belum terjadi, masih terjadi pertempuran-pertempuran dengan tentara Suriah dan Irak di wilayah-wilayah yang dikuasai ISIS. Benar bahwa ISIS telah secara efektif menguasai sebagian kecil wilayah yang tersebar di Suriah dan Irak, namun hal itu dapat terjadi karena fakta Suriah dan Irak dihantam oleh konflik sektarian bersenjata yang cukup lama dan Pemerintah Irak dan Suriah tidak dapat secara efektif menguasai keadaan dan mengembalikan stabilitas keamanannnya. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa ISIS adalah organisasi yang militeristik sejak lahirnya dan banyak didukung oleh mereka yang memiliki latar belakang militer yakni dari mantan tentara Irak dan tentara Suriah yang membelot atau tersingkirkan.
Sebagai Muslim, sebagai orang Indonesia kita harus lebih cerdas dan teliti dalam melihat fenomena ISIS yang merupakan kelompok kecil pemberontak bersenjata yang menjadi kuat karena faktor geopolitik dan permusuhan sektarianisme yang tajam di Suriah dan Irak. Dengan demikian, ISIS bukan Khilafah sebagaimana diklaim oleh ISIS maupun diberitakan oleh media massa. Menyatakan ISIS sebagai sebagai sebuah Khilafah adalah penghinaan yang sangat besar terhadap umat Islam di seluruh dunia. Karena dalam sejarah Islam sebuah Khilafah hingga era Ustmaniyah di Turki jelas-jelas memiliki kelengkapan identitas sebagai entitas politik yang besar lintas benua dan kuat secara militer, sosial, politik, dan ekonomi. Saya katakan ISIS menjadi kuat karena adanya faktor geopolitik dan sektarianisme adalah berdasarkan realita perebutan kekuasaan antara kelompok Sunni dan Syiah yang diperparah oleh kepentingan pengaruh Rusia, dan AS secara global dan Arab Saudi dan Iran secara regional.
Apakah ISIL?
Secara hakiki adalah sama dengan ISIS. Namun dalam teknik propaganda, penggunaan istilah ISIL memiliki efek yang lebih besar karena menciptakan ketakutan meluasnya kekuasaan ISIL yang mencakup wilayah the Levant yang merujuk kepada sejarah kelompok Kristen Katholik Latin yang hidup tersebar di wilayah kekuasaan Khalifah Utsmaniyah. Pesan propaganda yang ingin disampaikan dengan penggunaan istilah the Levant dari sisi ISIL adalah cita-cita memulihkan kekuasaan Khilafah Islam dalam bahasa Arab di wilayah Masyriqi, namun dari sisi Barat atau kepentingan kelompok yang anti Islam adalah membesar-besarkan kelompok ISIL tersebut seolah-olah menguasai secara efektif kawasan the Levant yang sangat luas. Padahal ISIL hanya kelompok jihad dengan kekerasan yang tercerai berai berpusat di Irak dan Suriah. Istilah the Levant juga membangkitkan semangat Levantisme melindungi keturunan kaum Levantines Kristen Katholik Latin yang hidup di kawasan dimana ISIL berada.
Geopolitik
Dalam berbagai analisa dan fakta yang terungkap, ISIS adalah anak haram Amerika Serikat sebagaimana dinyatakan oleh Julian Assange, penelitian Global Research, analisa Seumas Milne, analisa Tom Engelhardt, pernyataan Trump, dan berbagai pemberitaan lainnya dari yang obyektif sampai yang konspiratif. Kepentingan geopolitik global adalah dalam hal pengaruh AS di kawasan Timur Tengah yang berpotensi menurun karena peningkatan pengaruh Iran dan Rusia yang berada di belakang kelompok Syiah, sementara AS mau tidak mau mendukung kelompok Sunni dengan pentolan Arab Saudi. Hal ini tampak dalam kunjungan pertama Presiden Trump ke luar negeri baru-baru ini ke Arab Saudi. Selain itu, AS meskipun tahun ISIS dibiayai oleh Arab Saudi pada era Obama ternyata membiarkan atau bahkan berkonspirasi (baca: Hillary - ISIS). Geopolitik berupa perebutan pengaruh kekuasaan di kawasan, geoekonomi berupa perebutan ladang-ladang minyak adalah faktor yang lebih besar daripada radikalisme dan terorisme yang merupakan efek dari pederitaan dan kebencian yang lahir dari darah dan air mata penduduk di daerah konflik di Irak dan Suriah.
