Kode Sandi: Old Town Operation

Sehubungan dengan tidak adanya komunikasi resmi dari Intelijen Negara yang melarang pengungkapan operasi intelijen mendukung Ahok, jaringan Blog I-I yang masih diblokir rezim Jokowi merasa perlu mengungkapkan kepada publik tentang beragam operasi inteljen dalam Pilkada DKI Jakarta yang jelas-jelas telah melukai keadilan dalam pesta demokrasi di Jakarta. Hal ini juga berdasarkan permintaan sejumlah politisi nasional yang menginginkan demokrasi di Indonesia bersih dari segala bentuk operasi intelijen atau keterlibatan praktek-praktek intelijen profesional. Artikel ini juga dipublikasikan sebelum masuknya masa tenang Pilkada Jakarta sehingga tidak mengganggu ketenangan masyarakat Jakarta dalam menentukan pilihannya.

Artikel ini bukan hoax atau fitnah namun tidak dapat diungkapkan secara utuh guna menghindari terjadinya kegaduhan politik nasional yang berpotensi menjungkalkan Presiden Jokowi sebelum waktunya. Guna menjaga kehormatan berbagai pihak yang menyelenggarakan operasi intelijen, maka artikel ini hanyalah satu contoh dari beragam operasi intelijen yang terjadi pada periode 2016-2017. Tujuan pengungkapan ini hanya sebagai peringatan kepada pelaku, bahwa jaringan Blog I-I terus mengawasi siapapun yang menyalahgunakan kegiatan intelijen untuk kepentingan sempit kelompok.


Penanggung jawab operasi: censored
Pelaksana operasi : censored
Kode Sandi : Old Town (disamarkan)
Tujuan : Memenangkan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta
Sasaran : Lawan-lawan politik Ahok
Teknik : Propaganda hitam - abu-abu - putih, hacking, penyadapan, pembunuhan karakter, penggembosan umat Islam, penggalangan, infiltrasi tim sukses lawan politik Ahok

