Belajar intelijen: Berita Bohong (Fake News)
(Sumber ilustrasi dari search di google image)
Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini anda semua akan mudah mendapatkan bahan pelajaran intelijen yang di masa lalu sangat rahasia dan hampir tidak mungkin diakses atau dipelajari masyarakat umum. Salah satu teknik intelijen kuno yang saat ini marak terjadi di Indonesia adalah penyebaran berita bohong atau fake news atau hoax yang cukup merepotkan bukan saja aparat keamanan dan negara, namun juga meresahkan masyarakat karena menciptakan kebingungan dan mengiring masyarakat untuk berpikir atau berprasangka secara keliru terhadap suatu keadaan, terhadap suatu masalah ataupun terhadap seseorang atau kelompok orang.
Artikel ini semoga dapat membuka mata dan telinga kita semua warga bangsa Indonesia utuk senantiasa waspada terhadap berbagai bentuk berita bohong yang dapat menyebabkan kita berkonflik, terpecah-belah atau berada dalam keadaan yang tidak nyaman. Sumber analisa ini adalah pelatihan khusus CIA yang pernah kami terima puluhan tahun silam.
Mari kita perhatikan bagaimana sebuah proses berita bohong dibuat!
Sebagai pelaksana operasi propaganda, hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami kondisi sosial politik dan ekonomi secara umum yang ditopang dengan dasar pengetahuan sosiologis dan antropologis tentang masyarakat/komunitas atau kelompok yang menjadi target berita bohong. Beruntung bila anda adalah sarjana sosiologi atau antropologi apalagi mereka yang sudah berpengalaman dalam studi etnografi. Karena sangat sedikit intel aktif Indonesia saat itu yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup di bidang ilmu-ilmu sosial tersebut, maka untuk crash program diwajibkan membaca beberapa copy buku teks ilmu sosiologi dan antropologi. Mengapa bukan politik atau ekonomi? Ilmu yang paling cepat memahami suatu masyarakat secara utuh adalah sosiologi dan antropologi, sementara politik dan ekonomi dapat melengkapi kemudian setelah pondasi ilmu sosiologi dan antropologi anda cukup mapan.
Berdasarkan pada pengetahuan dasar yang bersifat akademis dan praktis tersebut, barulah kita masuk pada pengenalan awal tentang apa itu "berita bohong". Secara definisi akan mudah karena berita bohong sebagaimana tersurat dan tersirat adalah berita atau kabar atau informasi yang bohong atau tidak benar. Namun dalam teknis pembuatannya harus melalui serangkaian proses penelitian dan penyusunan yang cukup panjang dan kadang menjadi agak kompleks disesuaikan dengan tujuannya.
Pada tahap awal ini anda akan mengenal sejumlah istilah-istilah yang sebenarnya cukup umum dalam bahasa Inggris, namun dalam sekolah khusus propaganda dimaknai secara khusus. Saya akan sharing sedikit saja disini, misalnya deception (desepsi) yang dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah pengelabuan dalam prakteknya memiliki beberapa tingkatan.
Tingkat paling rendah adalah pengalihan perhatian yang sangat sering terjadi dan dipraktekkan di Indonesia dimana suatu berita benar dibombardir dengan berita benar yang lain semata-mata untuk mengalihkan perhatian publik.
Pada level menengah biasanya dirancang sejumlah campuran berita benar dan salah serta penggabungan antara pengalihan perhatian dan penggiringan sudut pandang dimana tujuannya lebih dari sekedar pengalihan perhatian, yakni menciptakan pemahaman tertentu sesuai keinginan pelaku propaganda.
Pada level yang paling kompleks pelaku propaganda terdiri dari beberapa kelompok yang terputus hubungan (tidak berkomunikasi), saling bertentangan, sehingga tercipta polemik dan silang pendapat publik yang tajam, namun sesungguhnya diantara kelompok pelaku propaganda tersebut ada yang "paling kuat". Namun karena tidak ada komunikasi maka pelaksana propaganda tidak tahu siapa yang paling kuat. Dalam kaitan ini, master mind propaganda mengendalikan seluruh kelompok pelaksana propaganda yang tidak saling tahu tersebut. Tanda-tanda keberhasilan propaganda kompleks ini adalah terciptanya reaksi asli dari masyarakat yang menjadi sangat terbawa emosi dan biasanya mengarah kepada konflik terbuka atau minimal benturan antar kelompok. Teknik kompleks ini biasanya berada di dalam kerangka covert action menggulingkan suatu pemerintahan.
Setelah dapat membedakan level-level desepsi tersebut, maka sesuai dengan maksud dan tujuannya perancang propaganda akan menentukan bermain pada level mana, dan hal selanjutnya adalah pengumpulan informasi tentang isu-isu yang dapat dimainkan. Setelah isu-isu yang akan dimainkan telah dipilih berdasarkan pada tingkat pengaruh dan sensitifitas yang disesuaikan dengan tujuan propaganda, maka dipersiapkan penyusunan pola penyampaian propaganda dari yang halus dan argumentatif sampai kepada yang sangat kasar dan provokatif. Penggunaan simbol-simbol dengan penguatan moral dan nilai-nilai juga menjadi hal dasar propaganda desepsi halus, bahkan kadang dalam argumentasinya didukung oleh hasil penelitian akademis, polling atau pendapat pakar yang telah dipesan atau dipersiapkan. Sementara itu, untuk propaganda kasar dan provokatif menggunakan pilihan kata dan kalimat yang mengundang emosi manusia baik berupa ujaran kebencian, merendahkan, penyebutan nama dengan tidak hormat (name calling), bully, penghinaan, dan lain sebagainya.
