Anggaran Kecil Minta Aman
Ketika Indonesia mengalami krisis 1998 yang diwarnai kerusuhan, komunitas intelijen tidak luput dari sorotan seolah tidak mampu memberikan informasi dan analisa mengenai tanda-tanda kejatuhan Pemerintahan Suharto periode akhir. Kemudian, intelijen kembali menjadi sorotan karena lepasnya propinsi Timor-Timur yang sedikit banyak juga dipengaruhi lemahnya analisa intelijen dalam kalkulasi kebijakan politik dan keamanan era Habibie. Pada era Gus Dur, intelijen tampak semakin kedodoran yang dengan lengsernya Gus Dur dari jabatan Presiden. Kemudian era Megawati, intelijen baru mulai menata kembali menjadi lebih baik dengan berbagai prediksi tentang terorisme yang pada waktu itu "tidak dipercaya" sebagian petinggi negara. Pada masa-masa tersebut, dalam komunitas intelijen khususnya prajurit wong cilik telik sandi yang langsung berhadapan dengan masalah dan masyarakat berkembang pemeo sindiran yang sempat bergema di Senayan dan Istana Negara : "Lima Ribu Minta Aman."
Adalah suatu fakta yang teramat sangat memprihatinkan dunia intelijen Indonesia dengan anggaran yang sangat kecil pada level operasional namun menanggung beban tugas dan tanggung jawab yang sangat besar, yakni kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia.
Presiden Abdurrahman Wahid adalah Presiden RI pertama yang memperhatikan kesejahteraan PNS secara umum dengan menggabungkan komponen tunjangan menjadi gaji pokok yang lebih besar, yang mana hal ini juga berdampak ke kalangan intelijen yang menjadi lebih bersemangat. Kemudian Megawati secara signifikan meningkatkan anggaran Intelijen (baca: BIN) yang kemudian mampu membangun sejumlah pondasi restrukturisasi organisasi BIN menjadi lebih besar. Kemudian dilanjutkan pada era SBY hingga akhirnya BIN memiliki anggaran yang dapat dikatakan mendekati kesesuaian dengan kalkulasi personil, operasi kegiatan, dan pengembangan organisasi di masa mendatang.
Baru-baru ini, Kepala BIN Sutiyoso menyampaikan "keluhan" pemotongan anggaran BIN yang sangat signifikan karena jumlah pemotongannya sangat besar, yakni dari APBNP 2015 sebesar 2.616,6 Triliun menjadi 1.592,6 Triliun dalam RAPBN 2016, atau sekitar hanya 60% dari anggaran 2015.
Meskipun Presiden Jokowi menyetujui penguatan intelijen dan peningkatan fasilitas yang memadai dalam Nota Keuangan RAPBN 2016, namun pemotongan anggaran BIN justru mencerminkan yang sebaliknya. Mengapa demikian? Boleh jadi hal ini juga menimpa sebagian besar Kementerian dan Lembaga Negara lainnya karena asumsi dollar dan kondisi perekonomian Indonesia yang diperkirakan mengalami penurunan. Namun apabila kita perhatikan secara seksama, sebagian justru mengalami kenaikan, misalnya Sekretariat Negara, Kementerian Luar Negeri, PAN RB, Kominfo, POLRI, BNN, Komnas HAM, KPU, MA, MK, PPATK, LAN, KPK, KY, KPPU, Ombudsman, BNPT, Sekab, Kelautan Perikanan, Pariwisata, Kemenko Maritim, Kemenko Perekonomian, BPK, Kemenkeu, Pertanian, Kementerian BUMN, BPS, Bappenas, BPN, BPPT, LAPAN, BIG, Bapeten, BPKP, Perdagangan, LKPBJP, Badan Pengembangan Wilayah Suramadu, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, TVRI, Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kesehatan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, BPOM, BKKBN, dan BNP2TKI. Fakta tersebut secara logika dapat membantah alasan perbedaan asumsi dollar ataupun kondisi perekonomian nasional yang sedang lesu.
Apabila sebagian Kementerian/Lembaga Negara mengalami penurunan dan sebagian mengalami kenaikan maka hal ini juga dapat ditafsirkan sebagai prioritas Pemerintah, dimana anggaran merupakan faktor krusial dalam pencapaian kinerja suatu lembaga. Pertanyaan berikutnya adalah mengapa anggaran BIN dapat turun sedemikian drastisnya? Apakah karena BIN hanya mengajukan sedikit karena tidak mampu mengelola anggaran dengan baik, ataukah karena sesungguhnya Pemerintahan Jokowi tidak menganggap intelijen sebagai prioritas sehingga pengajuan dari BIN hanya dikabulkan hanya sebesar 60% dari anggaran 2015?