Tambahan (16 Februari 2017): benar bahwa tidak semua umat Islam bersikap anti-Ahok serta ada sejumlah pertanyaan umat Islam yang mana yang dimaksud Blog I-I. Dapat dijelaskan disini bahwa target memperebutkan umat Islam secara umum dilakukan oleh seluruh paslon. Blog I-I meyakini bahwa operasi intelijen melakukan penggembosan dengan target utama FPI, GNPF-MUI, FUI, PKS dan seluruh ormas Islam yang terdeteksi Anti-Ahok. Meskipun demikian terdapat pula upaya pemisahan umat Islam dengan label Muslim moderat-cerdas-kritis-terbuka-rasional dukung Ahok dan Muslim konservatif-kurang cerdas-sempit-irrasional-emosional menjegal Ahok. Hal itu sangat vital dalam mempengaruhi sikap politik umat Islam Jakarta secara umum. Dasar operasi pemisahan umat Islam dengan pola-pola pembentukan opini dan wacana melalui proses labelling tersebut secara akademis dapat dibuktikan dengan penelitian analisa terhadap pernyataan-pernyataan terkait sikap masyarakat Muslim, terhadap polling-polling yang memasukkan variabel Islam atau sikap masyarakat Muslim, serta propaganda-propaganda baik yang putih dan abu-abu di media mainstream, maupun yang hitam di media sosial dan komentar-komentar Tim buzzer pendukung Ahok. Disadari ataupun tidak perpecahan umat Islam adalah hal yang sangat mudah karena manusia pada dasarnya cenderung dangkal pemikirannya dan mudah berubah karena bersandar pada wacana dan bukan pada kedalaman pemahaman konteks sosial dan politik. Dangkal disini bukan bodoh, melainkan malas untuk lebih serius meneliti karena tentunya setiap orang sudah punya kesibukan pribadi yang tidak terkait dengan masalah politik atau pilkada. Dalam sejarah Jakarta, umat Islam bersatu hanya pada pemilu 1955 (Masyumi), 1977 (PPP), dan 2004 (PKS) dan itupun lebih karena Partai dan keberhasilan kampanye menyentuh hati umat Islam serta belum pernah terserap ke dalam kharisma kepemimpinan yang mengedepankan individu seorang Pemimpin Muslim. Dalam konteks psikologi massa umat Islam terdapat paradoks kerinduan untuk hidup secara Islami dan keengganan untuk melaksanakan ajaran Islam di bidang politik. Semua itu tidak terlepas dari kelemahan kepemimpinan tokoh-tokoh Islam dalam memahami umat Islam yang masih enggan menjalankan ajaran Islam secara utuh dan keberhasilan lawan-lawan politik untuk mencegah apa yang dipopulerkan oleh akademisi Barat sebagai Islam Politik atau Islamis atau bahkan kadang ditambah label Politik Islam "Radikal". Berdasarkan pada temuan-temuan tersebutlah Blog I-I melakukan generalisasi penggembosan umat Islam, yakni terhadap seluruh umat Islam baik di Jakarta maupun di Indonesia secara umum. Perhatikan bagaimana Ketua PB NU memberikan pernyataan-pernyataan yang membingungkan antara iya dan tidak dalam menyikapi kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Perhatikan pula bagaimana kontradiksi antara Pemuda Muhammadiyah dan Ketua PP Muhammadiyah dalam menyikapi kasus penistaan agama. Semua itu berkat "tekanan" halus secara langsung oleh Presiden Jokowi dengan argumentasi memelihara persatuan dan kesatuan serta mencegah terjadinya konflik yang lebih besar, apakah itu bukan penggalangan dan penggembosan umat Islam agar tidak bersikap tegas sebagai Muslim sesuai dengan ajaran Al Quran dan Hadits. Mengapa kemudian tercipta suatu kondisi yang sulit bagi umat Islam untuk menyatakan pendapatnya dalam menyikapi kasus penistaan agama? Apakah hukum tidak dapat ditegakkan karena ada kekuatan Non-Islami yang menghendaki kasus penistaan agama dilupakan atau dimaafkan saja? Mengapa kemudian bila ada orang Islam yang keberatan dan ingin hukum ditegakkan dari kasus penistaan agama jadi merasa masuk dalam label Muslim konservatif-kurang cerdas-sempit-irrasional-emosional dan dituduh sepihak semata-mata untuk menjegal Ahok atau memusuhi Non-Muslim dan tidak toleran? Sudah puluhan tahun pada era Orde Baru pola-pola operasi tersebut dilakukan oleh Intelijen baik yang resmi maupun yang tidak resmi semata-mata untuk menekan pengaruh Islam dalam perpolitikan nasional. Bahkan lebih jauh lagi sejak kemerdekaan dan era Orde Lama, persoalan hubungan Islam dan Negara telah diupayakan solusinya misalnya Bung Karno dengan NASAKOM-nya (Nasionalis, Agama, Komunis). Di era reformasi, seharusnya penghormatan terhadap perbedaan benar-benar dijunjung tinggi dan intelijen tidak masuk ke dalam ranah politik praktis. Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa analisa intelijen ini bukan untuk mendukung salah satu paslon atau propaganda memecah belah bangsa Indonesia. Tujuan utama keberadaan Blog I-I adalah sebagai bahan pembelajaran agar kita sebagai bangsa dapat berpikir kritis dan tidak berada dalam pengaruh manipulasi kekuatan-kekuatan besar khususnya Kalangan Intelijen yang sangat piawai dalam masalah ini. Anggap saja keberadaan Blog I-I sebagai penyeimbang positif atau alternatif pemikiran bagi para pembacanya. Kemudian sebagaimana selalu diingatkan, jangan menerima argumentasi Blog I-I sebagai kebenaran mutlak, anda berhak mengkritisi, mengcounter, atau berbeda pendapat. Dari diskusi tajam tersebutlah diharapkan kita sebagai satu bangsa Indonesia dapat melangkah secara yakin dan lebih baik dalam menyongsong masa depan yang lebih baik pula. Kemudian khusus untuk kalangan intelijen, teruslah mengasah pisau analisa anda dan tingkatkan skill operasional anda sebaik-baiknya, namun ingatlah selalu bahwa setelah anda menjadi pisau yang tajam janganlah kemudian menjadi alat untuk menusuk, melukai, atau bahkan membunuh salah satu anak bangsa demi kekuasaan. Satu-satunya alasan untuk "boleh" menusuk, melukai dan membunuh adalah ketika ada anak bangsa yang keterlaluan dan melanggar hukum serta melakukan kekerasan menghilangkan nyawa sesama anak bangsa dengan niat menghancurkan bangsa Indonesia. Kebijakan intelijenpun menaruh operasi ekstrim ini sebagai pilihan terakhir. Selain itu, hakikatnya ancaman yang sejati bersumber dari luar dan bukan dari sesama anak bangsa yang berkompetisi secara demokratis dalam mencapai kekuasaan. 