Psikologis
Bila anda adalah penduduk Mosul atau Raqqa, kecil kemungkinan anda tidak merasakan dampak konflik berdarah, di pihak manapun anda berada anda akan merasakan kepahitan dan penderitaan dari perang. Hal ini juga dirasakan oleh para migran yang berhijrah ke Eropa seperti Perancis, Inggris, Swedia, AS, dan lain sebagainya. Ketika mereka mendengar kabar kematian demi kematian dari saudara mereka, menyaksikan hancurnya kota lahir mereka, menyaksikan rusaknya kota asal leluhur mereka, tidaklah mengherankan apabila gejolak hatinya menjerumuskan ke dalam radikalisme dan aksi terorisme. Prosentase keterkaitan antara pelaku teror migran maupun keturunannya dan asal wilayah negara dimana terjadi konflik cukup tinggi. Artinya para teroris lahir dari pahitnya penderitaan konflik karena perang yang berkepanjangan membuat mereka berputus asa dan menempuh jalan singkat berbagi penderitaan dengan masyarakat yang hidup nyaman tentram dengan aksi terornya.
ISIS adalah sebuah entitas kelompok dan bukan cita-cita atau kata sifat
Kita bangsa Indonesia harus semakin cerdas dan tidak mudah dibohongi oleh propaganda-propaganda yang tidak jelas tentang ISIS. Harus kita yakini bersama bahwa ISIS adalah entitas kelompok jihad kekerasan yang terjado di Suriah dan Irak karena persoalan sektarian, perebutan kekuasaan, dan geopolitik yang menyebabkan terjadinya intervensi asing (Rusia, AS, Saudi Arabia, Turki dan Iran). ISIS bukan Khilafah Islam atau bahkan cita-cita mulia mendirikan negara Islam. Tidak tepat dan pantas bagi Muslim Indonesia untuk berbai'at kepada ISIS sebelum mengetahui hakikat keberadaan ISIS dari lahirnya dan karakter pemerintahannya. ISIS adalah fenomena yang tidak terhindarkan di dua negara yakni Irak dan Suriah yang tercabik-cabik akibat hilangnya kontrol kekuatan negara Irak paska hancurnya rezim Saddam Husein dan melemahnya rezim Al-Assad karena kebijakan keamanan yang represif terhadap warga negaranya sendiri.
ISIS juga bukan kata sifat yang menggambarkan gelombang semangat keIslaman dengan cita-cita Khilafahnya. Sehingga bila anda bersimpati kepada ISIS seolah anda semakin Islami, hal itu jelas jauh dari kenyataan.
Namun demikian, kita sebagai bangsa juga harus hati-hati dalam berwacana tentang ISIS. Kita cukup berhenti dalam fakta-fakta dan hentikan opini sesat yang dapat mendorong kita ke dalam jurang konflik sektarian. Beberapa opini sesat terkait ISIS adalah kebiasaan buruk melabelkan kelompok-kelompok Islam di Indonesia dengan ISIS. Benar bahwa terjadi fenomena berbai'at kepada ISIS dari sekelompok kecil Muslim Indonesia, bahkan diantara mereka ada yang ikut berhijrah ke wilayah konflik di Suriah dan Irak dan menjadi bagian dari ISIS. Kelompok ini sangat kecil dan jangan diperbesar dengan melabelkan organisasi-organisasi Islam atau tokoh Islam yang cenderung radikal namun belum menempuh jalan kekerasan dengan ISIS. Bahaya berwacana atas suatu isu yang kita belum paham betul adalah pada mewujudnya wacana itu menjadi kenyataan. Lebih dari itu, wacana-wacana yang keliru adalah bagaikan benih-benih konflik yang akan tumbuh subur bila kita sebarluaskan yang akhirnya menjadi kesalahpahaman yang massal. Disadari atau tidak, kita justru menuju kepada hal-hal yang tidak kehendaki.
