Rekrutmen 1000 Agen BIN?

Sejak awal Kepala BIN Sutiyoso mengungkapkan rencana rekrutmen 1000 agen BIN dalam rangka memenuhi kebutuhan personil BIN, komunitas Blog I-I telah merasakan kejanggalan yang luar biasa yang awalnya akan disampaikan langsung secara tertutup kepada BIN, namun kemudian setelah dipikir-pikir akan lebih baik menjadi konsumsi publik yang juga diketahui Presiden dan DPR agar semua pihak mengerti lebih dalam kebutuhan intelijen sesungguhnya.

Berikut ini analisa Blog I-I mengenai kebutuhan Intelijen Indonesia, khususnya BIN terkait masalah personil.

Pertama. Sejalan dengan UU No.17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara pada Bab II, peran, tujuan, dan fungsi Intelijen Negara pada prinsipnya mengacu kepada empat kata kunci yakni ancaman, peringatan, keselamatan, dan keamanan. Intelijen Negara memiliki peran sebagai ujung tombak dalam deteksi dini dan cegah dini terhadap segala bentuk ancaman. Dari deteksi terhadap ancaman tersebut, Intelijen Negara menghasilkan produk analisa baik yang bersifat taktis maupun strategis berupa peringatan dini yang memasukan elemen perkiraan kemungkinan yang akan terjadi. Tujuan dari proses deteksi ancaman dan pembuatan analisa perkiraan yang bernuansa peringatan kepada Pemerintah tersebut tidak lain adalah keselamatan bangsa dan keamanan Negara.

Kedua. Upaya Pemerintahan di seluruh dunia dalam melindungi bangsa dan negaranya dari ancaman baik dari dalam maupun luar negeri tidak dapat dilepaskan dari keberadaan organisasi intelijen. Upaya yang paling ekstrim berbentuk Negara Polisi-Intel, yakni suatu Pemerintahan membangun struktur intelijen yang biasanya menjadi satu dengan fungsi polisionil yang menjalankan tugasnya berdasarkan hukum draconian (hukum yang keras meskipun terhadap kejahatan ringan, umumnya terjadi pengunaan kekuatan yang berlebihan oleh Polisi dan Intelijen berupa surveillance, pembatasan kebebasan warga Negara, dan penangkapan tanpa proses hukum yang jelas). Negara-negara yang demokratis pada umumnya berupaya untuk berada dalam keseimbangan antara melindungi keamanan Negara dan kebebasan warga negaranya. Dalam kaitan ini, Badan Intelijen Negara (BIN) telah melalui serangkaian sejarah perubahan/reformasi sejak 1998 dan salah satu dasar perubahan yang paling signifikan adalah disahkannya UU No.17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Meskipun UU tentang Intelijen Negara relatif belum terlalu lama, namun tuntutan publik, khususnya para pemangku kepentingan baik di eksekutif maupun legislatif sangat tinggi, yakni BIN harus mampu menciptakan kondisi Negara yang aman dalam rambu-rambu hukum dan prinsip demokrasi.

Ketiga. Dalam rangka peningkatan kualitas laporan intelijen tidaklah berlebihan apabila BIN memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah yang mencukupi jangkauan wilayah operasinya. Sebagaimana telah diperintahkan oleh Presiden RI kepada Pimpinan BIN untuk mencapai target merekrut 1000 anggota baru dalam waktu 1 tahun, maka upaya rekrutmen tersebut telah menjadi bagian dari rencana kerja BIN setahun ke depan. Selain itu, Pimpinan BIN juga telah menjanjikan keterbukaan dan akan melibatkan partisipasi masyarakat.

Keempat. Salah satu alasan dari mendesaknya rekrutmen anggota BIN dalam jumlah besar adalah pelaksanaan Pilkada serentak yang akan berjalan dalam tiga gelombang yang rencananya dimulai pada bulan Desember 2015. Dalam kaitan itu, keterbatasan jumlah personil BIN yang beroperasi di Binda-Binda telah menyebabkan tidak terpenuhinya seluruh kabupaten/kota terisi dengan anggota BIN yang bertugas menjadi mata telinga melakukan deteksi terhadap setiap potensi ancaman. Jumlah daerah otonom (provinsi, kabupaten/kota) menurut data Kemendagri tahun 2014 telah mencapai 542 daerah. dan akan terus bertambah seiring dengan aspirasi pemekaran dan dalam rangka peningkatan efektifitas pembangunan di daerah.