Sesuai dengan tujuan dari artikel ini dan dengan masih menjaga stabilitas nasional, maka Blog I-I memutuskan hanya mengungkapkan satu operasi dengan tidak mengungkapkan siapa, dimana pusat operasinya, dan jangka waktunya. Namun untuk bagaimana dan mengapanya tentu sudah jelas terbaca yakni dengan teknik-teknik giat intel dan mengapa dilakukan adalah untuk memastikan kemenangan Ahok di Jakarta.

Operasi Old Town merupakan antitesis dari ramalan Blog I-I yang memastikan kekalahan Ahok dalam artikel Mencegah Kehancuran Indonesia Raya dan artikel Pencegahan Makar. Apabila dalam artikel pertama Blog I-I meramalkan Ahok akan 100% kalah, kemudian artikel berikutnya mencatat kemungkinan Ahok kalah menjadi 80%, maka dalam artikel hari ini kemungkinan Ahok untuk kalah menjadi 50%, artinya operasi intelijen mendukung Ahok dapat dikatakan sukses dan sangat efektif dalam memulihkan citra Ahok dan mengangkat elektabilitas Ahok dengan sangat signifikan.

Tentu saja pemulihan citra Ahok tersebut bukan semata-mata karena operasi intelijen, karena performance pasangan Ahok-Djarot dalam debat resmi yang diselenggarakan KPU dapat dinilai positif dan mungkin menjadi faktor pengungkit yang besar dalam mempengaruhi sikap pemilih.

Peran besar operasi intelijen mendukung Ahok adalah dalam hal menekan lawan-lawan politik Ahok khususnya yang membawa bendera Islam menjadi pesakitan dan mulai kehilangan momentum menjelang pemilihan tanggal 15 Februari. Sangat efektif sehingga citra lawan-lawan politik Ahok mengalami penurunan yang signifikan. Dampak dari Aksi Bela Islam di tahun 2016 dapat dikatakan secara efektif meredup seiring dengan pembunuhan karakter pimpinan FPI dengan sejumlah kasus. Sementara itu, upaya estafet kepemimpinan dengan mengangkat tokoh lain seperti dari FUI atau yang lainnya agak terlambat karena peninggian citra Habieb Rizieq sebagai Imam Besar FPI dan pemimpin umat Islam dalam Aksi Bela Islam menjadi bumerang ketika operasi Habieb Domek (ma'af Doyan Memek) melalui penghalusan baladacintarizieq menjadi sangat sukses besar. Saat ini Habieb Rizieq tentunya menjadi sangat sibuk menghadapi berbagai tuntutan hukum sehingga rencana Aksi Bela Islam atau Aksi Bela Ulama yang terakhir (final punch) menjelang 15 Februari menjadi berantakan dan sangat sulit mengulangi sukses Aksi Bela Islam tahun 2016. Rencana Aksi 112 menurut perkiraan jaringan Blog I-I hanya akan diikuti peserta maksimal 1/2 dari Aksi-Aksi Bela Islam yang terjadi pada tahun 2016, apabila harus menyebut angka akan berada pada kisaran maksimal 60-70 ribu orang dan kemungkinan besar akan jauh kurang dari angka tersebut apabila penggembosan dilakukan secara efektif.

