Meluruskan Pemahaman Tentang Cyber Intelligence

Sehubungan dengan banyaknya pendapat tentang cyber war, cyber intelligence, dan teknologi intelijen dari kalangan politisi, pengamat, alumni kajian intelijen strategis UI, dan mereka yang memiliki perhatian tentang dunia intelijen Indonesia, Blog I-I terpanggil untuk meluruskan pemahaman masyarakat Indonesia tentang masalah-masalah tersebut. Mengapa hal ini menjadi penting? Karena sesungguhnya penguasaan teknologi tidak identik dengan keberhasilan atau peningkatan kinerja intelijen. Sebaliknya teknologi justru dapat menjadi pisau bermata dua yang menusuk diri kita sendiri.
Pertama, mohon untuk dapat membaca artikel lama Blog I-I yang berjudul Intelijen Gaya Baru, Open Source Spying, Kontroversi Wikileaks, serta berbagai artikel di internet tentang sejarah dan perkembangan sistem komunikasi online yang awalnya dilakukan secara terbatas di kalangan peneliti dan militer dalam rangka mempercepat arus informasi dan diskusi yang terpisahkan oleh jarak yang jauh. Dari sejarahnya, dunia cyber identik dengan pengembangan teknologi internet atau dunia jaringan komunikasi online baik yang bersifat pasif satu arah maupun aktif dua arah. Manfaat yang sangat besar dari sistem komunikasi online tersebut jauh meninggalkan sistem komunikasi yang lebih tua karena lemah dari sisi jumlah data yang dapat ditransfer. Tengok saja misalnya komunikasi telepon, hanya suara (audio), komunikasi telegraph hanya tulisan/kode. Sistem komunikasi online dapat mentransfer data dalam hitungan byte, megabyte, gigabyte, bahkan terabyte, dst. Hal tersebut memudahkan penyimpanan berbagai bentuk data tanpa batas. Sehingga seluruh industri modern, pemerintahan kemudian menerapkannya baik secara terbatas melalui local area network, maupun terkoneksi dengan jaringan online internasional yang dapat diakses dari manapun dengan alamat http baik dalam bentuk website maupun sekedar jaringan komunikasi email. 

Adalah perusahaan-perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat yang kemudian mengembangkan komunikasi online secara gratis seperti yahoo dan google. Mengapa gratis, karena mereka mendapatkan jutaan data calon customer yang dapat dijual sebagai target marketing online. Saya sudah berulangkali menyebutkan bahwa tidak ada yang rahasia apabila kita telah terkoneksi dengan internet. Teknologi tertinggi yang ada saat ini masih dikuasai oleh AS dan negara anggotanya Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru yang dikenal dengan FVEY atau Five Eyes. Hingga saat ini AS dan sekutunya masih berambisi mengembangkan super komputer yang mampu mengolah data melebihi kemampuan teknologi bahan semi konduktor yang saat ini di pasaran telah menyentuh kemampuan maksimal sehingga harus dipecah-pecah menjadi dual core, quad core, dengan processor model I-core 3, 5, 7, dst. Pusat pengembangan teknologi di Universitas Maryland tersebut konon kabarnya hampir menemui terobosan baru, namun belum ada publikasi lebih lanjut. National Security Agency (NSA) yang dapat kita setarakan dengan Lembaga Sandi Negara adalah penyandang dana riset di Maryland University. Dengan pembangunan super komputer tersebut FVEY mampu melakukan penyadapan global yang kemudian data yang jumlahnya sangat besar tersebut diolah kembali berdasarkan pengelompokan kata kunci dan prioritas kepentingan nasional.

Saat ini tidak ada satupun pengembangan teknologi komunikasi yang tidak menggunakan komputer dan sistem jaringan. Kita sudah semakin jarang menggunakan telepon kabel di rumah dan lebih sering menggunakan smartphone, blackberry, dan berbagai aplikasi lainnya yang merupakan miniatur dari sistem komunikasi online dalam bentuk handphone atau lebih tepat komputer genggam karena fungsinya bukan lagi sekedar untuk bertelponan. Pengembangan aplikasi komunikasi melalui media sosial mempermudah interaksi kita dengan orang lain, sekaligus membuka kerawanan bahwa apapun yang kita sampaikan pasti dengan mudah dibaca pihak ketiga, termasuk yang telah dienkripsi oleh Lembaga Sandi Negara sekalipun. 