Indonesia
Analisa-analisa atau peringatan bahwa Indonesia berpotensi mengalami situasi konflik seperti Irak dan Suriah jelas sangat kebablasan atau berlebihan. Faktor-faktor utama pembentuk konflik seperti di Irak dan Suriah sama sekali berbeda dengan di Indonesia. Satu-satunya faktor yang sama adalah keberadaan kelompok kecil yang radikal yang menempuh jalan kekerasan dengan aksi-aksi terornya. Sementara faktor geopolitik, faktor kepentingan asing, faktor konflik Sunni-Syiah, faktor perpecahan militer karena pembelotan, geografis komposisi dan konsentrasi penduduk (Sunni-Syiah), serta kerasnya karakter budaya konflik dalam konteks Indonesia dapat dikatakan tidak ada atau sangat lemah. Meskipun hanya faktor keberadaan kelompok kecil radikal, bukan berarti dapat diabaikan karena bila pemerintah salah mengambil kebijakan. Kelompok kecil tersebut dapat menjadi besar karena mereka yang baru radikal dalam wacana ditekan untuk menjadi radikal secara hakikat dan fisik sebagaimana kebijakan yang pernah ditempuh era Orde Baru yang memarjinalkan kelompok-kelompok Islam atas anti-Pancasila dan terkena UU Subversi.
Daripada menakut-nakuti masyarakat dengan potensi perang seperti di Suriah dan Irak, apakah tidak lebih baik apabila kita yakin percaya diri dengan karakter bangsa kita luhur bahwa situasi dan kondisi di Irak dan Suriah dapat kita cegah dengan mudah. Mengapa kita menjadi sedemikian lebay dan lemah seolah ISIS ada dimana-mana menjadi ancaman serius? Mengapa kita tidak secara masif menyadarkan masyarakat bahwa klaim ISIS sebagai Khilafah adalah penghinaan yang nyata terhadap umat Islam di seluruh dunia? ISIS tidak pantas menjadi inspirasi dalam perjuangan umat Islam, namun demikian ISIS merupakan fenomena wajar untuk survive dari kaum Sunni di Irak dan Suriah yang mengalami represi kekerasan dari pemerintah Suriah dan Irak yang dikuasai oleh kaum Syiah. Konflik di kedua negara tersebut adalah khas berdasarkan pada kondisi obyektif pendorong konflik di sana. Sehingga seharusnya bila anda seorang Muslim yang peduli, maka jalan keluar dari isu konflik berdarah di Suriah dan Irak adalah mengupayakan perdamaian, bukan menambah masalah dengan ikut berperang atau bahkan mengatasnamakan Islam menciptakan teror di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang tidak tahu menahu situasi di Irak dan Suriah.
Bila anda mengaku sebagai pejuang syariah Islam dan ingin mendirikan negara Islam di Indonesia, maka lihatlah dengan mata dan hati anda bagaimana situasi dan kondisi Indonesia saat ini? Apakah anda tidak dapat menjalankan ibadah secara aman? Apakah anda dimusuhi oleh negara atau non-Muslim sehingga hidup anda terancam? Apakah anda tidak dapat berdakwah dan mengembangkan ajaran Islam secara damai? Serta bagaimana sebenarnya keinginan mayoritas umat Islam Indonesia menjalani kehidupannya? Apakah anda ingin memaksakan idealisme Khilafah kepada seluruh masyarakat Indonesia? Bagaimana anda mengukur diri anda sendiri dan kekuatan kelompok anda menghadapi realita sistem politik, sosial, ekonomi yang telah tertata baik dan damai di Indonesia? Blog I-I tidak anti Islam, bahkan bila dibaca secara hati-hati Blog I-I sering memberikan analisa-analisa yang obyektif tentang bagaimana kondisi yang dihadapi umat Islam Indonesia.