Kasus yang menimpa SBY dengan pengungkapan komunikasi SBY dan KH Ma'ruf Amin telah diketahui sejak peristiwa itu terjadi, namun dengan sangat elegan digunakan menjelang saat-saat akhir kampanye dan diungkapkan sebagai bahasa menyamping dalam proses pengadilan Ahok. Dalam artikel Sadap-Menyadap Komunikasi Presiden ke-6 SBY, Blog I-I menduga bahwa pengacara Ahok dan Ahok melakukan blunder dengan menekan dan mempermalukan KH Ma'ruf Amin serta mengungkap komunikasi SBY - KH Ma'ruf Amin, namun ternyata hal itu bukan blunder karena targetnya memang mengganggu emosi SBY sehingga akhirnya SBY terpancing dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan tidak perlu yang terkesan negatif di masyarakat. Sementara tentang ketersinggungan NU dapat dinetralisir dengan permohonan ma'af dan di tubuh NU sendiri mengalami perbedaan pendapat yang cukup tajam. Pancingan agar SBY banyak komentar terbuka baik berupa press release maupun twitter segera menjadi bahan ledekan baik oleh Presiden Jokowi maupun Megawati seolah SBY anak kecil yang sedang merengek-rengek merasa didzalimi. Sungguh propaganda yang sempurna dalam menurunkan elektabilitas Agus Yudhoyono yang sebelumnya telah digeogoti oleh operasi pembunuhan karakter Sylviana Murni melalui kasus dugaan korupsi yang juga telah dipersiapkan sejak tahun 2016 namun baru diangkat digoreng-goreng pada Januari 2017.

Tambahan (16 Februari 2017): Analisa Blog I-I belakangan didukung oleh sejumlah analisa  pengamat dan penggiat polling menjelang dan pasca 15 Februari 2017 baik berdasarkan teori maupun data popularitas dan elektabilitas yang menjelaskan bahwa reaksi Presiden ke-6 SBY dengan konferensi pers dan media sosial twitternya menjadi langkah blunder yang menggerus perolehan suara Agus/Sylvi bahkan menjadi 1-2% dibawah perkiraan polling terakhir. SBY gagal mempermainkan kartu simpati publik Jakarta dengan menjadi "korban" karena sudah tidak laku dan apa yang disebut sebagai "Efek Antasari" sebenarnya kecil dan kurang berarti seandainya keluhan-keluhan Antasari dibiarkan saja dan dihadapi dengan dingin oleh pengacara profesional tanpa menciptakan suatu opini tertentu. Upaya Antasari untuk menyerang SBY akan menemui tembok besar karena hal pertama yang harus dilalui Antasari adalah menghadapi fakta-fakta proses pengadilannya yang dahulu menjatuhkan hukuman penjara terhadap dirinya. Namun Antasari sangat cerdas dan paham hukum, sehingga langkah yang ditempuhnya adalah langsung "menembak" kepada sasaran tertinggi yakni SBY melalui media dan pernyataan-pernyataan yang bisa benar bisa juga salah, dengan harapan bergulir menjadi polemik besar dan mendorong aparat kepolisian dan hukum untuk lebih serius memberikan perhatian. Apabila Antasari berhasil mengakumulasikan polemik kasusnya menjadi besar dengan penciptaan opini kecurigaan-kecurigaan terhadap Presiden ke-6 SBY berhasil, serta SBY terpancing untuk menanggapi secara langsung dan masuk dalam permainan Antasari, maka tidak tertutup kemungkinan SBY dan keluarga khususnya serta PD secara umum mengalami penurunan popularitas politik di mata publik dengan sangat signifikan, kemudian menuju pilpres 2019 PD akan tersungkur ke level terendah dalam sejarah perjalanan PD. Ingat, bahwa masih ada beberapa "modal" besar kehancuran PD yang belum digunakan yakni kasus Anas Urbaningrum dan Bank Century (kuncinya di Sri Mulyani) yang telah dilirik oleh sejumlah kalangan di sekeliling Jokowi untuk diolah memastikan kehancuran dinasti SBY. Seperti terbaca dalam media massa, kelompok Anas dikabarkan mendukung atau bergabung dengan Hanura, hal itu merupakan kartu Wiranto untuk strategi jangka menengah menuju kursi Wakil Presiden pada tahun 2019.
Mohon analisa tambahan ini dibaca sebagai analisa semata dan bukan propaganda atau pancingan atau bahkan tuduhan karena Blog I-I menuliskan ini berdasarkan informasi intelijen jaringan Blog I-I yang tidak dapat digunakan sebagai bukti hukum ataupun dipertanggungjawabkan sebagai sebuah produk analisa strategis. Blog I-I hanya mengungkapkan analisa-analisa alternatif yang bertujuan membuka mata dan telinga kita semua dan tentunya tidak dapat diklaim sebagai sebuah kebenaran mutlak.  