Sebelum masuk ke dalam teknik penulisan, ada baiknya sahabat-sahabat Blog I-I membaca buku public opinion karya Walter Lippmann dan manufacturing consent yang ditulis oleh Edward S. Herman dan Noam Chomsky. Buku Walter Lippmann dapat dikatakan karya klasik yang masih relevan dan sementara buku Herman dan Chomsky setidaknya memberikan pemahaman umum tentang propaganda, model-model komunikasi, politik, media, dan bisnis yang mana buku ini memperlihatkan bagaimana media dan editorial bekerja dalam kacamata propaganda. Apabila anda sudah bekerja di media massa baik cetak maupun elektronik, saya tidak akan menggurui lebih lanjut karena anda akan sangat cepat memahami dampak dari sebuah rangkaian pemberitaan terhadap dinamika sosial politik dan ekonomi masyarakat. Biasanya pada level minimal editor anda akan dengan sangat mudah menjadi master mind propaganda dengan perbedaan dengan propagandis murni intelijen pada kerumitan level desepsi. Seorang editor kadang melakukan desepsi berupa pengalihan perhatian berita karena tekanan pemiliki media massa. Hal itu sangat mungkin terjadi karena pilihan berita maupun opini yang diangkat adalah oleh editor, sementara editor hampir tidak mungkin melawan kepentingan pemilik media.
Berhubung Eyang Senopati Wirang dan beberapa senior mengingatkan bahwa teknik penulisan berita bohong sebaiknya tidak diajarkan kepada masyarakat, maka saya cukupkan seri belajar intelijen ini sampai disini dahulu. Masih ada sangat banyak istilah khusus berita bohong yang dilatih oleh CIA yang dapat dipelajari misalnya bogus (tidak asli, bohong atau palsu) termasuk jenis desepsi yang sangat sederhana dan pendek. Contoh bogus: Jokowi PKI, SBY dalang Aksi Bela Islam, Makar Terhadap Jokowi, Anies/Sandi akan terapkan Syari'ah Islam, AS mendukung kemerdekaan Papua, dan lain sebagainya yang semuanya dapat dilakukan baik pemerintah maupun non-pemerintah. Tujuannya lebih sederhana yakni menghancurkan reputasi target berita bogus atau bahkan menciptakan kekacauan berdasarkan pada bogus tadi.
Sedikit catatan tambahan: perkembangan media sosial dan kolom komentar pada media mainstream memberikan ruang bermain yang lebih luas lagi dimana pada saat ini pemain propaganda berita bohong relatif leluasa menyebarkan berita bohong tanpa dapat disentuh oleh karena kecerdikan penggunaan ribuan akun-akun palsu. Hal ini bukan fenomena khas Indonesia, melainkan terjadi di berbagai negara di dunia. Pada awalnya pengembangan media sosial adalah bagian dari kerjasama intelijen dengan pengembang medsos dan berbagai aplikasinya untuk mengetahui pandangan dan reaksi masyarakat. Efektifitas tapping telepon oleh intelijen menjadi terbatas karena informasi yang diperoleh hanya pembicaraan dua orang, sementara untuk mengetahui dinamika publik diperlukan ruang obrolan (chat) yang sifatnya lebih besar dan massal, sehinga dinamika pandangan dan reaksi publik dapat dengan mudah direkam dicatat dan dijadikan bahan analisa yang bahkan secara statistik dapat dicari korelasi hubungan antara suatu isu dengan isu lain. Sebelum berkembangnya facebook dan twitter, intelijen telah mempersiapkan jebakan media sosial yang lebih terbatas berupa grup-grup email dan forum-forum komunikasi online yang diakses dengan keanggotaan. Semua data tersebut masuk dalam mesin penganalisa di NSA dan sekutunya.
Namun demikian ternyata yang mendapatkan manfaat dari perkembangan media sosial bukan hanya intelijen, melainkan juga para pemain propaganda atau para pekerja provokator yang dapat dengan mudah menawarkan sebuah "kampanye" untuk kepentingan tertentu yang sebenarnya sarat dengan berita bohong. Sementara itu, publik baik tokoh maupun orang biasa secara umum adalah bagian permainan dimana disadari atau tidak akan ikut-ikutan meramaikan dinamika propaganda yang dihembuskan. Perhatikan bagaimana dinamika pro dan kontra di media sosial selama pilkada DKI Jakarta (ini hanya contoh yang paling mudah dan jelas terlihat).
Semoga bermanfaat,
Salam Intelijen
Dharma Bhakti
Komentar
Posting Komentar