Harus pula diwaspadai bahwa di Indonesia juga terdapat kelompok kecil radikal yang memusuhi Islam dan secara sistematis berusaha menguasai berbagai peri kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah kendali mereka. Identifikasi menguatnya faham komunisme serta masifnya propaganda kelompok Kristen radikal juga patut diwaspadai. Hal ini bukan untuk memecah belah bangsa, melainkan memberikan kesadaran kepada kita semua untuk berhati-hati dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing dalam koridor demokrasi. Ciri-ciri propaganda Kristen radikal Indonesia adalah dengan menyebarluaskan ketakutan-ketakutan ancaman dari ormas Islam yang kemudian dilabelkan dengan anti-Pancasila dan juga pro-ISIS yang seringkali ditambahi bumbu mengkaitkannya dengan tokoh Islam seperti Wapres JK, Pimpinan PKS, Tokoh Muhammadiyah, dll dengan sikap merendahkan. Sebaliknya propaganda-propaganda kelompok radikal Islam Indonesia adalah secara tegas menyoroti penguasaan sektor-sektor ekonomi oleh kaum Nasrani. Kelompok-kelompok radikal tersebut baik Islam maupun Kristen sesungguhnya masih berada pada wilayah wacana, propaganda, dan seruan atau hasutan-hasutan yang diwarnai argumentasi yang sepihak dan kadang disisipi berita bohong (hoax). Blog I-I terang-terangan mengungkap ini untuk menyadarkan semua pihak untuk menghentikan wacana-wacana sesat pembentukan opini yang dapat mendorong kita ke dalam jurang konflik berdarah. Masih belum terlambat bagi anda semua yang gemar menyebarluaskan tulisan melalui media sosial twitter, facebook atau grup-grup WA untuk menghentikan wacana-wacana yang bernuansa permusuhan atau labelling yang bertujuan mendiskreditkan kelompok tertentu.
Apakah Blog I-I tidak ikut-ikutan menjerumuskan dengan artikel ini? Silahkan dibaca dari atas hingga selesai secara hati-hati. Blog I-I hanya mengungkapkan fakta adanya perspektif yang macam-macam tentang ISIS yang ditarik ke dalam situasi dan kondisi nasional Indonesia. Bahwa ada perbedaan kepentingan di dalam negeri Indonesia adalah hal yang wajar, kita punya aturan sistem politik demokrasi dan kita punya hukum positif. Sepanjang pemerintah adil maka akan tercipta kepercayaan yang tinggi dan stabilitas dapat terjaga. Sepanjang TNI, Polri dan BIN tidak terpecah belah, maka kerusuhan sosial politik sebesar apapun akan dapat dikembalikan kepada kedamaian. Kita tentunya tidak menghendaki terulangnya kerusuhan-kerusuhan apalagi yang bernuansa sektarian, maka hentikanlah wacana-wacana yang mengundang konflik dan ini berlaku untuk semua pihak.
Contoh konflik berdarah yang tercipta dari wacana atau isu dan gosip terkait agama Islam-Kristen adalah kerusuhan Ambon dan Poso, sedangkan yang berlatarbelakang etnis adalah peristiwa Sampit (Dayak-Madura). Dalam peristiwa Ambon dan Poso sebelum pecahnya serangan-serangan terbuka dalam waktu yang relatif singkat tersebar provokasi-provokasi sebagaimana saya sampaikan diatas digerakkan oleh kelompok Islam radikal dan Kristen radikal. Sementara dalam peristiwa Sampit, provokasi berdasarkan suku juga menjadi faktor pendorong pecahnya konflik terbuka. Artinya kecurigaan, prasangka, bercampur dengan kepentingan-kepentingan tertentu mampu menciptakan terjadinya konflik berdarah. Apabila telah terlanjur terjadi, maka hal itu cenderung menjadi lingkaran aksi kekerasan saling membalas karena dendam telah merasuk ke dalam hati manusia yang berkonflik. Seluruh konflik-konflik tersebut dapat diredakan karena masih kuatnya NKRI dan solidnya TNI, Polri, dan BIN. Walaupun dalam kasus Ambon dan Poso terjadi sedikit perpecahan dalam tubuh aparat keamanan lokal yang bersimpati berdasarkan agama, namun hal itu dapat segera diatasi berkat intervensi dari pusat yang mendorong perdamaian.