Demikian kuatnya operasi intelijen mendukung Ahok sampai-sampai pasangan Anies-Sandiaga juga tidak menyadari bahwa mereka telah mengalami penurunan drastis dukungan bukan karena kampanye lawan melainkan karena penggalangan intelijen yang menyebabkan "penurunan" dukungan internal yang tidak dapat diungkapkan disini. (Tambahan 16 Februari 2017: seandainya tidak ada operasi intelijen, mungkin pasangan Anies/Sandi memimpin perolehan suara, hal ini juga tercermin dari sikap berlebihan Tim Sukses Ahok/Djarot dengan keyakinan menang satu putaran. Hal ini tidak terlepas dari pertemuan Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto (bukan Senopati Wirang) yang mana Prabowo mendapatkan "sesuatu yang besar" secara ekonomi yang tidak dapat diungkapkan dalam artikel ini. Apabila para pembaca Blog I-I penasaran atau menuduh Blog I-I bicara sembarangan, silahkan dikonfirmasikan kepada para pihak yang disebutkan Blog I-I, niscaya anda semua akan memperoleh bantahan-bantahan yang cenderung menghindar. Demikianlah wajah perpolitikan dan intelijen serta berbagai intrik hiruk-pikuknya, kita semua sebagai bangsa terlalu banyak menghabiskan energi, uang, perhatian untuk kekuasaan dan kepentingan kelompok. Demokrasi yang ideal bukanlah semata konsentrasi kepada kursi kekuasaan, melainkan kepada bagaimana memajukan dan mensejahterakan rakyat, perbaikan-perbaikan atau koreksi dari kekeliruan kebijakan, perencanaan yang matang untuk generasi penerus, dan kepastian hukum dan keadilan sosial. Artinya kompetisi mencapai kekuasaan dilakukan dalam pesta demokrasi untuk meberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin yang diyakininya dapat mewujudkan harapan rakyat sekaligus sebagai seleksi dan faktor pendorong yang kuat untu akuntabilitas dan keseriusan kerja. Sementara segala perbedaan hanya terjadi saat pemilihan umum dan pilkada, setelah itu semua bersatu bahu membahu untuk pembangunan. Koreksi-koreksi paska pemilu/pilkada ditujukan untuk mengingatkan dan memberikan alternatif pemikiran dan Pemerintah harus terbuka dan penyampaian pun tidak dikesankan ingin mendongkel Pemerintahan yang sedang berjalan. Semua itu seharusnya secara efektif diperdebatkan di DPR dan DPRD. Kemudian persoalan-persoalan personal seperti tuntutan keadilan oleh Antasari tidak seharusnya masuk ke wilayah politik. Sungguh sangat disayangkan bagaimana manuver Pemerintahan Jokowi dengan grasinya terhadap Antasari dan Reaksi SBY telah mencapai keadaan yang tidak dapat diperbaiki dan akan terus membayangi perjalanan politik Indonesia ke depan.    