Tentunya kita tidak dapat mengklaim bahwa satu lembaga lebih penting dari lembaga yang lain sehingga pantas memperoleh anggaran yang lebih besar. Hal ini dapat menjerumuskan suatu pemerintahan kepada pemborosan-pemborosan karena argumentasi sektoral. Selain itu, sudah menjadi kewajaran bahwa pada setiap pengajuan anggaran, masing-masing lembaga berupaya meyakinkan penyusun Nota Keuangan dan RAPBN untuk mengalokasikan anggaran sesuai kebutuhan masing-masing. Pastinya tidak semuanya dapat dikabulkan, bahkan ada yang dicoret atau direvisi sebagaimana dialami oleh BIN untuk RAPBN 2016. Namun fakta yang sangat aneh adalah bahwa Presiden Jokowi "memerintahkan" BIN melakukan rekrutmen anggota besar-besaran, sementara anggaran BIN dipotong besar-besaran seperti SALE/DISCOUNT saat menjelang lebaran atau tahun baru. Saran dari Komunitas Blog I-I adalah agar BIN segera menghentikan rencana rekrutmen yang tidak masuk akal tersebut karena selain kerawanan yang telah diungkapkan dalam artikel Rekrutmen 1000 Agen BIN, juga guna menghindari pendarahan anggaran BIN karena besar pasak dari pada tiang, hanya demi kepentingan politik Pilkada yang selama ini terbukti dapat dikawal secara aman oleh BIN, Polisi dan TNI.
Alokasi anggaran bukanlah hal yang mudah dan sederhana karena hal ini juga menyangkut hajat hidup bangsa Indonesia dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai pemerintah. Artinya ketika Nota Keuangan dan RAPBN sudah diajukan, Pemerintah sudah yakin dengan pengajuan tersebut dan telah diketahui oleh semua Kementerian dan Lembaga Pemerintah terkait. Dalam kaitan ini, BIN sudah pasti tahu dan paham bahwa Pemerintahan Jokowi-JK memiliki prioritas yang kurang mengedepankan pengembangan intelijen menjadi lembaga yang kuat dan modern.
Komentar sangat aneh dan menjerumuskan tentang anggaran BIN juga muncul dari anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin yang menyarankan BIN cari dana sendiri (non-budget). Mencari dana sendiri kepada perusahaan swasta sangat membahayakan keamanan nasional, karena hal ini menciptakan hubungan yang tidak sehat karena kerawanan baik dari sisi kepentingan maupun transparansi, apakah sungguh-sungguh digunakan untuk operasional intelijen.
Ketika anda tidak mengalami suatu musibah karena sistem keamanan yang baik di rumah anda, maka anda berpikir kunci, gembokan, alarm, dan cctv yang anda gunakan sudah cukup mencegah terjadinya kejahatan di rumah anda. Tetapi sadarkah anda bahwa semua sistem keamanan yang anda gunakan sesungguhnya harus selalu diupdate dan diganti dalam periode tertentu. Misalnya kunci pintu rumah model lever lock menjadi pin tumbler lock atau wafer tumbler lock. Hanya karena belum pernah mengalami musibah kemalingan, bukan berarti kunci model lever lock masih dapat melindungi rumah anda. Hal ini hanya ilustrasi sederhana yang menggambarkan peningkatan biaya keamanan walaupun tidak terjadi musibah atau ancaman keamanan.
Komunitas Blog I-I tidak memiliki kepentingan dengan peningkatan atau penurunan anggaran BIN, artikel ini hanya bagian dari pendidikan publik mengenai intelijen agar dipahami bahwa intelijen ala James Bond dengan berlimpah uang operasi hanya ada di film saja. Tahukah anda bahwa ketika pemeo sindiran "lima ribu minta aman" menjadi populer di kalangan komunitas intelijen, faktanya saat itu seorang agen intelijen bahkan bingung untuk mencari makan siang, namun untungnya warung tegal masih memberikan rasa kenyang dengan 3000 rupiah dengan 1-2 lauk pauk sederhana, kemudian es cendol masih seharga 1000 rupiah, dan oh lumayan masih ada sisa 1000 rupiah untuk naik bis kota.
Sekian
Semoga bermanfaat,
Senopati Wirang
Komentar
Posting Komentar