Penutup
ISIS adalah fenomena gerakan radikal kekerasan karena situasi obyektif di Suriah dan Irak yang terkait erat dengan survival dari kelompok-kelompok yang bertikai di kedua negara tersebut. Merupakan fenomena biasa di wilayah konflik, hanya saja kebetulan mengatasnamakan Islam dan mengklaim sebagai Khilafah. Kelompok ISIS tidak ada bedanya dengan kelompok-kelompok yang bertikai berperang di wilayah konflik lain seperti di Ukrania antara yang pro Rusia dan pro-Barat. Namun bedanya ISIS mengembangkan daya tarik internasional dengan solidaritas Khilafah Islam karena kebutuhan dukungan meniru model Al Qaeda dengan cabang-cabangnya di berbagai negara. Bila anda bersimpati kepada ISIS, maka anda telah tertipu dan masuk ke dalam konflik lokal Suriah dan Irak. Bila anda merasa telah membantu ISIS dengan melakukan aksi teror di Indonesia, maka hal ini dua kali tertipu karena anda bukan saja tidak paham konteks keberadaan ISIS, melainkan mengalami ilusi seolah Indonesia berada dalam kondisi gawat karena represi terhadap kelompok Sunni. Kelompok di Indonesia yang simpati atau bahkan berafiliasi kepada ISIS adalah minoritas yang diperkirakan tidak lebih dari 3% dari jumlah penduduk Indonesia, sementara mayoritas orang Indonesia merasa nyaman dengan Republik Indonesia dan sistem politik demokrasi. Mayoritas umat Islam Indonesia juga lebih nyaman dengan Republik Indonesia daripada model pemerintahan yang lain. Meskipun isu agama tetap penting dalam perpolitikan Indonesia, hal itu tidak mencerminkan adanya dukungan kepada model negara Islam atau Khilafah (silahkan baca: Mayoritas WNI Tolak ISIS dan ISIS Ancaman NKRI). Dengan demikian, membesar-besarkan isu ISIS justru akan memberikan semangat kepada minoritas pendukung ISIS yang hidup dalam ilusi. Seharusnya yang kita kampanyekan bukan "awas bahaya ISIS", melainkan sikap tegas bangsa Indonesia yang menolak ISIS serta keyakinan diri kita semua bahwa gerakan model ISIS tidak dapat hidup di Indonesia. Tentunya kewaspadaan masyarakat Indonesia secara kongkrit adalah dengan senantiasa memperhatikan lingkungan terdekat dan segera melaporkan kepada aparat keamanan sekiranya terdeteksi adalah gerakan-gerakan yang bersimpati kepada ISIS.
Bagi anda yang benci Islam, jangan mewacanakan ISIS berdasarkan opini pribadi dan melabelkan ormas dan tokoh Islam dengan ISIS. Kaum Muslimin Indonesia yang mencita-citakan negara Islam belum tentu setuju dengan aksi teror dan kekerasan, namun bila dipojokkan terus-menerus maka mereka justru akan mengalami radikalisasi yang lebih cepat dan boleh jadi akan menempuh jalan kekerasan. Garis pemisah yang tegas dalam menilai sebuah radikalisme menjadi aksi kekerasan (teror) adalah ketika telah sungguh-sungguh menjadi gerakan baik dengan niat maupun aksi melakukan kegiatan teror. Sementara itu, bila masih berada dalam bentuk aksi-aksi protes dan pernyataan sikap, hal itu belum tepat untuk dikategorikan sebagai radikalisme kekerasan.
Kumpulan konflik-konflik kecil pada gilirannya akan menjadi besar bila tidak ada upaya meredakannya. Sebagai contoh sederhana, perlakuan kurang adil terhadap Habieb Rizieq dengan operasi intelijen (baca: Habieb Rizieq dan Old Town Operation) terletak pada proses hukum yang lebih fokus pada pihak yang terungkap dalam pembicaraan "porno" daripada pengungkapan penyebarluasan pornografi melalui situs baladacintarizieq, bahkan polisi membandingkan kasus tersebut dengan kasus Ariel-Luna, sebuah perbandingan yang tendesius menghakimi. Dalam hukum Islam sekalipun fakta-fakta kasus pornografi yang menimpa Habieb Rizieq belum dapat dikategorikan sebagai Zina Hakiki bila dibandingkan dengan kasus Ariel-Luna. Dari dinamika kasus tersebut, kemudian berkembang meme-meme penghinaan dan perendahan derajat yang cukup masif dari yang tidak terdeteksi siapa pembuatnya sampai pada komentar-komentar yang dapat ditelusuri di media sosial yang kemudian direspon dengan aksi persekusi oleh anggota FPI. Artinya konflik-konflik kecil seperti terpelihara entah sengaja atau tidak.