Bagaimana Blog I-I mempertanggungjawabkan analisa ini semua? mana buktinya? Sebagaimana juga politik dibalik pintu tertutup, kesempurnaan operasi intelijen adalah karena kerahasiaannya. Siapa mereka yang begitu canggih menyelenggarakan operasi intelijen tersebut? Dapat dipastikan tidak akan terungkap karena kekuatan besar dan bahkan Blog I-I sendiri saat ini tidak dapat dibaca bebas oleh rakyat Indonesia. Hanya mereka yang sedikit memiliki pengetahuan tentang membuka blokir dan sensor pemerintah Indonesia yang dapat membaca Blog I-I. Kembali kepada masalah bukti, operasi intelijen tidak meninggalkan bukti namun dapat dirasakan dampaknya. Kepada siapapun tokoh-tokoh agama Islam maupun tokoh nasional yang sedang merasakan dampak operasi intelijen tentunya dapat memahami argumentasi Blog I-I. Anda semua saat merasakan dampak operasi intelijen akan merasakan ketidakberdayaan dan tidak memiliki bukti yang dapat digunakan di depan hukum.

Mengapa Blog I-I tidak membongkar saja semua dan melaporkan data-data akurat kepada pihak yang berwenang? Jawabnya adalah bahwa saat ini belum ada hukum yang cukup kuat yang dapat menjerat penyalahgunaan operasi intelijen untuk kepentingan politik kekuasaan. Akan sangat konyol dan bila Blog I-I mengungkapkannya secara utuh, maka sama saja dengan menyerahkan diri untuk dipenjara. Selain itu, Blog I-I juga menjadi target rezim Jokowi baik melalui blokir internet sehatnya maupun buruan aparat kepolisian dan intelijen. Mengapa Blog I-I dimusuhi? silahkan baca artikel-artikel Blog I-I dan tanyakan saja langsung kepada rezim Jokowi mengapa? Karena jaringan Blog I-I juga tidak mengerti mengapa.

Visi dan Misi jaringan Blog I-I sangat sederhana yakni mencita-citakan Intelijen Indonesia yang profesiobal, obyektif dan berintegritas sungguh-sungguh berpihak kepada rakyat dan bukan pengabdi kepada kekuasaan, sehingga intelijen seyogyanya dapat netral dari urusan kompetisi politik kekuasaan dan berkonsentrasi dalam memberikan informasi yang seimbang agar kompetisi tersebut dapat terselenggara secara adil dan transparan. Namun bila intelijen masuk dalam urusan politik mencapai kekauasaan dapat dipastikan bahwa akan sangat berat untuk melawan kelompok yang didukung intelijen.

Keberhasilan operasi Old Town belum sempurna sampai pada penghitungan hasil pilkada Jakarta tanggal 15 Februari 2017. Sehingga masih akan ada operasi-operasi lain yang membahayakan dan dapat menciderai jalannya pesta demokrasi di Jakarta. Seharusnya, apabila ingin adil, operasi intelijen sangat diperlukan dalam mengungkap kasus-kasus e-KTP Jakarta yang palsu yang diduga kuat bersumber/berawal dari aksi pengumpulan sejuta KTP oleh sejumlah oknum relawan dalam rangka mendukung salah-satu kandidat. Operasi intelijen juga diperlukan dalam meminimalkan kerawanan di TPS-TPS, dan juga dalam melindungi demokrasi dari kemungkinan kecurangan. Namun karena operasi intelijen justru untuk memenangkan salah satu calon, maka yang terjadi adalah kecurangan karena masyarakat sebagai pemilih tidak akan tahu kerahasiaan dari operasi intelijen tersebut.

Demikian, semoga cukup sebagai peringatan kepada penanggung jawab dan pelaksana operasi intelijen yang tidak dapat disebutkan disini. Namun kita tahu sama tahu dan jaringan Blog I-I menjunjung tinggi kode etik intelijen untuk tidak mengungkapkan seutuhnya, dan hanya memberikan peringatan saja, semoga dapat diterima.

Salam intelijen
Senopati Wirang

Komentar

Postingan Populer