Kelima. Alasan lain dari kebutuhan personil BIN adalah terkait pada luasnya tanggung-jawab dan ruang lingkup operasi yang diberikan kepada BIN dalam melindungi keselamatan bangsa dan keamanan Negara. Merujuk kepada UU No.17 Tahun 2011 tentang Intelijen pasal 7, ruang lingkup Intelijen Negara meliputi Intelijen dalam negeri dan luar negeri; Intelijen pertahanan dan/atau militer; Intelijen kepolisian; Intelijen penegakan hukum; dan Intelijen kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian. Kemudian pada pasal 10 tersurat dengan jelas bahwa BIN adalah penyelenggara Intelijen dalam negeri dan luar negeri. Dalam kaitan itu, penyelenggaraan Intelijen dalam negeri dan luar negeri berkaitan dengan wilayah operasi dan bukan gatra atau substansi, sehingga gelar operasi rutin intelijen dengan sendirinya memerlukan jumlah personil yang mencukupi jangkauan wilayah operasi intelijen BIN.

Keenam. Meskipun secara logika penambahan anggota dan peningkatan anggaran BIN akan meningkatkan kualitas laporan intelijen dan memperkuat BIN, namun hal ini juga menyimpan sejumlah tantangan dan persoalan yang perlu diantisipasi. Beberapa tantangan dan persoalan tersebut antara lain sebagai berikut:

  • Peningkatan jumlah anggota BIN akan menghasilkan peningkatan jumlah laporan rutin yang masuk ke Kantor Pusat melalui Sistem Informasi Intelijen (SII). Hal ini akan berdampak kepada tuntutan peningkatan ketelitian dan keahlian analisa ancaman yang semakin tinggi dari analis BIN dalam menentukan prioritas produk laporan yang akan diangkat kepada Pimpinan. Sementara itu, pada level taktis di lapangan, diperlukan insting intelijen yang sangat tajam dari unsur Pimpinan Binda dan staf analisa dan evaluasi untuk menyampaikan saran tindak sesuai dengan kondisi di lapangan. Dalam keadaan khusus, bahkan laporan secepat-cepatnya harus diterima Pimpinan di Jakarta untuk memperoleh instruksi agar Binda dapat bergerak dalam koordinasi dengan aparat terkait khususnya Kepolisian dan TNI dalam rangka mencegah terjadinya insiden keamanan yang berdampak nasional. Dalam kaitan ini, sesungguhnya tanggung-jawab BIN sesuai dengan Undang-Undang tentang Intelijen Negara adalah berhenti sampai penyampaian informasi dan analisa intelijen. Sementara itu, pelaksanaan pencegahan insiden keamanan berupa pengamanan fisik dan tindakan penegakan hukum berada di luar wewenang BIN. 
  • Salah satu penyakit terbesar dalam pembuatan laporan intelijen adalah duplikasi (laporan yang sama) dan redundansi (laporan yang berlebih tidak diperlukan). Sistem pelaporan yang bertingkat dari petugas lapangan hingga akhirnya sampai kepada Kepala BIN dan kemudian dilaporkan kepada Presiden secara teori sudah cukup dari sisi pemilihan prioritas, penyaringan, dan proses analisanya. Salah satu penyebabnya adalah karena banyaknya yang menyampaikan laporan. Hal ini menuntut keluasan wawasan intelijen, kecakapan analisa, dan komunikasi antar unit sehingga duplikasi dan redundansi dapat dihindari. 
  • Setiap daerah atau wilayah operasi baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota memiliki karakter yang berbeda-beda, sehingga rekrutmen putra daerah sudah tepat. Meskipun demikian, hal itu belum cukup karena selain karakter daerah, perlu juga diperhatikan aspek sejarah dan dinamika sosial-politik yang menyebabkan suatu daerah memiliki level ancaman yang lebih tinggi daripada daerah yang lain. Dalam kaitan ini, tantangan dari peningkatan jumlah anggota BIN adalah pada rencana penyebaran yang tepat sasaran. Penyebaran anggota BIN yang kurang tepat dapat menyebabkan terjadinya fenomena ketiadaan informasi intelijen atau laporan yang sifatnya asal ada saja. Dinamika yang sangat cepat di berbagai daerah juga menuntut kesiapan anggota untuk bergerak dari satu daerah ke daerah lain yang berdekatan sebagai tenaga tambahan guna melakukan pengecekan lapangan secara langsung. 
  • Setiap anggota BIN tentunya memiliki harapan untuk dapat berkarir dalam profesinya sebagai intelijen. Sistem jenjang karir yang saat ini berjalan cenderung “memaksa” anggota BIN di daerah untuk menerima kenyataan sempitnya ruang promosi karena keterbatasan posisi di Binda, sehingga jabatan fungsional menjadi pilihan. Dengan terjadinya pertumbuhan jumlah anggota yang besar, tidak tertutup kemungkinan akan mendorong membesarnya ketidakpuasan dari anggota yang merasa tidak memiliki masa depan dalam berkarir. Hal ini khususnya kepada mereka yang berlatar belakang pendidikan Sarjana dan Pasca Sarjana. 
  • Meskipun BIN akan merekrut 1000 anggota baru atau bahkan dua hingga tiga kali lipat, hal itu tidak akan menjamin terselenggaranya sistem pengumpulan informasi intelijen yang cepat dan tepat tanpa dilengkapi kemampuan membuat jaring informasi. Hal ini menjadi tantangan dalam menentukan karakteristik calon anggota BIN yang dibutuhkan dan pelatihan yang tepat sasaran yang melahirkan anggota BIN yang mampu membentuk jaringan informasi intelijen di wilayah operasinya. Hal ini terkait erat dengan akses informasi, daya penetrasi terhadap sasaran, dan akurasi informasi. 
  • Bertugas di suatu daerah/wilayah akan membuat anggota BIN lama-kelamaan dikenal, setidaknya di dalam komunitas intelijen karena eratnya koordinasi. Selain itu, boleh jadi anggota BIN bahkan memiliki eksistensi samar maupun nyata di tengah-tengah masyarakat. Kondisi tersebut membuka kerawanan bagi anggota BIN di daerahnya dalam melakukan operasi klandestin bila diperlukan. Sehingga dalam kondisi khusus, operasi klandestin sebaiknya dilakukan oleh Tim lain yang khusus dipersiapkan dengan persiapan yang matang. Anggota BIN yang tugasnya bersifat tetap di suatu wilayah sebaiknya melakukan pemantapan sistem pengumpulan informasi baik tertutup maupun terbuka yang kemudian menjadi bagian dari monitoring dan analisa rutin harian, mingguan, dan bulanan. Sementara operasi dengan target khusus jangan dibebankan kepada anggota yang bertugas di wilayah sasaran. 
  • Peningkatan jumlah anggota BIN secara positif dapat meningkatkan kinerja organisasi karena akan berdampak pada peningkatan persaingan yang sejalan dengan sistem tunjangan kinerja aparatur sipil Negara. Namun di sisi lain juga membuka potensi terjadinya konflik karena persaingan yang tidak sehat, oleh karena itu perlu ditekankan pentingnya jiwa korsa, kode etik intelijen, dan profesionalisme yang menjiwai perilaku anggota BIN. Selain itu, peningkatan jumlah anggota BIN juga menuntut adanya sistem pengawasan dan penegakkan disiplin anggota yang lebih kuat dalam rangka menjaga kredibilitas BIN. Dalam kaitan ini, diperkirakan peranan Inspektorat BIN juga akan meningkat seiring dengan tuntutan perkembangan organisasi.

Ketujuh. Anggaran BIN yang hanya mencapai 2 triliun lebih sesungguhnya sangat kecil bila dihadapkan dengan kebutuhan keamanan nasional Republik Indonesia yang sangat luas cakupannya. Terlebih apabila Pemerintahan Jokowi tampak berupaya menggeser peranan BIN untuk semakin luas dengan mengumpulkan informasi terkait proses pembangunan ekonomi di seluruh wilayah RI. Spesialisasi atau kekhususan untuk keamanan yang bersifat strategis mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara menjadi cenderung taktis untuk mengamati detail persoalan di daerah-daerah termasuk kemacetan pembangunan. Bahkan permintaan 10 triliun oleh Kepala BIN Sutiyoso-pun akan tetap kurang apabila harus menjadi lembaga yang mengetahui setiap denyut persoalan di seluruh penjuru Indonesia Raya.