Apakah pemerintah sedang mengkondisikan pembubaran FPI secara tuntas dengan memenjarakan Habieb Rizieq dan membubarkan FPI dilabel intoleran anti Pancasila serta terbukti melakukan sejumlah aksi persekusi melawan hukum? Apakah hal itu akan menghilangkan masalah radikalisme tanpa pembunuhan yang sering dilakukan FPI? Ataukah sedang ada upaya mendorong radikalisme FPI menjadi organisasi teroris yang masuk ke bawah tanah? Sekali lagi konflik-konflik kecil dipermukaan kehidupan sosial yang lahir dari organisasi FPI jauh lebih mudah dikendalikan daripada organisasi teroris. FPI mungkin telah berdiri di tepi radikalisme kekerasan menuju aksi yang lebih keras dan emosional, namun FPI belum terjerumus ke dalam aksi terorisme bom bunuh diri. Belakangan ini begitu masif keinginan dari sebagian masyarakat yang anti FPI untuk melenyapkan FPI, namun mencermati dinamika menuju kepada pembubaran atau penghancuran FPI secara tidak adil secara hukum dapat dipastikan akan kontra produktif dan menyebabkan potensi berkembangnya kelompok teroris yang merekrut mantan-mantan anggota FPI yang akan kehilangan Habieb Rizieq dan kehilangan tempat bernaung organisasi FPI.
FPI lahir paska runtuhnya rezim Orde Baru bersama-sama sejumlah ormas dan LSM yang tumbuh berkembang di era reformasi sejak tahun 1998. Mengapa pada era Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, kelompok FPI dapat dengan bebas bergerak dan bahkan kadang tampak dekat dengan penguasa dan Polisi, sementara sekarang sedang menuju kehancurannya?
Hal itu tidak terlepas dari politik kekuasaan dan pertarungan menuju pilpres 2019 (dimana Eyang Senopati Wirang meramalkan kekalahan Jokowi). Ketakutan terbesar dari Presiden Jokowi dan PDI-P adalah pada bersatunya kekuatan politik Islam mendukung lawan politik Jokowi siapapun orangnya. Sehingga diperlukan langkah-langkah sistematis memangkas seluruh kekuatan Islam yang dianggap oposisi terhadap Presiden Jokowi sedini mungkin. Strategi yang digunakan jelas menggunakan ideologi negara Pancasila dan labelling anti-Pancasila kepada kelompok-kelompok yang kemarin bersatu mengalahkan paslon gubernur penista agama Ahok dan wakilnya Djarot. Itulah sebabnya Blog I-I sangat kritis dengan langkah-langkah yang ditempuh Jokowi. Kekhawatira Blog I-I bukan kepada siapa yang akan memenangi pilpres 2019, melainkan kepada proses radikalisasi yang semakin dalam paska gerakan revitalisasi Pancasila ala Jokowi yang membenturkan Pancasila dengan Islam. Blog I-I juga telah berusaha memberikan masukan melalui artikel Saya Indonesia Saya Pancasila yang mendorong pemeritah agar lebih berhati-hati dalam memanfaatkan ideologi negara Pancasila untuk stabilitas dan kekuasaan.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Tidak ada kesempurnaan analisa dan kepastian perkiraan masa depan hingga akhirnya terjadi menjadi kenyataaan. Apa-apa yang Blog I-I sampaikan hanyalah sebuah pemikiran dari sudut pandang intelijen yang menjadi ciri khasnya yakni peringatan-peringatan agar kita sebagai bangsa dapat menghindari bencana atau jatuh ke jurang masalah yang besar. Bacalah analisa Blog I-I secara kritis dan jangan anda terima mentah-mentah, anda boleh setuju juga boleh bertentangan karena kita manusia memiliki berbagai cara pandang sesuai pada latar belakang dan kapasitas kita masing-masing.
Semoga bermanfaat
Salam Intelijen
Dharma Bhakti
Komentar
Posting Komentar