Apakah Cyber Intelligence?

Secara sederhana cyber intelligence adalah upaya pengumpulan informasi melalui dunia cyber yang terbagi dua, yakni:
  • Secara pasif dilakukan melalui harvesting/pemanenan informasi secara rutin setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun dengan berbagai teknologi program khusus yang banyak dijual secara komersil. Program harvesting (Internet Data Mining/Collection) paling canggih dimiliki oleh AS dan dishare hanya dengan sekutu AS, konon bernama PRISM. 
  • Secara aktif dilakukan melalui operasi intelijen berupa hacking (secara agresif melumpuhkan sistem keamanan online suatu situs dan seterusnya dapat dilakukan perubahan data, pencurian data, pencurian/pemecahan password, dll). Caranya macam-macam, namun yang umum terjadi adalah melalui penyusupan melalui pintu belakang (backdoor/trojan) baik dengan mengirimkan virus, malware, maupun program khusus. Operasi intelijen bentuk lainnya dapat berupa defacing (mengubah tampilan website), melumpuhkan dengan ddos, worm, atau logic bomb.
Disamping dua model operasi tersebut, maka kita juga mengenal pemanfaatan jaringan online sebagai media propaganda. Hal ini diantisipasi oleh Republik Rakyat China melalui mekanisme pemblokiran dan monitoring yang ketat. Indonesia sejauh ini yang sering kita dengar adalah pemblokiran situs porno dan situs berfaham radikal saja. Sementara hal-hal yang terkait dengan stabilitas nasional, politik, ekonomi, tidak tersentuh sama sekali dan rasanya sulit karena faktanya Indonesia telah menjadi negara liberal demokrasi. Hal itu tidak menutup dilakukannya monitoring ketat sebagaimana dilakukan oleh AS dan China.

Bagaimana wujud Cyber War sesungguhnya?

Sesuai dengan pemaknaan perang, maka variabel korban harus jelas apakah dalam bentuk jiwa manusia, kerugian material atau immaterial. Misalnya saja website Presiden RI di-hacking dan terjadi penghinaan melalui website tersebut, maka hal itu belum dapat dikatakan sebagai cyber war, melainkan lebih tepat sebagai pelanggaran hukum yang dapat dikejar melalui Tim Cyber Polisi yang juga terkoneksi secara internasional untuk mengejar para hacker usil ataupun yang dibacking oleh negara tertentu. Masalahnya adalah lokasi perkara yang lintas negara dan sulit ditentukan karena umumnya menggunakan proxy. Jangan lupa, bahwa banyaknya gateway internet di Indonesia telah menyebabkan Indonesia menjadi lokasi praktek para hacker internasional khususnya dari China yang memiliki target negara-negara Barat dan sebaliknya juga demikian. Kita hanya menjadi korban dan penonton cyber war. Hal itupun hingga saat ini belum tercatat adanya korban jiwa, namun kerugian yang besar yang ditimbulkan dari operasi para hacker intelijen tidak dapat dinilai melalui uang saja. Aspek strategis dari operasi intelijen di dunia cyber hanya diketahui oleh para pelakunya sejauh mana dan sedalam apa tingkat penetrasinya.

Ancaman terbesar dari cyber war adalah apabila telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian material yang besar. Sebagaimana dalam ilustrasi dalam film hollywood, apa yang paling ditakuti dari cyber war adalah sabotase instalasi vital, pencurian kekayaan negara secara besar-besaran, dan lumpuhnya sistem yang berajalan di suatu negara yang dikendalikan oleh komunikasi online. Hal itu semua dapat menyebabkan suatu negara hancur.