Kedelapan. Dari dasar hukum, analisa personil dan potensi positif serta negatif dari rekrutmen anggota BIN dalam jumlah besar, dapat dicermati bahwa rekrutmen 1000 anggota baru bukanlah obat ajaib yang tiba-tiba akan menjadikan BIN sebagai lembaga intelijen yang tangguh. Terlebih apabila operasi kegiatannya fokus kepada keamanan dalam negeri (inward looking). Blog I-I meramalkan bahwa BIN akan menjadi lembaga yang gendut dan tidak efektif serta terjadi tumpang tindih kegiatan yang melahirkan duplikasi laporan intelijen dalam jumlah yang masif. Mengapa demikian? Karena intelijen bukan pabrik yang memproduksi laporan, juga bukan perusahaan media dengan pasukan wartawan profesional yang memperjuangkan berita faktual dan aktual untuk publik. Intelijen adalah elit intelektual yang mampu memperoleh informasi intelijen dan menganalisanya secara khusus untuk dapat menjadi bahan pertimbangan Pimpinan Nasional RI. Intelijen tidak memerlukan ribuan personil untuk menginteli rakyat Indonesia, Intelijen seharusnya melakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia agar mampu merangkul jutaan rakyat Indonesia untuk mengobarkan semangat persatuan dan kesatuan dalam persaudaraan Indonesia Raya. Kemampuan intelijen yang mencakup intelektual yang tinggi (pendidikan formal), karakter pribadi yang kuat dan menarik, serta kreatifitas dan seni berkomunikasi yang tinggi akan menjadikan lembaga intelijen menjadi tangguh.

Kesembilan. Apabila alasan rekrutmen anggota baru BIN adalah Pilkada, maka akan lebih tepat apabila Intelijen Polri yang dibesarkan karena terkait dengan pencegahan kerusuhan, pengendalian massa, dan penegakkan hukum.

Kesepuluh. Perhatikan kasus pembakaran Masjid di Tolikara. Apakah hal itu kegagalan intelijen dalam mengumpulkan informasi ataukah kegagalan antisipasi aparat keamanan secara umum? Informasinya cukup terang-benderang sudah tersedia, bahwa ada potensi konflik dari terjadinya dua acara keagamaan yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Kemudian ada surat edaran, kemudian ada desas-desus "pelarangan," ada sedikit intimidasi, ada jaminan keamanan, ada pengerahan aparat keamanan, ada kerumunan, dst...dst. Jelas bahwa prosedur rencana pengamanan dan upaya-upaya pencegahan boleh dikatakan kurang maksimal, sehingga terjadilah insiden yang sudah dapat diperkirakan akan terjadi. Artinya apa yang dibutuhkan oleh dunia intelijen Indonesia, baik BIN, Polri, dan TNI bukan pada jumlah personil yang akan disebar di seluruh nusantara untuk menginteli rakyat Indonesia, melainkan kemampuan menganalisa dan mempersiapkan rencana pengamanan atau kebijakan-kebijakan baik pada level daerah maupun nasional guna mencegah atau mengantisipasi terjadinya insiden keamanan yang mengganggu perjalanan kemajuan bangsa dan negara Indonesia.

Kesebelas. Apabila alasan sesungguhnya adalah politisasi BIN agar "semakin tangguh dalam mengawal Kekuasaan Presiden," maka hal ini adalah kekeliruan terbesar paska reformasi. BIN yang telah berada di jalur yang benar dengan profesionalisme dan netralisme dalam politik nasional seyogyanya tidak terjebak dengan angan-angan menjadi lembaga super yang menjamin kekuasaan Presiden. Walaupun Presiden adalah single client BIN, namun BIN bukan pengawal pribadi Presiden. BIN adalah mata dan telinga bangsa dan negara yang menyampaikan masukan (intelijen) secara obyektif dengan analisa yang tajam demi Negara dan Bangsa.

Demikian masukan dari Komunitas Blog I-I, semoga bermanfaat.

Salam Intelijen,
Senopati Wirang 

Komentar

Postingan Populer