BIN dan Sandi Negara

Apakah BIN yang akan dipimpin oleh Letjen (Purn) Sutiyoso akan sanggup menjawab tantangan tersebut, dapat saya pastikan jawabannya TIDAK. Mengapa demikian? diperlukan sumber daya manusia yang handal dalam jumlah besar, dana triliunan, dan waktu yang relatif lama untuk memiliki standar operasi perlindungan sistem informasi nasional Indonesia. 

Apakah Sandi Negara yang bertahun-tahun telah memiliki spesialisasi dibidang persandian dan komunikasi sanggup menjawab tantangan tersebut? dengan dana yang sangat terbatas dan pengembangan teknologi yang relatif lambat serta brain-drain anggota Sandi Negara yang lompat ke dunia swasta jawabannya juga TIDAK.

Perkiraaan strategis Blog I-I, seyogyanya Sandi Negara dapat diperbesar untuk mengembangkan kemampuan teknologi perlindungan sistem informasi nasional dan BIN diperbesar dalam pengembangan kemampuan penetrasi terhadap jaringan online. Hal ini dapat dilakukan dengan menimbang efektifitas dan efisiensi dari pilihan terhadap teknologi yang akan digunakan, artinya tidak perlu berambisi membeli teknologi paling canggih yang nantinya hanya akan berumur singkat dan sia-sia karena tidak adanya komitmen jangka panjang dalam pembangunan kemampuan cyber Indonesia secara nasional. Selain itu, di negara-negara maju kita melihat bahwa otoritas, tanggung jawab, kerjasama dan koordinasi antar lembaga sangat baik dan dapat berjalan mulus sehingga mampu menekan anggaran dan penegakan hukum dapat terselenggara. Itupun kita masih melihat kebocoran disana-sini.

Namun untuk jangka panjang, tidak ada salahnya apabila Pemerintah dengan restu DPR-RI berkomitmen mendorong BIN dan Sandi Negara serta Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk menjadi penjuru dalam pengembangan kemampuan cyber Indonesia. Jangan lupa, bahwa peranan swasta nasional Indonesia juga perlu diperhatikan tentunya dengan pengamanan dan sertifikasi yang dilakukan oleh Sandi Negara dan BIN apabila terkait dengan keamanan nasional.
   
Barangkali saya yang salah mengajukan pertanyaan. Seharusnya pertanyaan tersebut menjadi apakah kita perlu dan sedang menghadapi cyber war? Meskipun kita menyaksikan terjadinya penyadapan terhadap mantan Presiden SBY dan Istri, serangan-serangan cyber yang mengetest sistem keamanan website lembaga-lembaga pemerintah, maraknya laporan kebocoran rahasia negara sebagaimana terungkap dalam wikileaks, namun semua itu juga dialami negara-negara maju di Eropa seperti Perancis dan Jerman yang sangat kecewa dengan operasi intelijen AS sebagai negara sahabat, sehingga apa yang terjadi dengan Indonesia tidaklah unik. Namun demikian, hal itu menunjukkan bahwa Indonesia diperhitungkan sebagai negara yang berpengaruh. Menurut Blog I-I, Indonesia saat ini belum memasuki wilayah cyber war, namun tidak ada salahnya untuk bersiap-siap dengan pengembangan kemampuan cyber intelligence. Jangan lupa bahwa pada akhirnya faktor manusia sangat vital dalam menjamin keberhasilan pengembangan cyber intelligence. Apa artinya peralatan yang mahal apabila tidak dipergunakan secara maksimal, serta jangan sampai biaya maintenance alat-alat yang mahal justru melemahkan operasi human intelligence karena sebagian besar dana terserap untuk membeli alat-alat yang belum tentu berfungsi secara maksimal untuk peningkatan kualitas laporan intelijen.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Letjen (Purn) Marciano Norman yang membiarkan Blog I-I tetap hidup. Serta menyambut baik penunjukkan Letjen (Purn) Sutiyoso oleh Presiden RI sebagai calon Kepala BIN yang hari ini telah dinyatakan lulus fit and proper test oleh DPR-RI. 

Sekian, semoga bermanfaat.
Senopati Wirang



Komentar

Postingan Populer